Tak Hanya Kasih Sayang, Perempuan Mesti Memiliki Pengetahuan tentang Gizi
Pengetahuan perempuan tentang gizi menjadi penting mengingat peran tradisional perempuan sebagai pengasuh keluarga. Perempuan yang sadar gizi bisa mendorong pemenuhan gizi keluarga.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Warga yang tergabung dalam anggota Kelompok Wanita Tani (KWT) RW 001 Kelurahan Bubulak, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, Jawa Barat, berkegiatan saat bertepatan dengan peringataan Hari Gizi Nasional di lahan petanian mereka, Senin (25/1/2021).
JAKARTA, KOMPAS — Penting bagi perempuan untuk memiliki pengetahuan tentang gizi. Hal ini dapat mendorong kebiasaan makan makanan bergizi di lingkup keluarga, mendorong terbentuknya keluarga sehat serta memastikan pertumbuhan dan perkembangan anak tidak terhambat.
Topik ini mengemuka pada diskusi daring ”Menyorot Peran Serta Ibu dalam Implementasi Gizi Seimbang”, Selasa (28/12/2021) malam. Perempuan dinilai punya peran strategis untuk memastikan asupan gizi keluarga terpenuhi. Ini mengingat peran tradisional perempuan sebagai pengasuh di keluarga. Selain itu, perempuan pun memproduksi ASI sebagai makanan pertama bayi di keluarga.
Ketua Yayasan Gema Sadar Gizi Tirta Prawita Sari mengatakan, literasi gizi dibutuhkan ibu atau perempuan, antara lain tentang kebutuhan energi dan komposisi makan bergizi seimbang. Pemahaman bahwa kebutuhan gizi seseorang akan meningkat berdasarkan pertambahan usia.
Apa ibu juga diberi kewenangan penuh mengatur keuangan rumah tangga sehingga bisa memilih bahan pangan bergizi baik?
”Banyak ibu yang berpikir, yang penting anaknya makan, tetapi tidak memperhatikan gizi. Pada dasarnya, tidak semua kalori diciptakan sama. Misalnya, satu donat (dengan energi) 400 kalori berbeda dengan salmon dan salad alpukat 400 kalori. Jadi, jangan asal makan. Makanan harus berkualitas,” kata Tirta yang juga pengajar pada Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta.
KOMPAS/ALIF ICHWAN
Sejumlah pengunjung melihat dan mencari informasi produk yang ditawarkan dalam pameran Usaha Kecil dan Menengah (UKM) Expo 2019 di Kartika Expo Center, Balai Kartini, Jakarta, Minggu (21/7/2019).
Orang muda zaman sekarang pun, ia nilai, kini lebih menggemari highly palatable food atau makanan enak daripada makanan sehat. Highly palatable food, antara lain, adalah hasil kombinasi gula dan lemak (misalnya donat gula), lemak dan sodium (misalnya makanan cepat saji), serta karbohidrat dengan sodium (misalnya kentang goreng dengan garam).
Terlalu banyak mengonsumsi highly palatable food dapat menyebabkan konsumsi garam, gula, dan lemak harian berlebih. Ini meningkatkan potensi berbagai penyakit, contohnya diabetes dan tekanan darah tinggi.
Sementara itu, anak yang kebutuhan gizinya tidak terpenuhi berpotensi mengalami gangguan pertumbuhan. Anak-anak juga terancam tengkes atau stunting, yaitu gagal bertumbuh dan berkembang karena kurang gizi dalam jangka waktu panjang. Stunting berdampak ke lemahnya kemampuan kognitif anak dan sistem kekebalan tubuh. Hal ini dapat menurunkan produktivitas anak saat dewasa.
Kompas
Makanan cepat saji kian digemari. Namun, jika terlalu sering menyantap makanan cepat saji tidak baik bagi kesehatan.
Gizi seimbang dapat merujuk ke konsep Isi Piringku. Dalam satu piring, satu per tiga bagian piring diisi makanan pokok, satu per tiga lainnya diisi sayuran, dan satu per tiga sisanya lauk dan buah. Ini mesti disertai dengan kebiasaan mencuci tangan saat menyiapkan dan menyajikan makanan serta olahraga teratur.
Menurut pendiri Literasi Sehat Indonesia, Zaenal Abidin, ibu berperan penting dalam pemenuhan gizi keluarga. ”Hal yang mesti diperhatikan, selain kasih sayang ibu (dalam pengasuhan), adalah apa ibu punya cukup pengetahuan soal gizi seimbang. Lalu, apa ibu juga diberi kewenangan penuh mengatur keuangan rumah tangga sehingga bisa memilih bahan pangan bergizi baik?” katanya.
Tenaga Substansi Bidang Iptek Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas), Endah Cahya Immawati, mengatakan, pengetahuan ibu soal gizi seimbang dipengaruhi beberapa hal. Beberapa, di antaranya, adalah pendidikan yang rendah, beban kerja ibu yang besar, dan kurangnya sumber daya untuk menyediakan makanan bergizi, misalnya karena masalah ekonomi.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Warga yang tergabung dalam anggota Kelompok Wanita Tani (KWT) RW 001 Kelurahan Bubulak, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, Jawa Barat, berkegiatan saat bertepatan dengan peringataan Hari Gizi Nasional di lahan petanian mereka, Senin (25/1/2021). Selain mengubah lahan tumpukan pembuangan sampah liar menjadi lahan produktif, semangat bercocok tanam ini menjadi upaya pemenuhan konsumsi makanan bergizi, khususnya sayuran dan tanaman obat, yang bisa dimanfaatkan secara bersama di lingkup wilayah tersebut.
Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), prevalensi ketidakcukupan pangan (prevalence of undernourishment/PoU) nasional pada 2020 adalah 8,34 persen. Angka itu naik dibandingkan dengan 2019, yaitu 7,63 persen.
Pemenuhan gizi keluarga pun berhubungan dengan ketahanan pangan. Laporan Global Food Security Index menyebut ketahanan pangan Indonesia ada di peringkat ke-65 dari 113 negara. Peringkat Indonesia ada di bawah sejumlah negara ASEAN, seperti Singapura (peringkat ke-19), Malaysia (peringkat ke-43), Thailand (peringkat ke-51), dan Vietnam (peringkat ke-63).
Itu sebabnya, masalah gizi dan kesehatan keluarga mesti ditangani secara menyeluruh. Memberi makanan tambahan bergizi dinilai solusi jangka pendek. Solusi jangka panjang mencakup, antara lain, penyelesaian masalah kemiskinan, penyediaan sarana kebersihan dan sanitasi, dan pemberdayaan masyarakat untuk menyediakan bahan pangan, misalnya dengan berkebun.