Tengkes Ancam Kualitas Manusia hingga Tiga Generasi
”Stunting” merupakan ancaman serius terhadap daya saing bangsa Indonesia. Selain berkemampuan kognitif rendah, anak berisiko tinggi menderita penyakit jantung koroner, hipertensi, stroke, dan diabetes saat dewasa.
Oleh
ATIKA WALUJANI MOEDJIONO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Anak tengkes atau stunting akan berkemampuan kognitif rendah dan berisiko tinggi mengalami penyakit tidak menular, seperti penyakit jantung koroner, hipertensi, stroke, dan diabetes saat dewasa. Survei Status Gizi Balita Indonesia 2019, saat ini prevalensi stunting anak Indonesia masih 27,67 persen. Kondisi itu merupakan ancaman serius terhadap daya saing bangsa Indonesia karena stunting bertahan hingga tiga generasi dari anak bersangkutan.
Hal itu mengemuka dalam peluncuran dan bedah buku Pencegahan Stunting, Pentingnya Peran 1.000 Hari Pertama Kehidupan yang ditulis Endang L Achadi, Guru Besar Ilmu Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKMUI) dan Ketua Perhimpunan Dokter Gizi Medik Indonesia, bersama sejumlah peneliti dan dokter berbagai bidang. Hal itu berlangsung lewat seminar daring, Senin (27/7/2020).
Menurut Endang, anak tidak hanya tumbuh sesuai dengan potensi genetik, tetapi juga menyesuaikan diri dengan lingkungan. Dari gen yang diturunkan, terbuka peluang untuk menciptakan jalan bagi anak agar tumbuh dan berkembang secara optimal. Peluang itu ada pada 1.000 hari pertama kehidupan (HPK), yakni 270 hari dalam kandungan dan 730 hari setelah anak dilahirkan.
Proses terjadi stunting bersamaan dengan proses terjadi hambatan pertumbuhan dan perkembangan organ lain, termasuk otak, ginjal, dan sebagainya pada tahap janin ataupun setelah lahir.
Penelitian di Inggris menunjukkan, kelompok yang lahir dengan berat badan kurang dari 2.500 gram berisiko lebih tinggi mengalami penyakit jantung koroner serta penyakit kronis lain. Penyakit itu berasal dari respons tubuh terhadap kekurangan gizi saat pembentukan dan perkembangan organ tubuh.
Kurang gizi pada ibu hamil memengaruhi perkembangan otak, pertumbuhan janin, serta pemrograman metabolik dari glukosa, lemak, protein, dan hormon.
”Kurang gizi pada ibu hamil memengaruhi perkembangan otak, pertumbuhan janin, serta pemrograman metabolik dari glukosa, lemak, protein, dan hormon,” kata Endang.
Hal senada dikemukakan Safarina G Malik, peneliti dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman. Kondisi ibu memengaruhi pemrograman organ dan jaringan tubuh, antara lain struktur otak, metabolisme dan struktur hati, massa sel pankreas, peredaran darah pada ginjal.
Hal itu menentukan anak menjadi orang cerdas dan sehat dengan risiko penyakit kronis rendah, atau sebaliknya. ”Bisa dikatakan 1.000 HPK merupakan jendela peluang emas untuk menghasilkan manusia Indonesia yang berkualitas,” ujarnya.
Menurut Ari Fahrial Syam, Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), saat ini 4 dari 5 penyebab kematian di Indonesia adalah penyakit kronis/penyakit tidak menular, yakni penyakit jantung, diabetes, hipertensi, dan stroke.
Gangguan pertumbuhan dan risiko penyakit akibat stunting bisa bertahan selama tiga generasi dari anak bersangkutan. Karena itu, perlu perhatian khusus perbaikan gizi pada 1.000 HPK, remaja, calon pengantin, dan calon ibu.
”Stunting”, ”stunted”, kerdil
Ada perbedaan mendasar antara stunting, stunted, dan kerdil, kata Diah M Utari, pengajar FKMUI. Stunting ialah gagal tumbuh kembang pada anak akibat asupan gizi kurang dalam waktu lama, penyakit infeksi kronis atau berulang, serta stimulasi psikososial tidak memadai. Akibatnya, kemampuan kognitif anak jadi kurang serta berisiko menderita penyakit tidak menular di kemudian hari.
Sementara stunted adalah kondisi gagal tumbuh yang ditandai ukuran panjang badan dibandingkan dengan umur atau tinggi badan dibandingkan dengan umur yang kurang dari standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tentang pertumbuhan anak.
”Dalam hal ini, anak stunting pasti stunted, tapi anak stunted belum tentu stunting,” kata Diah. Stunting pada laki-laki dewasa berupa tinggi badan kurang dari 161,9 cm dan pada perempuan kurang dari 150,1 cm.
Adapun kerdil (dwarfism) adalah kondisi orang dewasa yang tinggi badannya kurang dari 147 cm akibat masalah genetik atau medis.
Stunting memengaruhi kompetensi anak Indonesia secara global. Seperti tampak pada pengukuran kemampuan sains, membaca dan matematika yang dilakukan Programme for International Student Assessment (PISA) dari Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), demikian Fasli Jalal, Guru Besar Ilmu Gizi Masyarakat yang juga Rektor Universitas Yarsi.
Sebagai gambaran, tahun 2012 Indonesia berada di peringkat ke-64 dari 65 negara, Singapura peringkat ke-2, Vietnam (17), Thailand (50). Tahun 2015, Indonesia masih di peringkat ke-62 dari 70 negara, sedangkan Singapura naik ke peringkat ke-1, Vietnam (8) dan Thailand (54).
Menurut Fasli, gizi sangat berperan dalam proses tumbuh kembang otak. Kekurangan gizi dalam 1.000 HPK bisa menurunkan 10-15 poin kecerdasan intelektual (IQ). Selain energi dan protein, zat gizi yang penting untuk perkembangan otak adalah yodium, asam folat, zat besi, dan seng.
Program prioritas
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia Muhadjir Effendy yang menjadi pembicara kunci mengakui, beban kesehatan Indonesia masih berat.
Hal itu meliputi antara lain stunting yang masih 27,67 persen (Survei Status Gizi Balita Indonesia 2019), angka kematian ibu (AKI) 305 per 100.000 kelahiran hidup (Survei Penduduk Antar Sensus 2015), dan angka kematian bayi (AKB) 24 per 1.000 kelahiran hidup (Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2017). Selain itu, 26 dari 100 kematian penduduk usia 30-70 tahun disebabkan oleh penyakit tidak menular.
Upaya mengatasi stunting, menurut Muhadjir, masuk dalam prioritas strategis pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, berupa proyek percepatan penurunan kematian ibu dan stunting.
Targetnya, menurunkan stunting hingga 14 persen dan AKI menjadi 183 per 100.000 kelahiran hidup. Dana yang dikucurkan Rp 159,1 triliun dengan pelaksana Kemenkes, BKKBN, Kementerian PUPR, Kemensos, Kemendagri, dan pemerintah daerah.
Direktur Gizi Masyarakat Kementerian Kesehatan Dhian P Dipo menambahkan, program percepatan penurunan stunting dilakukan dengan strategi satu kerangka kerja, otoritas koordinasi nasional, serta sistem monitoring dan evaluasi nasional. Implementasi intervensi perlu dilakukan lintas sektor yang terintegrasi di tingkat pusat dan daerah.
Hal itu dikuatkan A Razak Thaha, Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin Makassar. ”Perlu komitmen tinggi dari pemerintah pusat dan daerah agar program intervensi berjalan sinergi,” ujarnya.