Seiring lonjakan kasus Covid-19 varian Omicron, kecemasan pun meningkat. Kecemasan yang tidak terkelola bisa memicu tindakan tak rasional. Karena itu, kendalikan cemas hingga bisa bijak menyikapi situasi menekan ini.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·5 menit baca
Seiring merebaknya varian Omicron dan masuknya gelombang ketiga pandemi di Indonesia, kecemasan masyarakat pun meningkat. Sering kali, kecemasan itu diikuti serangan panik yang membuat khawatir berlebihan dengan situasi yang terjadi. Vaksinasi, kepatuhan pada protokol kesehatan, dan menjalani pola hidup sehat bisa menekan kecemasan yang terjadi, sekaligus penularan Covid-19.
Pandemi yang telah berlangsung hampir dua tahun di Indonesia menjadi sumber pemicu stres dan tekanan mental yang berkepanjangan bagi masyarakat. Akibatnya, banyak masyarakat mengalami gangguan kecemasan ataupun psikosomatik, baik pada mereka yang terjangkit maupun tidak terpapar Covid-19.
”Ini masalah global,” kata Ketua Divisi Psikosomatik dan Paliatif, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM), Hamzah Shatri dalam simposium daring Manajemen Panik akibat Covid-19 Varian Omicron dengan Telemedicine di Jakarta, Jumat (4/2/2022).
Gangguan psikosomatis adalah munculnya keluhan fisik yang pemicunya dipengaruhi pikiran atau emosi. Selama pandemi ini, informasi tentang Covid-19, baik yang benar maupun bohong, beredar luas di masyarakat melalui media arus utama ataupun media sosial. Informasi yang berlebih ini menimbulkan infodemi yang memengaruhi otak dan fisik kita.
Kebingungan akibat tumpang tindihnya informasi dan ketidakpastian yang mengikuti karena gejala Omicron berbeda dengan varian Covid-19 sebelumnya membuat masyarakat stres. Apalagi, jika mereka mengalami gejala penyakit yang mirip dengan Covid-19, seperti flu, batuk, atau sakit tenggorokan. Kondisi ini menimbulkan kecemasan yang meluas di masyarakat.
Selama pandemi ini, informasi tentang Covid-19, baik yang benar maupun bohong, beredar luas di masyarakat melalui media arus utama ataupun media sosial. Informasi yang berlebih ini menimbulkan infodemi yang memengaruhi otak dan fisik kita.
Staf Divisi Psikosomatik dan Paliatif, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM Rudi Putranto mengatakan, kecemasan terhadap Omicron itu membuat sebagian masyarakat yang mengalami gejala mirip Covid-19 berbondong-bondong mendatangi tempat tes antigen atau PCR (polymerase chain reaction).
Akibatnya, antrean tes ini mengular di sejumlah tempat selama beberapa hari terakhir. Mereka yang terbukti terjangkit Covid-19 pun banyak yang panik dan berlomba mendapatkan perawatan di rumah sakit guna menghindari kesulitan mencari rumah sakit seperti yang terjadi pada Juni-Juli 2021 saat varian Delta merajalela.
Padahal, Kementerian Kesehatan (Kemkes) sudah meminta masyarakat yang positif Covid-19 tetapi tidak bergejala atau bergejalan ringan untuk menjalani isolasi mandiri di rumah. Mereka tetap bisa mendapatkan perawatan melalui platform telemedisin yang disediakan Kemkes dan mendapat obat yang dikirim ke rumah.
Jika mereka yang tak bergejala atau bergejala ringan berbondong-bondong ke rumah sakit, dikhawatirkan masyarakat yang bergejala sedang atau berat justru tidak tertangani. Selain itu, membeludaknya pasien bisa memicu kelelahan tenaga medis hingga pelayanan yang diberikan kepada pasien yang benar-benar membutuhkan pertolongan menjadi kurang maksimal.
”Tidak semua pasien Covid-19 harus dirawat di rumah sakit, yang perlu dirawat adalah yang sudah membutuhkan bantuan oksigen,” kata anggota staf Divisi Tropik Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM Robert Sinto.
Bisa dialami siapa saja
Terkait Covid-19, Hamzah mengatakan, gangguan psikosomatik itu bisa dialami siapa saja, baik yang belum terkena Covid-19 maupun mereka yang sudah terpapar korona. Mereka yang terpapar korona pun bisa mengalami gangguan psikosomatik sebelum, selama, ataupun setelah sembuh dari paparan Covid-19.
