Omicron Cenderung Tidak Memicu Keparahan, tetapi Sangat Menular
Meski lebih menular dibandingkan varian Delta dan memicu infeksi ulang, varian Omicron tidak menyebabkan Covid-19 parah. Varian Omicron sejauh ini belum terdeteksi di Indonesia.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Varian Omicron cenderung tidak menyebabkan keparahan dibandingkan varian virus korona lainnya. Namun, potensi lonjakan kasus yang bisa memicu kolapsnya layanan kesehatan perlu diwaspadai karena varian Omicron lebih menular hingga empat kali lipat dibandingkan Delta, termasuk bisa memicu infeksi ulang.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan, kasus baru Covid-19 di Afrika telah melonjak sebesar 93 persen dalam sepekan terakhir dibandingkan dengan minggu sebelumnya. Laporan ini membuat jumlah kasus yang dilaporkan di benua itu menjadi lebih dari 8,8 juta dengan lebih dari 220.000 kematian.
Sementara itu, Omicron diketahui telah menyebar ke 60 negara, 10 di antaranya di Afrika. Sejumlah negara tetangga Indonesia, seperti Malaysia dan Singapura, juga sudah melaporkan masuknya varian ini. Data WHO menunjukkan, hampir setengah dari sekitar 1.000 kasus Omicron yang dilaporkan secara global berada di Afrika, dengan beban terberat ditanggung Afrika Selatan.
Safarina G Malik, peneliti senior Pusat Riset Biologi Molekuler Eijkman-BRIN, di Jakarta, Minggu (12/12/2021), mengatakan, ”Sampai sekarang, Omicron belum ditemukan di Indonesia walaupun kita sudah melakukan lebih dari 10.000 WGS (whole genome sequencing),” katanya.
Menurut Safarina, semua pelaku perjalanan dari luar negeri yang positif Covid-19 juga telah diperiksa spesimennya secara genomik. ”Sejauh ini, varian yang dominan di Indonesia masih Delta dan turunannya,” katanya.
Sekalipun varian Omicron belum ditemukan di Indonesia, Safarina mengingatkan kita agar terus waspada. Apalagi, sejumlah laporan menunjukkan bahwa varian ini sangat menular.
Kajian yang dilakukan para peneliti yang dipimpin oleh Nishiura Hiroshi dari Universitas Kyoto, Jepang, menyebutkan, varian Omicron sangat menular bahkan di antara orang yang divaksinasi atau mereka yang telah terinfeksi jenis virus korona lain. Tim ini telah memeriksa informasi genetik dari sekitar 200 kasus Covid-19 di Afrika Selatan dari September hingga akhir November berdasarkan basis data internasional.
Sebagaimana diberitakan NHK, kamis (9/12/2021), Hiroshi mengatakan, tingkat reproduksi efektif, yang berarti jumlah rata-rata orang yang terinfeksi oleh setiap orang dengan virus Omicron di Provinsi Guateng, Afrika Selatan, mencapai 4,2 kali lebih tinggi daripada varian Delta.
Sampai sekarang, Omicron belum ditemukan di Indonesia walaupun kita sudah melakukan lebih dari 10.000 WGS (whole genome sequencing).
Omicron diketahui bisa dengan cepat menyebar dan menggeser dominasi Delta seperti terjadi di Inggris yang mengalami lonjakan penyebaran Omicron paling cepat dibandingkan dengan negara lain di dunia. Lebih dari 600 kasus baru varian ini dikonfirmasi di Inggris pada Sabtu (11/12/2021).
Pemodelan yang dirilis Rosanna C Barnard dan tim dari London School of Hygiene and Tropical Medicine pada hari yang sama menyebutkan, Omicron kemungkinan akan menyebabkan gelombang besar infeksi di Inggris pada Januari.
Saat gelombang Omicron ini terjadi, diperkirakan dapat menyebabkan antara 25.000 dan 75.000 kematian di Inggris dalam lima bulan ke depan jika tidak ada tindakan serius yang diambil. Skenario paling pesimistis memperkirakan setengah juta orang butuh perawatan karena infeksi virus ini pada akhir April.
Di bawah skenario yang paling optimis, yaitu kemampuan menembus kekebalan dari Omicron yang rendah dan efektivitas booster yang tinggi, gelombang infeksi di Inggris diproyeksikan dapat menyebabkan lebih dari 2.000 kasus rawat inap setiap hari dengan 175.000 rawat inap dan 24.700 kematian terjadi antara 1 Desember 2021 dan 30 April 2022.
Jumlah infeksi tersebut akan bergantung pada seberapa banyak varian Omicron bisa lolos dari perlindungan vaksin dan seberapa efektif suntikan booster dalam memperkuat kekebalan. Oleh karena itu, tim peneliti menyarankan percepatan suntikan booster vaksin Covid-19.
Sebelumnya, Badan Keamanan Kesehatan Inggris (UKHSA) pada Jumat (10/12/2021) menyatakan, baik vaksin Covid-19 dari AstraZeneca maupun Pfizer tampak kurang efektif mencegah infeksi simptomatik pada orang yang terpapar Omicron. Meskipun demikian, data awal menunjukkan bahwa efektivitas vaksin tampak meningkat antara 70 persen dan 75 persen setelah dosis vaksin ketiga.
Sementara itu, Richard Mihigo, Koordinator Pengembangan Vaksin di Kantor Regional WHO untuk Afrika, mengatakan, data awal menunjukkan, infeksi yang disebabkan varian Omicron cenderung lebih ringan dibandingkan varian lain. ”Data rawat inap di seluruh negeri (Afrika Selatan) antara 14 November dan 4 Desember menunjukkan, hunian ICU hanya 6,3 persen—yang sangat rendah dibandingkan dengan periode yang sama ketika Afrika Selatan menghadapi puncak karena varian Delta, sekitar Juli tahun ini,” kata Mihigo.
Epidemiolog Griffith University, Australia, Dicky Budiman, mengatakan, data awal tentang tingkat keparahan akibat infeksi Omicron di Afrika Selatan harus disikapi hati-hati. ”Di Afrika Selatan banyak pasien yang terinfeksi Omicron dari kalangan muda, yang rata-rata kemungkinan sudah pernah terinfeksi varian sebelumnya atau sudah divaksinasi,” katanya.
Kekebalan yang disebabkan vaksinasi atau infeksi sebelumnya ini, menurut dia, kemungkinan turut mengurangi keparahan dari Omicron. Namun, jika Omicron ini menginfeksi kelompok rentan, apalagi yang belum divaksin, maka risikonya bisa tinggi.
Selain itu, jika fasilitas kesehatan dibanjiri pasien, risikonya juga bisa sangat tinggi, sebagaimana pernah terjadi dengan gelombang Delta. Jadi, menurut Dicky, tingkat keparahan harus dikombinasikan dengan tingkat penularan untuk melihat risiko dari Omicron. ”Paling penting tetap waspada dan tidak boleh lengah, apalagi cakupan vaksinasi untuk kelompok rentan kita juga masih kurang, di sisi lain perlu ada percepatan program booster vaksin,” katanya.