Pandemi menimbulkan lara kepada semua orang, tanpa kecuali. Namun, di tengah situasi yang tak pasti itu, banyak orang mampu bertahan, bahkan berkembang.
Oleh
Tim Kompas
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketidakpastian yang lahir dari pandemi Covid-19 menimbulkan tekanan mental berat bagi semua orang. Di tengah keterbatasan itu, sebagian orang justru mampu melihat adanya peluang dan mengoptimalkannya. Sikap adaptif, fleksibel, dan berpikir positif jadi pemandu agar mampu melalui krisis dengan baik.
Di awal pandemi, usaha pertanian hidroponik dan organik yang ditekuni Difva Asthabrata R (38) melalui Jhivaka Hidden Garden Bintaro di Tangerang Selatan terguncang. Tutupnya restoran dan hotel membuat perusahaan penyalur sayuran tiarap dan ia tak bisa lagi memasok sayuran. Ia pun banting stir, menjual sayuran langsung kepada tetangga sekitar rumah.
Keengganan masyarakat ke luar rumah untuk berbelanja ke pasar jadi peluang. ”Proses produksi terus berjalan, sedangkan staf juga harus digaji. Mau tidak mau saya harus memasarkan sendiri,” kata Difva, Senin (13/4/2021).
Setahun pandemi, usaha pertanian perkotaan yang ditekuni Divfa makin berkembang. Kini, ia juga memasok sejumlah kios sayur kecil yang omzetnya turun akibat maraknya penjualan langsung dan belanja daring. Bahkan, ia mendapat investor untuk mengelola lahan 1 hektar di Jasinga, Bogor. Ke depan, lahan itu diharapkan jadi desa berbudaya lingkungan (ecovillage) yang bisa ikut menyejahterakan petani sekitarnya.
Keterpurukan usaha juga dialami Iswanda Mardio (38), Co-Founder Steak Hotel by Holycow!. Di awal pandemi, pertengahan Maret 2020, stok daging mencapai 1,5 kali lipat dari kondisi normal untuk antisipasi lonjakan permintaan pada Ramadhan 1441 Hijriah. Nyatanya, saat itu pemerintah menerapkan pembatasan sosial berskala besar yang membuat dia dan tim harus putar otak menjual stok daging yang ada.
Diversifikasi usaha pun dilakukan. Dari semula bisnis restoran, mereka beralih menjual steak siap olah dalam bentuk beku, masuk ke sejumlah marketplace untuk menjual produk mereka, serta mengoptimalkan layanan rumah. Siasat itu membuat usahanya terus berjalan meski omzet jauh menurun dan 30-40 persen karyawan bisa dipertahankan.
Orang bilang: Bagi pelaku bisnis, tidak gila saja sudah untung. Saya berusaha tetap logis dan beradaptasi cepat karena banyak hal harus dipikirkan, terutama nasib karyawan.
Pandemi memberi tekanan besar bagi pelaku usaha. ”Orang bilang: Bagi pelaku bisnis, tidak gila saja sudah untung. Saya berusaha tetap logis dan beradaptasi cepat karena banyak hal harus dipikirkan, terutama nasib karyawan," ujarnya.
Adaptasi dan sikap fleksibel adalah kunci untuk bisa melalui pandemi dengan baik. Saat keterbatasan justru dipandang sebagai peluang yang bisa dipakai untuk berubah dan keluar dari permasalahan, maka akan terbuka banyak kesempatan untuk dimanfaatkan.
”Kuncinya adalah kemauan bersikap fleksibel,” kata psikolog klinis dan dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Depok, Adityawarman Menaldi. Saat seseorang merasa tidak mampu berbuat apa-apa menghadapi situasi buruk selama pandemi, ia dipastikan sulit berkembang.
Namun, sikap fleksibel dan adaptif itu menjadi tantangan besar bagi generasi milenial (lahir 1981-1996) dan gen Z (lahir 1997-2012) yang hidup dalam narasi follow your passion atau ikuti minatmu.
