Pembukaan sekolah ketika kasus Covid-19 belum dapat dikendalikan dengan baik berisiko menimbulkan kluster sekolah, dan mengancam keselamatan siswa. Mitigasi di sekolah harus mendapat prioritas tinggi.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
Pembukaan sekolah harus benar-benar menjamin keselamatan siswa dari Covid-19. Alasan bahwa Covid-19 pada anak secara umum bergejala ringan, kerentanan anak lebih rendah dibandingkan orang dewasa, dan anak lebih kecil kemungkinan menularkan Covid-19 dibandingkan orang dewasa tidak berarti sekolah aman dibuka meski dengan menjalankan protokol kesehatan.
Alasan bahwa risiko anak-anak terpapar Covid-19 sangat kecil justru menunjukkan bahwa mitigasi di sekolah mendapat prioritas rendah. Kebanyakan pasien anak dengan Covid-19 hanya muncul dengan gejala ringan, beberapa bahkan tanpa gejala. Sedangkan uji polymerase chain reaction (PCR) dilakukan hanya pada pasien anak dengan sedang sampai gejala parah. Pola ini bisa menyebabkan meremehkan pasien anak yang terinfeksi virus korona baru.
Munculnya kluster penularan Covid-19 di sejumlah sekolah berasrama baru-baru ini (Kompas, 1/4/2021) membuktikan bahwa anak-anak berisiko tertular dan menularkan Covid-19 sebagaimana orang dewasa. Data Ikatan Dokter Anak Indonesia juga menunjukkan, satu dari 9-10 kasus konfirmasi Covid-19 di Indonesia adalah anak-anak. Data per 20 November 2020, proporsi kematian anak akibat Covid-19 di Indonesia mencapai 3,2 persen, dan merupakan yang tertinggi di Asia Pasifik.
Fakta bahwa Indonesia merupakan satu di antara empat negara di kawasan Asia Timur dan Pasifik yang belum membuka sekolah secara penuh, bukan berarti juga Indonesia harus segera membuka sekolah secara penuh. Kondisi setiap negara berbeda.
“Harus diperhatikan juga faktor-faktor di negara kita bagaimana. Ketika penularan di masyarakat masih tinggi, anak-anak juga bisa menjadi sumber penularan,” kata Raden Yuli Kristiyanto, dokter residen, peserta Program Pendidikan Spesialis Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Minggu (4/4/2021).
Pembukaan sekolah kembali hanya akan aman dilakukan apabila penularan Covid-19 di masyarakat telah terkendali. Saat ini tingkat penularan (positivity rate) Covid-19 di masyarakat masih sekitar 12 persen, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mensyaratkan minimal 5 persen. Risiko penularan di sekolah akan meningkat jika penularan di masyarakat belum benar-benar terkendali.
Harus diperhatikan juga faktor-faktor di negara kita bagaimana. Ketika penularan di masyarakat masih tinggi, anak-anak juga bisa menjadi sumber penularan.
Karena itu, pemerintah harus memiliki sistem surveilans yang baik. Semua kasus dapat terlacak, tidak ada lagi kasus yang bergejala ringan atau tidak bergejala (asimtomatik) di masyarakat. Masalahnya, Indonesia belum melakukan tes PCR secara maksimal untuk melacak kasus baru. Karena itu, kata Yuli, perbaikan pelacakan kontak (contact tracing) dan perluasan target tes PCR merupakan dua hal utama yang harus dilakukan pemerintah sebagai pra-syarat membuka sekolah kembali.
Pengawasan
Apabila syarat tingkat wilayah telah terpenuhi, maka sekolah dapat dipertimbangkan untuk dibuka kembali. Pemerintah melalui surat keputusan bersama empat menteri telah membuat panduan tentang bagaimana sekolah harus disiapkan untuk dibuka kembali dengan protokol kesehatan yang ketat.
Namun secara umum, kata Yuli, kemampuan dan sumber daya sekolah-sekolah di Indonesia untuk menerapkan protokol kesehatan secara ideal dan ketat lebih rendah jika dibanding negara maju.
Karena itu pemda harus menyiapkan sarana untuk pengawasan kesiapan dan pelaksanaan protokol kesehatan di sekolah. “Harus ada simulasi, (sekolah) dibuka dengan pengawasan oleh pemda. Siswa dan orangtua harus dipersiapkan sebelum sekolah dibuka,” ujarnya.
Penyiapan infrastruktur dan protokol kesehatan juga tidak bisa dilakukan secara pararel dengan uji coba pembelajaran tatap muka secara terbatas. Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia Bidang Pendidikan Retno Listyarti mengatakan, “Seharusnya April-Juni merupakan waktu penyiapan, bukan uji coba secara terbatas. Uji coba pembelajaran tatap muka terbatas seharusnya dilakukan pada Juli 2021.”
Pemangku kepentingan pendidikan, termasuk pemerintah dan masyarakat wajib memberi perlindungan berlapis untuk keselamatan anak-anak saat sekolah dibuka kembali. Data menunjukkan, negara-negara yang menggelar sekolah tatap muka di masa pandemi menyiapkan dengan serius dan memiliki mitigasi risiko yang baik sehingga bisa mencegah sekolah jadi kluster baru.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia merekomendasikan lima siap untuk pembelajaran tatap muka, yaitu daerah, sekolah, guru, orangtua, dan siswa harus siap. “Orangtua harus mendidik anak-anaknya untuk menggunakan masker, setidaknya empat jam tanpa dilepas, kecuali saat minum. Ini harus dilakukan saat belajar di rumah," kata Retno.
Anak-anak merupakan kelompok utama yang wajib diedukasi untuk mengubah perilaku saat pembelajaran tatap muka di masa pandemi. Kurangnya pemahaman anak akan pentingnya tinggal di rumah, tutup sekolah, dan menjaga jarak sosial akan mengakibatkan anak kesulitan untuk mematuhi aturan tersebut.
Prioritas tinggi pada mitigasi di sekolah akan melindungi siswa dari Covid-19. Penutupan sekolah memang berisiko menyebabkan learning loss (hilang pengalaman belajar), tetapi membuka sekolah tanpa ada mitigasi yang benar bisa berisiko life-loss (meninggal dunia), ataupun health-loss (kerugian kesehatan) bagi siswa.