Peluang terjadinya psikosomatik pada penderita Covid-19 makin besar jika mereka sudah memiliki penyakit penyerta sebelumnya, seperti hipertensi, serangan jantung, ataupun stroke. ”Secara epidemiologi, mereka yang terpapar Omicron lebih dari 50 persennya mengalami gangguan psikosomatik, baik yang bersifat menetap maupun sementara,” katanya.
Gangguan psikosomatik yang muncul biasanya berupa cemas, depresi, gangguan tidur, dan kelelahan kronik. Mereka juga khawatir jika tertular Covid-19 takut dengan isolasi mandiri, dan menghadapi stigma masyarakat, muncul trauma saat keluarga atau teman sakit parah, hingga kekhawatiran kesulitan keuangan atau ekonomi yang harus dihadapi.
Jika gangguan psikosomatik ini tidak segera ditangani, bisa memicu berbagai jenis penyakit atau memperparah penyakit yang sudah ada. Penyakit yang bisa muncul dari gangguan psikosomatis itu beragam, mulai dari gangguan keseimbangan, sistem imunitas tubuh, gangguan salauran cerna, otot, tulang, hingga ginjal dan jantung.
Kecemasan yang muncul, lanjut Rudi, bisa menimbulkan gangguan panik yang ditandai dengan munculnya serangan panik secara berulang dan tidak terduga. Kondisi ini umumnya diikuti dengan kekhawatiran berulangnya kembali serangan panik atau memicu perubahan perilaku maladaptif yang terkait dengan serangan panik yang muncul.
Repotnya, sebagian gejala yang muncul dari gangguan panik ini sama dengan gejala Covid-19, seperti napas pendek atau panas dingin. Namun, gejala khas untuk panik adalah meningkatnya denyut jantung, lemah, pusing, berkeringat dingin, dan sakit di perut atau dada. Sementara gejala yang unik untuk Covid-19 adalah demam tinggi, batuk, sakit tenggorokan, nyeri otot, dan hilang indra penciuman atau perasa.
Meski demikian, untuk varian Omicron, Robert mengingatkan bahwa tidak ada tanda spesifik yang menunjukkan seseorang terpapar Covid-19. Jika gejala yang umum dari varian-varian Covid-19 sebelumnya adalah tidak bisa mencium dan merasa, untuk Omicron ini umumnya masih bisa mencium dan merasa.
Namun, ciri khas Omicron ini adalah tingginya kecepatan penularan. Jika varian ini diderita mereka yang telah memiliki penyakit penyerta, proses perburukan akan lebih cepat terjadi. Varian ini juga diklaim menyebabkan tingkat keparahan atau kematian yang lebih rendah dibandingkan varian sebelumnya, tetapi situasi di sejumlah negara, seperti Amerika Serikat, justru menunjukkan tingginya kematian yang terjadi.
Di tengah ketidakpastian itu, hal yang dilakukan, menurut Robert, adalah vaksinasi dan patuh pada protokol kesehatan. Apa pun jenis vaksin yang tersedia, segera ikuti vaksin jika memang sudah mendapatkan giliran dari pemerintah, tak perlu menunggu sampai tersedianya jenis vaksin tertentu. Protokol kesehatan tetap harus dilakukan, tidak boleh lengah karena pandemi belum selesai.
Sementara untuk mengatasi gangguan cemas dan panik selama peningkatan kasus Covid-19 seperti sekarang, Rudi meminta masyarakat tidak terus-menerus mengecek berita atau gawai, tetapi membatasinya dua kali sehari, yaitu pada pagi atau sore hari. Penderita juga harus berlatih fokus pada hal-hal yang sedang mereka kerjakan sehingga bisa lebih produktif dan menikmati hidup.
”Jangan pula bereaksi berlebihan terhadap gejala fisik yang muncul, terlibat dalam kegiatan yang mampu mengurangi stres, berbaik hati pada diri sendiri dan orang lain, serta perkuat iman atau ibadah,” katanya. Jika memang gejala cemas dan paniknya makin berat atau menetap dalam waktu lama, jangan ragu meminta pertolongan dokter atau tenaga profesional kesehatan yang lain.