Pandemi Covid-19 menghadirkan gangguan mental pada masyarakat. Pembatasan jarak dan isolasi sosial, resesi ekonomi, stres, dan sebagainya memengaruhi psikologis masyarakat yang berdampak pada kehidupan sehari-hari.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
Pandemi Covid-19 yang berlangsung lebih dari setahun membatasi ruang gerak setiap orang. Hal itu menghadirkan dampak ekonomi, pendidikan anak, dan kesehatan masyarakat. Bahkan, pandemi memberikan implikasi besar pada kesehatan psikologi bagi masing-masing keluarga.
Pembatasan jarak dan isolasi sosial, resesi ekonomi, stres, dan trauma pada tenaga kesehatan, serta stigma dan diskriminasi terhadap orang yang terpapar virus meningkatkan gangguan kesehatan mental.
Buku Seri Sumbangan Pemikiran Psikologi untuk Bangsa Ke-5 tentang Kesehatan Jiwa dan Resolusi Pascapandemi di Indonesia, yang disusun Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI), didukung Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kementerian Kesehatan, Jumat (30/4/2021), menyebutkan sejak tiga bulan pertama Layanan SEJIWA diluncurkan pada 29 April 2020.
Adapun masalah terbesar meliputi kecemasan, kekhawatiran, dan stres (55 persen). Sementara enam bulan terakhir di tahun 2020 (Juni-Desember 2020) meski kecemasan, kekhawatiran, dan ketakutan mendominasi, persoalan yang mengarah ke depresi (sedih, merasa tidak berharga, tidak berdaya, tidak percaya diri, merasa bersalah, dan ide bunuh diri) makin besar.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati mengakui, meski masalah kesehatan mental ini dihadapi oleh hampir semua kalangan masyarakat, mengakarnya budaya patriarki dan ketimpangan yang meningkat tajam di masa pandemi membawa risiko yang lebih besar bagi kesehatan mental perempuan dan anak.
Selama masa pandemi, perempuan rentan mengalami beban ganda karena tanggung jawab domestik seolah jadi tanggung jawab pihak perempuan saja. Padahal, perempuan menghadapi berbagai tantangannya sendiri, seperti pemutusan hubungan kerja, pemulangan pekerja migran, hingga bisnis yang terancam gulung tikar.
Situasi psikologis juga dialami anak-anak. Semenjak pandemi Covid-19 dan diterapkannya kebijakan pembelajaran jarak jauh, anak-anak rentan tidak bisa mengakses layanan pendidikan yang layak. Anak juga mengalami tekanan psikologis tinggi saat harus terpisah dengan orangtua akibat isolasi karena mereka terpapar ataupun ada anggota keluarga yang terkena Covid-19.
”Dengan energi besar dan keinginan bereksplorasi tinggi, anak-anak mengalami tekanan karena harus berada di rumah dan terpisah dari teman-temannya dalam waktu lama,” kata Bintang saat Peluncuran Buku Seri Sumbangan Pemikiran Psikologi untuk Bangsa tersebut.
Bintang mengakui, berbagai kebijakan yang diambil para pemangku kepentingan untuk mengendalikan laju penularan virus bukan hanya membawa berbagai tantangan baru dalam berkehidupan, tetapi juga membawa permasalahan kesehatan mental di masyarakat yang menanti diselesaikan.
Dengan energi besar dan keinginan bereksplorasi tinggi, anak-anak mengalami tekanan karena harus berada di rumah dan terpisah dari teman-temannya dalam waktu lama.
Selain anak-anak, perempuan menjadi pihak yang paling banyak merasakan tekanan psikologis. Meningkatnya angka kekerasan berbasis jender yang cukup tajam di masa pandemi menambah daftar risiko.
Layanan SEJIWA
Menghadapi situasi psikologis tersebut, semenjak awal pandemi berlangsung, pemerintah mengantisipasi guncangan psikologis yang akan dihadapi masyarakat dengan berbagai upaya.
Sejak akhir April 2020 lalu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) bersama Kantor Staf Presiden (KSP), Kementerian Kesehatan, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI), dan PT Telkom membuka layanan SEJIWA.
Layanan SEJIWA dilakukan dalam bentuk konsultasi dengan tenaga psikolog melalui hotline 119 ekstensi 8 (delapan) yang juga merujuk kepada hotline unit pengaduan Kementerian PPPA, yaitu 0821-2575-1234/ 0811-1922-911 atau melalui web browser http://bit.ly/kamitetapada, dan surat elektronik (e-mail) pengaduan@kemenpppa.go.id.
Hotline layanan SEJIWA juga terhubung dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA)/P2TP2A serta Lembaga Perlindungan Anak (LPA) dan Forum Pengada Layanan (FPL) yang ada di seluruh provinsi dan kabupaten/kota, sesuai lokasi pelapor berada.
Data Layanan SEJIWA pada 26 April 2021, jumlah telepon yang masuk sebanyak 11.385 telepon. Alasan utama penelepon layanan psikologi adalah masalah terkait keluarga.
Kepala Kantor Staf Kepresidenan Moeldoko mengungkapkan, pandemi Covid-19 membuat kehidupan sehari-hari masyarakat tak menentu. Banyaknya kabar buruk dan rumor terkait Covid-19 yang tak pasti kebenarannya menimbulkan kecemasan berlebihan di masyarakat.
”Penurunan pertumbuhan ekonomi membuat banyak orang kehilangan pekerjaan ataupun tak dapat mencari pekerjaan, kecenderungan pemutusan hubungan kerja pun muncul. Bahkan, keadaan memburuk karena ada angka kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga yang meningkat sebagai efek domino peningkatan tekanan akibat pandemi Covid-19,” kata Moeldoko.
Kesehatan jiwa harus menjadi perhatian pemerintah, apalagi sebelum pandemi terjadi hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesda) 2018 menunjukkan bahwa prevalensi gangguan emosional pada penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas meningkat dari 6 persen di tahun 2013 menjadi 9,8 persen tahun 2018.
Ketua Umum PP HIMSI Seger Handoyo mengungkapkan, selama setahun anggota HIMPSI sebagai sukarelawan SEJIWA terus berkomitmen memberikan pelayanan kepada masyarakat. Apalagi, setelah setahun berlalu, pemerintah masih memutuskan untuk melanjutkan layanan SEJIWA.
Perhatian terhadap kesehatan mental menjadi penting seiring program pembangunan pemerintah untuk menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan berdaya saing. Karenanya, ketika krisis kesehatan mental yang menimpa masyarakat dibiarkan berlarut-larut, dampaknya pada kualitas sumber daya manusia (SDM).
Karena itu, Menteri Bintang Darmawati mengingatkan, upaya menyelamatkan bangsa Indonesia dari berbagai krisis yang dibawa pandemi Covid-19 hendaknya jadi tanggung jawab bersama. Kerja bersama dan kolaborasi yang solid antara pemerintah dan dunia usaha, lembaga masyarakat, akademisi, serta media, menjadi kunci.