Belum adanya satu suara antarkementerian ataupun lembaga di jajaran pemerintah membuat revisi aturan pelaksanaan pengendalian tembakau terus ditunda. Padahal, dampak buruk dari konsumsi rokok makin besar.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembahasan terkait revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan belum juga usai. Pro-kontra antarkementerian ataupun lembaga di pemerintah membuat revisi tersebut terus ditunda. Sementara dampak buruk dari konsumsi rokok semakin besar.
Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kesehatan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Agus Suprapto, di Jakarta, Rabu (28/7/2021), mengatakan, pembahasan revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 masih menanti jadwal rapat di tingkat kabinet. Apabila disetujui untuk direvisi, proses perumusan pun akan dilanjutkan.
”Penetapan dan pemberlakuannya akan memperhitungkan kondisi pandemi Covid-19. Kendala yang dihadapi selama ini, masih adanya pro-kontra dari kementerian/lembaga serta asosiasi masyarakat,” ujarnya.
Menurut dia, ada banyak alasan yang memperkuat urgensi untuk segera merevisi aturan tersebut. Hal utama yang menjadi perhatian adalah upaya menurunkan prevalensi perokok anak. Hal itu sesuai dengan amanat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 yang menargetkan prevalensi perokok anak turun menjadi 8,4 persen pada 2024.
Kondisi saat ini, prevalensi perokok anak justru meningkat dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 9,1 persen pada 2018. Peningkatan ini juga ditemui pada perokok elektrik yang naik signifikan dari 1,2 persen pada tahun 2016 menjadi 10,9 persen pada 2018.
Jika tidak ada intervensi yang kuat, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional memproyeksikan, prevalensi perokok anak bisa mencapai 12 persen atau sebanyak 5,5 juta anak.
Agus menambahkan, selain untuk menekan prevalensi perokok anak, revisi PP No 109/2012 ini dimaksud untuk mengatur luas penampang peringatan kesehatan bergambar (PHW) pada bungkus rokok menjadi 90 persen. Hitungan ini berlandaskan pada berbagai survei dan penelitian.
Penetapan dan pemberlakuannya akan memperhitungkan kondisi pandemi Covid-19. Kendala yang dihadapi selama ini adalah masih adanya pro-kontra dari kementerian/lembaga serta asosiasi masyarakat.
Berdasarkan survei yang dilakukan Universitas Indonesia pada 2018 di Jakarta dan Depok, luas penampang PHW berkorelasi dengan tingkat keefektifan untuk membuat orang lebih takut dan percaya akan bahaya rokok. Dengan luas gambar peringatan mencapai 90 persen, tingkat efektivitas lebih optimal.
”Revisi PP No 109/2012 juga dimaksudkan untuk mengoptimalkan pengawasan peredaran produk tembakau. Pengawasan yang berjalan selama ini belum optimal sehingga perlu diperjelas tanggung jawab dan kewenangan kementerian/lembaga serta pemerintah daerah dalam pengawasan,” tuturnya.
Agus menambahkan, Kementerian Komunikasi dan Informatika perlu semakin tegas untuk mengawasi peredaran dan penjualan produk tembakau secara daring. Badan Pengawas Obat dan Makanan pun perlu diperkuat dalam pengujian produk tembakau, verifikasi pembuktian atas pengujian kadar nikotin dan tar pada produk tembakau, serta pengenaan sanksi administratif bagi produsen produk tembakau dengan memakai bahan tambahan. Gugus tugas yang mengawasi peredaran dan penjualan serta iklan dan promosi produk tembakau juga mesti dibentuk.
Tanggung jawab dalam pengawasan tersebut juga akan ditingkatkan pada pemerintah daerah. Hal itu termasuk pemberian sanksi larangan peredaran dan penjualan produk tembakau, pelarangan dan pengawasan iklan produk tembakau di media luar ruang, serta larangan untuk menjual rokok eceran atau batangan.
”Selama ini peredaran, penjualan, atau promosi jenis-jenis produk tembakau di media yang memanfaatkan teknologi informasi belum diatur dalam PP No 109/2012. Kekosongan pengaturan itu dimanfaatkan pelaku usaha industri hasil tembakau untuk melakukan penayangan iklan secara masif,” kata Agus.
Saat ini juga makin marak berbagai konten di media sosial yang sengaja menampilkan aktivitas merokok oleh figur publik. Karena itu, dalam revisi PP No 109/2012 pada Pasal 25 huruf e telah diatur pelarangan mengedarkan dan menjual produk tembakau menggunakan jasa media teknologi informasi.
Agus menjelaskan, dalam revisi PP No 109/2012 akan diatur pula perihal peredaran produk tembakau nonkovensional, seperti rokok elektrik yang menggunakan nikotin cair serta rokok dengan pemanasan. Kedua produk tersebut belum memiliki definisi tersendiri dan belum memiliki regulasi khusus. Padahal, produk tersebut juga memiliki kandungan zat kimia yang sama bahayanya dengan rokok konvensional.
”Saat ini sampai dengan Oktober nanti, petani tembakau sedang masuk masa panen. Kami berharap isu revisi tidak digunakan oknum-oknum untuk menjatuhkan harga panen tembakau. Karena kenyataaannya, penurunan kesejahteraan petani selama ini disebabkan tingginya impor tembakau sehingga serapan produk lokal turun,” ujarnya.
Secara terpisah, Direktur Industri Minuman, Industri Tembakau, dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian Edy Sutopo menuturkan, Kementerian Perindustrian tidak setuju dengan adanya revisi PP No 109/2012. Aturan yang berlaku saat ini dinilai sudah komprehensif, hanya perlu disosialisasikan dan diimplementasikan dengan baik, termasuk terkait penegakan hukumnya.
”Dengan memperketat aturan produk tembakau, rentetan terjadi amat panjang. Industri rokok merupakan lokomotif panjang yang berpengaruh pada petani tembakau, petani cengkeh, industri kertas rokok, industri pengemasan, dan ritel di warung kecil. Jadi, kami tak setuju revisi PP No 109/2012 yang arahnya pengetatan aturan,” katanya.