Infeksi Ganda Covid-19 dan Tuberkulosis Picu “Perfect Storm”
Antisipasi perlu dilakukan apabila penularan Covid-19 terjadi bersamaan dengan penularan tuberkulosis. Infeksi ganda dari penyakit tersebut dapat memperburuk kondisi pasien.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Covid-19 dan tuberkulosis merupakan penyakit menular yang dapat menyerang organ paru. Keduanya kini menjadi persoalan kesehatan di masyarakat. Sejumlah hal perlu diantisipasi, terutama ketika seseorang tertular Covid-19 dan tuberkulosis secara bersamaan.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang juga mantan Direktur Penyakit Menular Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Asia Tenggara, Tjandra Yoga Aditama, mengatakan, infeksi ganda dari Covid-19 dan tuberkulosis (TB) harus diantisipasi. Dari aspek imunologi, infeksi ganda dari dua penyakit ini bisa berpotensi menimbulkan kondisi perfect storm.
”Kondisi perfect storm terjadi ketika seseorang mengalami gangguan imunologi akibat Covid-19 sekaligus mengalami gangguan imunologi akibat TB (tuberkulosis). Hal ini menyebabkan daya tahan tubuh semakin menurun sehingga gejala Covid-19 semakin berat dan TB juga kian berat,” katanya dalam kegiatan Kongres Nasional XVI PDPI 2021 yang diikuti secara virtual dari Jakarta, Sabtu (4/9/2021).
Dalam publikasi ilmiah berjudul ”Pathology of TB/COVID-19 Co-Infection: The Pantom Menace” yang dipublikasi Elsevier Public Health Emergency Collection pada November 2020 menyebutkan, gangguan yang disebabkan patogen Covid-19 dan TB dapat mendorong perburukan kedua penyakit tersebut. Itu terjadi karena ada respons inflamasi (peradangan) yang tidak seimbang di dalam tubuh.
Oleh karena itu, Tjandra mengatakan, seseorang yang mengalami koinfeksi Covid-19 dan TB harus segera mendapatkan penanganan yang baik. Kedua penyakit tersebut perlu diobati dan ditanggulangi secara cepat dan tepat.
”Semua obat TB dapat diberikan kepada pasien Covid-19, demikian juga semua obat Covid-19 dapat diberikan kepada pasien TB. Itu hanya tinggal diatur waktunya saja,” katanya.
Integrasi penanganan
Tjandra menambahkan, setidaknya ada empat intervensi yang bisa diintegrasikan antara penanganan Covid-19 dan TB. Pertama, upaya pencegahan dengan membatasi penularan Covid-19 dan TB di tempat berkumpul dan fasilitas pelayanan kesehatan. Kedua, diagnosis yang bisa dilakukan secara bersamaan untuk mendeteksi Covid-19 dan TB.
Ketiga, pengobatan dan perawatan yang diawali dengan penemuan kasus aktif dan pelacakan kontak. Dukungan logistik dan penggunaan teknologi digital amat diperlukan untuk mendukung upaya tersebut.
Semua obat TB dapat diberikan kepada pasien Covid-19, demikian juga semua obat Covid-19 dapat diberikan kepada pasien TB. Itu hanya tinggal diatur waktunya saja.
Keempat, sumber daya manusia yang bisa diintegrasikan dalam penanganan Covid-19 dan TB. Dokter spesialis pulmonologi dan petugas kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan primer bisa segera menangani pasien Covid-19 dengan komplikasi TB.
”Ada juga tujuh peluang yang bisa dijalankan bersamaan untuk penanganan TB dan Covid-19, yaitu testing, surveilans, pencegahan dan pengendalian infeksi, kontak tracing, alur perawatan layanan kesehatan, komunikasi risiko, serta keterlibatan komunitas,” ucap Tjandra.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menyampaikan, penanganan Covid-19 dan TB akan segera diintegrasikan, terutama terkait pelacakan kasus Covid-19 dan investigasi kontak TB. Pada pasien dengan suspek TB akan langsung diarahkan untuk dilakukan penapisan TB.
Sementara pada orang dengan gejala batuk dan pilek, penapisan akan dibedakan antara gejala Covid-19 dan bukan. Pada orang dengan gejala bukan Covid-19, kemudian akan dilakukan pemeriksaan lanjutan terkait TB.
”Jadi kita akan lakukan integrasi pada screening. Deteksi dini juga akan dilakukan dengan surveilans ILI (penyakit yang menyerupai influenza), pneumonia, dan juga TB. Gejala yang muncul biasanya tidak khas,” tuturnya.
Kolaborasi
Nadia menambahkan, pemerintah pun berkomitmen segera menuntaskan persoalan TB di Indonesia. Kolaborasi dari seluruh pihak pun diperkuat dengan diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2021 tentang Penanggulangan Tuberkulosis.
Berdasarkan Global TB Report 2020, jumlah kasus TB di Indonesia diperkirakan 845.000 kasus. Ini merupakan jumlah tertinggi kedua di dunia setelah India. Dari jumlah itu, pasien TB yang ditemukan dan diobati pada 2019 baru mencapai 67 persen. Artinya, masih ada 283.000 orang dengan TB yang belum ditemukan dan diobati sehingga berisiko menjadi sumber penularan.
Nadia menyampaikan, dalam perpres mengenai penanggulangan tuberkulosis telah ditetapkan target penurunan kejadian TB yang harus ditekan menjadi 65 per 100.000 penduduk pada 2030. Saat ini, kejadian TB masih 319 per 100.000 penduduk.
”Salah satu strategi nasional untuk eliminasi TB adalah memperkuat komitmen dan kepemimpinan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Selain itu, peran serta dari komunitas, pemangku kepentingan, dan multisektor lainnya juga akan ditingkatkan,” ujarnya.
Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Agus Dwi Susanto mengatakan, organisasi profesi akan turut berkomitmen dalam upaya penanggulangan tuberkulosis di Indonesia. Setidaknya ada empat hal yang akan diperkuat, yakni menyiapkan dan mengimplementasikan rencana untuk mengatasi ketertinggalan dalam penanganan TB, meningkatkan pemanfaatan teknologi digital, memperkuat kepemimpinan di komunitas, serta memanfaatkan inovasi dan penelitian terbaru untuk kebaikan pasien.
”Kami juga akan mendorong percepatan pemenuhan dokter paru untuk melayani masyarakat Indonesia. Saat ini, jumlah dokter paru baru mencapai 1.284 orang. Sementara jumlah ideal untuk menjangkau 250 juta penduduk sebanyak 2.500 dokter paru,” katanya.