Radang Hebat pada Anak Setelah Covid-19
Meski anak dan remaja hanya bergejala ringan saat terinfeksi Covid-19, ada bahaya mengancam mereka. Pada sejumlah anak, respons imun memicu sindrom peradangan multisistem yang bisa berujung pada kematian.
Pada awal pandemi Covid-19 disebut bahwa anak-anak jarang tertular, kalaupun terinfeksi hanya mengalami gejala ringan. Belakangan, dokter dikejutkan dengan lonjakan kasus penyakit mirip Kawasaki di wilayah yang terimbas Covid-19.
Sejumlah anak yang sebelumnya segar bugar tiba-tiba menunjukkan gejala demam, radang mata, muntah, diare, gangguan jantung, hingga tanda syok seperti pucat, lemah, denyut nadi cepat, tekanan darah turun, dan tubuh dingin.
Lucio Verdoni dan kolega dari Bagian Anak, Rumah Sakit Papa Giovanni XXIII, Bergamo, Italia, melaporkan di Lancet, 6 Juni 2020, peningkatan penyakit mirip Kawasaki 30 kali lipat sepanjang 18 Februari hingga 20 April 2020. Dari pemeriksaan antibodi, anak-anak yang menunjukkan respons imun berlebihan dan gangguan jantung itu ternyata pernah terinfeksi Covid-19 meski tanpa gejala.
Hal serupa terlihat pada anak-anak di Inggris, berdasarkan catatan Shelley Riphagen dan kolega dari Rumah Sakit Anak Evelina London. Dalam artikel di Lancet, 23 Mei 2020, disebutkan, ada delapan anak didiagnosis dengan gejala mirip penyakit Kawasaki dalam kurun waktu 10 hari pada pertengahan April 2020. Empat anak berasal dari keluarga yang terpapar Covid-19. Pasien mengalami demam, serta sejumlah gejala termasuk hipotensi, peradangan, gangguan multiorgan (seperti jantung, gastrointestinal, ginjal, hematologi, dermatologi, dan neurologi).
Baca juga: Kenali Gejala Covid-19 pada Anak
Survei internasional dari Carles Bautista-Rodriguez asal Inggris dan kolega dari sejumlah negara di jurnal Pediatrics, Februari 2021, memaparkan kajian data retrospektif kasus anak-anak yang dirawat sepanjang 1 Maret hingga 15 Juni 2020 dari 33 rumah sakit di sejumlah negara di benua Eropa, Asia dan Amerika.
Tercatat ada 183 anak dengan gejala demam, peradangan, gangguan saluran cerna, gangguan jantung, dan hampir setengahnya mengalami syok. Sebanyak 62,3 persen terbukti pernah atau sedang terinfeksi Covid-19.
Peradangan multisistem
Para dokter menyebut kondisi itu sebagai sindrom peradangan multisistem pada anak (multisystem inflammatory syndrome in children/MIS-C). Amerika Serikat (AS) juga mencatat peningkatan mencolok jumlah anak dan remaja yang mengalami sindrom itu.
Sebuah tulisan di New York Times, 16 Februari 2021, mengisahkan anak-anak AS yang sebelumnya sehat, beberapa minggu setelah terkena Covid-19 menunjukkan gejala demam, ruam, mata merah, atau gangguan saluran cerna. Beberapa mengalami gangguan jantung, termasuk syok kardiogenik, yakni jantung tidak mampu memompa darah dengan cukup.
Menurut Roberta DeBiasi, Kepala Bagian Penyakit Menular Rumah Sakit Anak Nasional, Washington, DC, kasus meningkat dengan gejala lebih parah. Jika tahun lalu sekitar 50 persen pasien membutuhkan perawatan di unit perawatan intensif (ICU), kini ada 80-90 persen yang memerlukan.
Jean Ballweg, Direktur Medis Transplantasi Jantung Anak dan Gagal Jantung di Rumah Sakit Anak di Omaha, Nebraska, menuturkan, April hingga Oktober tahun lalu, rumah sakit merawat rata-rata dua kasus MIS-C per bulan, sekitar 30 persen memerlukan ICU. Bulan Desember, kasus melonjak menjadi 10 kasus, dan ada 12 kasus pada Januari. Yang membutuhkan perawatan di ICU naik dua kali lipat atau 60 persen.
Beberapa pasien mengalami kardiomiopati yang membuat otot jantung menjadi kaku, atau ritme jantung tidak normal. Bahkan, ada anak berusia 15 tahun perlu pemasangan alat pacu jantung sementara.
Baca juga:Pahami Cara Penularan Covid-19 pada Anak
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) AS mendefinisikan MIS-C sebagai suatu kondisi di mana berbagai bagian tubuh mengalami peradangan, termasuk jantung, paru, ginjal, otak, kulit, mata, atau organ pencernaan. Ada berbagai variasi gejala termasuk demam, sakit perut, muntah, diare, lesu, sakit leher, ruam kulit, mata merah. MIS-C dianggap sebagai sindrom, yakni sekelompok tanda dan gejala, bukan penyakit, karena banyak yang belum diketahui, termasuk penyebab dan faktor risikonya.
Banyak anak dengan MIS-C pernah mengalami infeksi Covid-19, atau berada di sekitar penderita Covid-19. Belum diketahui penyebabnya karena tidak semua anak yang pernah terinfeksi Covid-19 mengalami hal tersebut.
Orangtua dianjurkan segera mencari perawatan darurat jika anak menunjukkan tanda darurat MIS-C, seperti kesulitan bernapas; nyeri atau dada sesak; kebingungan; lemah, lesu, dan terus tidur; kulit, bibir, atau kuku pucat, atau membiru; serta sakit perut parah.
