Pemerintah menargetkan prevalensi tengkes atau ”stunting” turun menjadi 14 persen pada 2024. Dengan prevalensi 27,67 persen saat ini, semua pihak mesti bekerja sama menurunkan angka tengkes.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah kementerian/lembaga pemerintah membuat ekosistem terpadu untuk mempercepat penurunan tengkes atau stunting di Indonesia. Prevalensi tengkes diharapkan bisa turun dari 27,67 persen menjadi 14 persen pada 2024.
Ini tampak dari penandatanganan perjanjian kerja sama antara Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Kementerian Agama, serta Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) di Jakarta, Kamis (16/12/2021). Ketiganya sepakat bahwa pencegahan tengkes mesti dilakukan dari hulu. Edukasi soal gizi serta deteksi risiko tengkes pada calon pengantin menjadi penting.
Kepala BKKBN Hasto Wardoyo mengatakan, tengkes bisa dicegah bahkan sebelum kehamilan. Kuncinya, calon pengantin dan calon orangtua mesti mengecek kesehatan. Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 telah mengatur agar calon pengantin memeriksakan diri tiga bulan sebelum pernikahan.
Generasi masa kini perlu disiapkan agar Indonesia punya SDM berkualitas pada 2045. Upaya tersebut perlu dikejar dalam 23 tahun mulai dari sekarang.
Pengecekan termasuk mengukur tinggi badan, berat badan, kadar hemoglobin, dan lingkar lengan atas. Hal itu menjadi prediktor apa seseorang mengalami anemia atau kurang gizi. Orang yang mengalami anemia atau kekurangan gizi berisiko melahirkan anak tengkes.
”Risiko stunting juga bisa dideteksi lewat USG (ultrasonografi). Jika panjang paha janin tidak sampai 7 sentimeter, kemungkinan panjang bayi saat lahir tidak sampai 48 sentimeter. Ini berisiko stunting,” kata Hasto.
Adapun stunting adalah kondisi ketika anak gagal bertumbuh dan berkembang. Alasannya karena kurang asupan gizi dalam waktu lama, infeksi berulang, hingga kondisi psikososial yang tidak memadai di 1.000 hari pertama kehidupan.
Stunting bermasalah karena akan menghambat produktivitas seseorang. Menurut Hasto, kapasitas intelektual orang yang menderita stunting cenderung di bawah rata-rata. Orang stunting pun rentan menderita berbagai penyakit saat dewasa, seperti tekanan darah tinggi, penyakit jantung, stroke, dan gangguan metabolik.
Kondisi tersebut menurunkan kualitas SDM. Padahal, Indonesia punya visi Generasi Emas 2045. Upaya menurunkan angka stunting pun dikebut. Sebelumnya, Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengatakan bahwa satu dari empat anak mengalami stunting.
Kepala Organisasi Riset Pengkajian dan Penerapan Teknologi BRIN Dadan M Nurjaman mengatakan, generasi masa kini perlu disiapkan agar Indonesia punya SDM berkualitas pada 2045. Upaya tersebut perlu dikejar dalam 23 tahun mulai dari sekarang.
”Bayi yang akan lahir tahun depan akan masuk usia produktif pada 2045. Di masa itu juga ada bonus demografi. Itu sebabnya generasi ini perlu disiapkan menuju generasi emas 2045,” ucap Dadan.
Sejumlah riset dan inovasi dilakukan untuk menanggulangi stunting. BRIN kini mengeksplorasi sumber daya hayati, kearifan lokal, dan pangan lokal untuk memperbaiki asupan gizi untuk remaja putri, ibu hamil, dan calon pengantin.
BRIN kemudian mengembangkan Purula atau peptida unggul rumput laut. Purula berupa serpihan tabur yang jadi pelengkap makanan pokok. Fungsinya untuk meningkatkan penyerapan zat besi di darah. Ada pula kandungan berbagai vitamin dan mineral.
”Kini masih dalam tahap produksi oleh industri. Jika sudah disosialisasikan manfaatnya, ini bisa segera dipasarkan,” kata Dadan.
Sementara itu, BKKBN mengembangkan aplikasi Elektronik Siap Nikah dan Hamil (Elsimil) untuk calon pengantin dan calon orangtua. Aplikasi ini sebagai wadah penapisan kesehatan, konsultasi, edukasi, hingga pusat informasi tentang gizi dan pencegahan stunting. Berkas kesehatan calon pengantin ini jadi salah satu berkas pelengkap untuk pendaftaran pernikahan.
Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Kamaruddin Amin mengatakan, Kemenag berperan untuk memberi bimbingan pranikah kepada calon pengantin. Edukasi soal pencegahan stunting diajarkan selama bimbingan. Ini penting mengingat ada dua juta pasang orang menikah setiap tahun di Indonesia.
”Bimbingan akan kami lakukan secara hibrida ke depan. Jika jumlah SDM kami (untuk melakukan bimbingan) sudah memadai, bisa saja suatu saat bimbingan ini menjadi kewajiban,” ujar Kamaruddin.