Dua Juta Kasus Baru Asma Per Tahun pada Anak Terkait Polusi Udara
Polusi nitrogen dioksida (NO2) yang biasanya berasal dari knalpot kendaraan bermotor membuat anak-anak berisiko terkena asma. Masalah ini sangat akut di daerah perkotaan.
Oleh
Ahmad Arif
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hampir dua juta kasus baru asma terjadi pada anak-anak setiap tahunnya. Kajian terbaru menemukan, hal ini berhubungan dengan polusi udara terkait lalu lintas, masalah yang dialami di kota-kota besar di seluruh dunia. Kajian juga menunjukkan, polusi udara di Jakarta jauh lebih tinggi dibandingkan ambang aman yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO.
Temuan ini ditulis dalam dua artikel ilmiah di Lancet Planetary Health edisi 5 Januari 2022. Studi pertama ditulis Susan Anenberg, profesor kesehatan dari George Washington University dan tim yang fokus dampak cemaran nitrogen dioksida (NO2) pada anak-anak. Studi kedua ditulis Veronica A Southerland, juga dari George Washington University, dan tim yang fokus pada tren global cemaran partikel halus PM 2,5 di perkotaan global dan implikasinya pada kesehatan.
Studi Annenberg menghitung beban kasus asma pediatrik yang disebabkan oleh polutan ini di lebih dari 13.000 kota dari Los Angeles hingga Mumbai. Asma merupakan penyakit kronis yang menyebabkan radang saluran udara paru-paru.
Dari sekitar 1,85 juta kasus asma anak baru yang dikaitkan dengan NO2 secara global pada tahun 2019, dua pertiganya terjadi di daerah perkotaan.
”Studi kami menemukan bahwa nitrogen dioksida membuat anak-anak berisiko terkena asma dan masalah ini sangat akut di daerah perkotaan,” kata Anenberg, dalam keterangan tertulis, Kamis (6/1/2022).
Anenberg mempelajari konsentrasi nitrogen dioksida (NO2), polutan yang berasal dari emisi kendaraan knalpot, pembangkit listrik, dan lokasi industri. Mereka juga melacak kasus baru asma yang berkembang pada anak-anak dari tahun 2000 hingga 2019.
Beberapa temuan utama dari penelitian ini, antara lain, dari sekitar 1,85 juta kasus asma anak baru yang dikaitkan dengan NO2 secara global pada tahun 2019, dua pertiganya terjadi di daerah perkotaan. Tren penurunan kasus asma pediatrik terkait dengan NO2 di daerah perkotaan baru-baru ini karena peraturan udara bersih yang lebih ketat yang diberlakukan oleh negara-negara berpenghasilan tinggi seperti Amerika Serikat.
Meskipun terjadi peningkatan kualitas udara di Eropa dan AS, situasi berkebalikan terjadi di Asia Selatan, Afrika Sub-Sahara, dan Timur Tengah. Kasus asma pediatrik terkait dengan polusi NO2 mewakili beban kesehatan masyarakat yang besar untuk Asia Selatan dan Afrika Sub-Sahara.
Studi sebelumnya oleh para peneliti George Washington University juga menemukan bahwa NO2 dikaitkan dengan sekitar 13 persen dari beban asma pediatrik global dan hingga 50 persen dari kasus asma di 250 kota terpadat di seluruh dunia.
Secara keseluruhan, fraksi kasus asma anak yang terkait dengan NO2 menurun dari 20 persen pada tahun 2000 menjadi 16 persen pada tahun 2019. Kabar baik tersebut berarti bahwa udara yang lebih bersih di Eropa dan sebagian AS telah menghasilkan manfaat kesehatan yang besar bagi anak-anak, terutama mereka yang tinggal di lingkungan dekat jalan raya yang sibuk dan lokasi industri.
”Mengurangi transportasi bertenaga bahan bakar fosil dapat membantu anak-anak dan orang dewasa bernapas lebih mudah dan dapat membayar dividen kesehatan yang besar, seperti lebih sedikit kasus asma pediatrik dan kematian berlebih,” kata Anenberg.
Pada saat yang sama, upaya tersebut juga bisa berkontribusi dalam pengurangan emisi gas rumah kaca. Ini terkait mitigasi perubahan iklim untuk mengerem laju penghangatan global.
Konsentrasi di Indonesia
Studi kedua oleh Southerland menemukan bahwa rata-rata konsentrasi PM 2,5 di kota-kota secara global pada tahun 2019 adalah 35 mikro gram per meter kubik. Artinya, lebih dari tiga kali lipat dari pedoman WHO 2005 untuk rata-rata tahunan PM 2,5 sebesar 10 mikro gram per meter kubik atau tujuh kali lipat dari pedoman WHO 2021 sebesar 5 mikro gram per meter kubik. Hal ini menyebabkan terjadinya 45 hingga 77 kematian prematur kematian per 100.000 orang.
Jika ditotal, sekitar 1,8 juta kematian berlebih dapat dikaitkan dengan polusi udara perkotaan pada tahun 2019 saja. Studi pemodelan ini menunjukkan bahwa 86 persen orang dewasa dan anak-anak yang tinggal di kota-kota di seluruh dunia terpapar pada tingkat partikel halus yang melebihi pedoman yang ditetapkan oleh WHO.
Para peneliti George Washington University ini juga membuat blog khusus yang menampilkan konsentrasi partikel PM 2,5 dan NO2 di berbagai kota di dunia, yang bisa diakses daring. Data menunjukkan, konsentrasi PM 2,5 di beberapa wilayah di Indonesia juga di atas ambang WHO. Misalnya, PM 2,5 di Jakarta pada 2019 mencapai 68,17 mikro gram per meter kubik, jauh lebih tinggi dari rata-rata perkotaan global dan standar WHO.
Pedoman Kualitas Udara Global (Air Quality Guidelines/AQGs) WHO ini merevisi pedoman tahun 2015. Dalam pedoman ini, tingkat polutan udara utama yang beberapa di antaranya juga berkontribusi terhadap perubahan iklim, dikurangi secara signifikan 2015 untuk melindungi kesehatan populasi.
”Hampir semua orang di seluruh dunia terpapar polusi udara dengan tingkat yang tidak sehat,” kata Direktur Jendral WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus, saat merilis pedoman baru ini pada 22 September 2021.
Menurut dia, menghirup udara kotor meningkatkan risiko penyakit pernapasan, seperti pneumonia, asma, dan meningkatkan risiko Covid-19 yang parah. Paparan polusi udara dinilai beban penyakitnya setara dengan merokok dan makan tidak sehat.
Sebelumnya, pada 16 September 2021, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan bahwa tujuh pejabat negara, termasuk Presiden Republik Indonesia, Kementerian Kesehatan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Banten, dan Gubernur Jawa Barat bersalah atas pencemaran udara di ibu kota Jakarta. Para pejabat ini diminta memperbaiki kualitas udara di Jakarta guna melindungi kesehatan masyarakat.
Temuan WHO juga menunjukkan adanya bukti bagaimana polusi udara memengaruhi berbagai aspek kesehatan. Paparan polusi udara diperkirakan menyebabkan tujuh juta kematian dini per tahun. Untuk alasan itu, WHO memperingatkan bahwa melebihi tingkat pedoman kualitas udara yang baru bakal meningkatkan risiko yang signifikan terhadap kesehatan publik. Sebaliknya, mematuhinya dapat menyelamatkan jutaan nyawa.