Menurut Adityawarman, tidak masalah jika ingin tetap bekerja sesuai minat selama pandemi sepanjang mereka bisa mengoptimalkan keterampilan lunak (soft skill) yang dimiliki, seperti kemampuan berkomunikasi, bekerja sama, mengelola waktu, hingga cepat berubah. Keterampilan itu bisa menyelamatkan mereka melalui masa-masa sulit pandemi.
”Sikap adaptif dan fleksibel itu dibentuk lewat pola asuh orangtua, pendidikan, dan pengalaman hidup yang dilalui seseorang,” ucapnya.
Proses adaptasi yang berdampak positif itu juga dilakukan Ostrad (23), mahasiswa psikologi universitas swasta di Bandung, Jawa Barat. Jenuh di indekos akibat ditutupnya kampus, hilangnya kesempatan berkumpul bersama teman, dan bayangan kegagalan kuliah yang kini memasuki semester X membuatnya stres.
Saat pandemi berjalan tiga bulan, Ostrad memilih aktif dalam komunitas ”BerbaginasiID”, gerakan membagikan nasi bungkus untuk tunawisma di Bandung. Bertemu anggota komunitas, menyusuri emperan toko demi membagikan nasi saat malam, membuat stres dan kecemasannya berkurang.
”Meski tidak tiap hari dilakukan, kegiatan itu bisa melepas kebosanan akibat sendirian di tempat indekos,” katanya.
Menyadari akhir pandemi yang tak menentu, sejak dua pekan lalu Ostrad memilih berjualan bubur ayam bersama rekannya. Setoran modal awal darinya sebesar Rp 1,5 juta, dia ambil dari uang bulanan kiriman orangtuanya di Pematang Siantar, Sumatera Utara. Rutinitas berjualan pada pagi hari itu membuat hidupnya lebih teratur dan menumbuhkan tanggung jawab.
Cara lain untuk bangkit dari kecemasan pandemi dilakukan Dahlan (23), lulusan perguruan tinggi di Bandung yang sudah enam bulan menganggur. Obrolan intensif dengan teman SMA dan kuliah tak hanya melahirkan rasa senasib sepenanggungan, tetapi juga ide bisnis. Mulai ramainya kafe-kafe jadi peluang usaha distribusi kopi dari petani kopi di Kabupaten Bandung dan Garut.
”Harus berani terjun ke kebun-kebun untuk mencari kopi berkualitas. Asal tidak gengsi, pasti selalu ada kesempatan,” imbuhnya.
Psikiater di Rumah Sakit Melinda 2 Bandung, Teddy Hidayat, mengingatkan, kebiasaan menyendiri pada anak muda harus dihindarkan guna mencegah depresi. Bergabung dalam kegiatan sosial atau olahraga, sembari tetap melaksanakan protokol kesehatan, bisa membantu menyalurkan adrenalin anak muda dan berdampak positif bagi jiwa dan raga.
Dalam situasi pandemi yang menguji ketangguhan mental itu, dukungan keluarga dan komunitas menjadi sangat bermakna. Kemampuan untuk melalui dan bangkit dari berbagai masalah selama pandemi tidak bisa bergantung pada tiap-tiap individu semata.
”Selama pandemi, semua berlangsung daring, tidak bisa berinteraksi langsung. Akibatnya, keterikatan jadi berkurang. Dalam situasi itu, peran keluarga jadi luar biasa,” kata Diana Setiyawati, Direktur Pusat Kesehatan Mental Masyarakat, Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Penanganan kesehatan mental anak muda harus terintegrasi. Selain keluarga dan komunitas, pemerintah punya andil besar, tidak hanya untuk menyediakan layanan kesehatan mental yang memadai, tetapi juga menciptakan kebijakan yang konsisten.
”Masalah kesehatan mental anak muda bukan persoalan individu, melainkan buah dari fase hidup yang sedang mereka jalankan menuju kehidupan yang lebih mapan,” kata Adityawarman. (TAM/ELN/MZW/SKA)