Kondisi ini bisa serius, bahkan mematikan. Tapi, umumnya anak dengan kondisi itu membaik dengan perawatan medis. Orangtua dianjurkan segera mencari perawatan darurat jika anak menunjukkan tanda darurat MIS-C, seperti kesulitan bernapas; nyeri atau dada sesak; kebingungan; lemah, lesu, dan terus tidur; kulit, bibir, atau kuku pucat, atau membiru; serta sakit perut parah.
Berdasarkan catatan Pusat Pengendalian Penyakit (CDC) Amerika Serikat, pada 1 Oktober 2020, jumlah kasus MIS-C di AS telah lebih dari 1.000 orang, mencapai 2.617 dengan 33 kematian akhir Februari 2021. Kasus terjadi pada rentang usia 1-20 tahun. Yang terbanyak usia 1-14 tahun, dengan rata-rata usia 9 tahun. Lebih dari setengah kasus (59 persen) terjadi pada anak laki-laki.
Kasus Indonesia
Dadang Hudaya Somasetia dan kolega dari Departemen Kesehatan Anak RS Hasan Sadikin-Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, di jurnal IDCases yang dipublikasi secara daring pada 2 November 2020, melaporkan kasus MIS-C pada anak laki-laki usia 6 tahun dengan Covid-19 bersamaan infeksi dengue parah.
Pasien dirujuk dari rumah sakit lain dengan gejala demam, nyeri perut akut, syok, dan memburuk dengan cepat. Meski diberi pengobatan, kondisi pasien terus memburuk dan mengalami kegagalan banyak organ sehingga meninggal setelah 14 jam dirawat di unit gawat darurat anak.
Penelitian lain yang dilakukan sepanjang 2 Maret hingga 31 Juli 2020 pada pasien di 55 RS di Jakarta oleh tim peneliti dari Indonesia, Inggris, dan Vietnam, yang dimuat di Lancet Regional Health-Western Pacific, 2 Maret 2021, mendapatkan kematian cukup tinggi pada anak berusia kurang dari 5 tahun, yakni 11 persen. Namun, tidak tersedia informasi lengkap tentang kondisi yang mendasari dan penyebab pasti kematian anak-anak tersebut.
Baca juga: 1.851 Anak Indonesia Tertular Covid-19, Upaya Pencegahan di Hulu Tidak Optimal
Nina Dwi Putri, dokter ahli infeksi dan pediatri tropis Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RS Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM) yang juga Sekretaris Bidang Ilmiah Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyebutkan, sepanjang Maret-Desember 2020, ada 14 kasus MIS-C di RSCM, 4 di antaranya meninggal. ”Ada juga laporan dari beberapa provinsi. Saat ini datanya sedang dikumpulkan,” ujarnya.
Ketua Satuan Tugas Covid-19 IDAI yang juga dokter ahli emergensi dan rawat intensif anak FKUI-RSCM Yogi Prawira menuturkan, gejala MIS-C biasanya timbul 2-6 minggu pasca-Covid-19. Gejalanya bisa menjadi berat dalam waktu cepat, karena itu harus dirawat di rumah sakit agar segera dilakukan tindakan yang diperlukan.
Menurut Yogi, MIS-C sering ditemukan pada anak usia 8-14 tahun, 70 persen di antaranya anak sehat tanpa penyakit penyerta. Penyebabnya, infeksi SARS-CoV-2 mengaktivasi makrofag (sel darah putih yang bertugas menelan dan mencerna kuman serta sel yang rusak). Namun, pada respons imun selanjutnya terjadi badai sitokin dan disregulasi sistem imun.
Menurut Yogi, diagnosis dan tata laksana MIS-C perlu masuk dalam skema biaya perawatan Covid-19 dari pemerintah, karena biayanya cukup besar. Terapi utama MIS-C adalah intravenous immunoglobulin (IVIG) dengan dosis 1-2 gram (g) per kilogram (kg) berat badan. ”IVIG akan berikatan dengan reseptor Fc-gamma, selanjutnya menghambat perlekatan virus ke sel target, memodulasi sel T dan sel B serta menghambat sitokin inflamasi,” papar Yogi.
Sebagai gambaran, jika berat badan anak 40 kg, maka dibutuhkan IVIG 40-80 g. Jika 1 botol IVIG berisi 2,5 g, maka anak tersebut perlu 16-32 botol. Dari pencarian informasi di internet didapatkan, harga imunoglobulin sekitar Rp 4 juta-Rp 5 juta per botol.
Tahun lalu, IDAI mengeluarkan Buku Pedoman Tatalaksana Covid-19 bersama Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI), Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI), Perhimpunan Dokter Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia (PERDATIN).
Ada bagian tentang diagnosis dan tata laksana MIS-C di dalamnya. Buku pedoman itu diadaptasi Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dalam buku saku Protokol Tata Laksana Covid-19, Januari 2021.
”Sosialisasi tata laksana MIS-C ke para dokter anak dilakukan melalui webinar rutin dari IDAI. Sementara pelatihan untuk dokter umum dilaksanakan bersama Kemenkes Maret-April 2021,” tutur Yogi.
Yogi menekankan pentingnya pengetahuan dan kesadaran orangtua dan dokter untuk mengenali gejala MIS-C. Dengan demikian, penderita segera dibawa ke fasyankes serta ditangani secara cepat dan tepat.
”Jika diagnosis dan perawatan dilakukan segera, umumnya bisa sembuh sempurna. Jika terlambat, bisa ada gejala sisa, misalnya gangguan jantung,” katanya.
Baca juga: Terapkan Protokol Kesehatan pada Anak