Anak-anak punya potensi tertular dan menularkan Covid-19. Pemahaman terhadap cara penularan Covid-19 pada anak akan menjadi modalitas yang kuat untuk menetapkan keputusan tentang syarat pembukaan sekolah.
Oleh
Yovita Arika
·5 menit baca
Anak-anak yang terkonfirmasi positif Covid-19 umumnya bergejala ringan bahkan tidak menunjukkan gejala sehingga masih dapat beraktivitas seperti biasa. Hal ini menyebabkan penularan Covid-19 pada anak, terutama jika terjadi di sekolah, lebih sulit dideteksi.
Padahal, anak-anak dengan Covid-19 dapat menjadi sumber penularan kepada orang-orang di sekitarnya. Munculnya kluster Covid-19 di sejumlah sekolah berasrama sejak pertengahan 2020 menunjukkan anak-anak berisiko tertular dan menularkan Covid-19.
Sejumlah penelitian menunjukkan, kata Raden Yuli Kristiyanto, dokter residen, peserta Program Pendidikan Spesialis Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Minggu (4/4/2021, meski tanpa gejala, viral load (tingkat replikasi virus dalam tubuh) pada anak-anak dengan Covid-19 sama dengan orang dewasa. Bahkan, penelitian di China menunjukkan, jika orang dewasa dengan Covid-19 berpotensi menyebarkan virus ke 2-3 orang, remaja dengan Covid-19 bisa menularkan ke tujuh remaja lainnya.
Gejala Covid-19 pada anak-anak, sebagaimana disebutkan dalam laman Centers for Disease Control and Prevention, dapat terlihat seperti gejala penyakit umum lainnya, seperti pilek, radang tenggorokan, atau alergi. Gejala yang paling umum berupa demam dan batuk, tetapi bisa juga menunjukkan gejala lain, seperti diare, sesak napas, dan kehilangan rasa atau bau.
Berdasarkan laporan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), di Indonesia terdapat sejumlah kasus Covid-19 pada anak yang bermanisfestasi berat dan berujung pada kematian, dengan tingkat kematian sekitar 3 persen. Karena itu, tidak tepat jika alasan membuka sekolah berdasar asumsi bahwa Covid-19 pada anak hanya akan bergejala ringan dan tidak berbahaya.
Tidak tepat jika alasan membuka sekolah berdasar asumsi bahwa Covid-19 pada anak hanya akan bergejala ringan dan tidak berbahaya.
Karena kasus Covid-19 pada anak sering kali tidak bergejala, pengukuran suhu dengan termometer sebelum siswa masuk kelas tidak menjamin pencegahan penularan Covid-19 di sekolah. Diperkirakan 40 persen penularan Covid-19 terjadi sebelum muncul gejala pada orang yang terinfeksi virus korona baru (SARS-CoV-2).
Penapisan atau skrining termometer harus pula diikuti upaya antisipasi lain untuk mencegah penularan Covid-19 di sekolah. Idealnya, menurut Ketua Umum IDAI Aman B Pulungan, sebelum masuk sekolah atau sekolah dibuka kembali, siswa, guru, dan tenaga kependidikan dites usap PCR. Tes ini pun harus dilakukan secara rutin karena baik siswa maupun guru juga berinteraksi dengan orang lain di luar sekolah.
Yuli dan kawan-kawan dalam artikel berjudul ”Pembukaan Kembali Sekolah: Rekomendasi Berbasis Bukti Selama Pandemi Covid-19 di Indonesia” yang dipublikasi di Journal of Community Empowerment for Health, April 2021, menyarankan pentingnya pemeriksaan berkala pada siswa dan guru untuk melihat apakah ada warga sekolah yang terinfeksi virus korona baru setelah sekolah kembali dibuka. Pelajaran dari negara-negara lain yang telah membuka sekolah, meski dilakukan dengan protokol kesehatan dan kasus di masyarakat sudah terkendali, tetap mungkin terjadi penularan di sekolah.
Karena itu, IDAI menyarankan pembukaan sekolah berasrama harus diikuti pengaturan keluar masuk lingkungan sekolah untuk meminimalkan risiko penyebaran penyakit. Dalam kasus kluster sekolah berasrama, penularan Covid-19 dimungkinkan karena sekolah tidak sepenuhnya tertutup, orangtua masih mungkin berkunjung dan guru-guru pun tidak tinggal di asrama.
Sumber penularan
Ruangan di sekolah, terutama ruang kelas, hendaknya juga didesain untuk meminimalkan risiko penularan Covid-19. Penularan Covid-19 tidak hanya diperantarai droplet yang dikeluarkan dari saluran pernapasan, tetapi juga aerosol (droplet nuclei) yang berukuran lebih kecil dari droplet.
Dalam bentuk droplet nuclei, virus korona baru dapat bersirkulasi di dalam ruang kelas yang tertutup dan tidak memiliki ventilasi udara yang cukup, dalam waktu lama. Karena itu, membatasi jumlah siswa dalam kelas untuk menjaga jarak aman akan kurang bermanfaat mencegah penularan Covid-19 jika ruangan kelas tertutup dan berventilasi buruk. Di sejumlah sekolah di perkotaan, ruang-ruang kelas didesain tertutup karena sehari-hari dilengkapi alat penyejuk ruangan.
Beberapa penelitian pada anak, kata Yuli, juga menunjukkan bahwa RNA (ribonucleic acid) SARS-CoV-2 dapat dideteksi dalam feses (tinja) anak dalam jangka waktu lebih lama dari swab nasofaring (di hidung). Virus korona baru pada pasien anak ini bahkan dapat terdeteksi pada feses anak yang sama sekali tidak memunculkan gejala. Sebagian virus yang dikeluarkan dari feses ini terbukti hidup dan dapat menginfeksi.
Artinya, fasilitas toilet di sekolah yang umumnya digunakan oleh banyak anak harus selalu terjaga kebersihannya. Kebiasan mencuci tangan dan makan makanan yang higienis di sekolah juga harus menjadi budaya baru. Ini menjadi tantangan tersendiri karena anak-anak masih berada dalam masa pembentukan berbagai perilaku hidup yang baik, termasuk dalam menerapkan perilaku hidup bersih sehat.
Ketika protokol kesehatan dilanggar, baik sengaja ataupun tidak, maka risiko penularan infeksi Covid-19 akan meningkat, apalagi jika sekolah dibuka ketika kasus Covid-19 di masyarakat belum terkendali. Disiplin protokol kesehatan tidak hanya berlaku di kompleks sekolah, tetapi juga di luar kompleks sekolah dan dalam kehidupan sehari-hari di masa pandemi ini. Disiplin protokol kesehatan ini tidak bisa instan, melainkan harus dimulai dari keluarga.
Selain penyiapan protokol kesehatan, pemahaman terhadap cara penularan Covid-19 pada anak-anak tersebut akan menjadi modalitas yang kuat untuk menetapkan keputusan tentang syarat pembukaan sekolah. Demikian pula, sistem penunjang pendidikan harus benar-benar siap untuk pencegahan risiko penularan Covid-19 seandainya sekolah dibuka kembali.
Pendidikan merupakan hak anak yang harus dipenuhi. Namun, hak paling mendasar yang harus dipenuhi pertama kali adalah hak keberlangsungan hidup, kemudian hak atas rasa aman dan mendapatkan perlindungan dari mara bahaya. Membiarkan anak bersekolah dengan dalih memberikan hak pendidikan, tetapi anak tidak dalam kondisi aman, terancam kesehatannya oleh penularan Covid-19 di sekolah merupakan pelanggaran hak hidup dan perlindungan anak.