Kegemukan atau obesitas bukan hanya masalah penampilan, melainkan juga ancaman kesehatan karena bisa menyebabkan berbagai penyakit. Pencegahannya menjadi tanggung jawab bersama.
Oleh
ATIKA WALUJANI MOEDJIONO
·4 menit baca
Gemuk bukan tanda kemakmuran bagi orang dewasa ataupun tampilan menggemaskan pada anak-anak. Gemuk adalah penyakit kronis, melibatkan gangguan metabolisme dan inflamasi.
Gemuk menjadi jalan masuk berbagai penyakit, seperti diabetes, tekanan darah tinggi, batu empedu, osteoartritis, perlemakan hati, gangguan jantung, stroke, gagal ginjal, dan kanker. Orang gemuk juga rentan mengalami gejala berat jika tertular Covid-19.
Kegemukan mengganggu sistem imun sehingga mudah terkena infeksi. Demikian Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Gizi Klinik Indonesia (PDGKI) Nurpudji Taslim, dalam taklimat media tentang obesitas yang diselenggarakan Novo Nordisk secara daring, Rabu (3/3/2021).
”Orang yang mengalami obesitas cenderung terganggu pernapasannya. Jika tertular Covid-19, berisiko lebih tinggi mengalami gejala berat, masuk unit rawat intensif (ICU), serta terjadi kematian,” kata Nurpudji, Guru Besar Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Pembicara lain, Ketut Suastika, Ketua Umum Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Perkeni), menambahkan, orang gemuk berisiko lebih tinggi mengalami badai sitokin.
Bagi perempuan, lingkar pinggang maksimal adalah 80 cm, sedangkan laki-laki 90 cm.
Menurut Guru Besar Ilmu Penyakit dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana itu, obesitas, ketidakseimbangan asupan dengan keluaran energi, adalah penyakit kompleks dan multifaktor. Suastika menyarankan untuk memperhatikan obesitas sentral atau timbunan lemak di perut. Bagi perempuan, lingkar pinggang maksimal adalah 80 cm, sedangkan laki-laki 90 cm.
Bisa juga dengan mengukur indeks massa tubuh (BMI), ujar Nurpudji. Berbeda dengan standar barat, di mana BMI (berat badan dalam kilogram dibagi tinggi badan dalam meter kuadrat) 30 baru dikatagorikan obesitas, untuk Asia Pasifik nilai 25 sudah masuk obesitas. BMI normal 18-22,9, sedangkan 22,9-24,9 adalah pre obesitas.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2018, satu dari tiga penduduk dewasa (35,4 persen) di Indonesia menderita obesitas. Pada 2007, angkanya hanya 19,1 persen. Pada anak-anak, satu dari lima menderita obesitas. Jumlah itu akan meningkat jika tidak ada langkah pencegahan. Apalagi, di masa pandemi, orang tinggal di rumah sehingga kurang gerak, tetapi asupan makanan tetap, bahkan bertambah.
Laman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut, pada 2016, lebih dari 1,9 miliar orang dewasa (usia 18 tahun ke atas) kelebihan berat badan. Dari jumlah itu, lebih dari 650 juta mengalami obesitas.
Obesitas menjadi epidemi, menyebabkan lebih banyak kematian dibandingkan dengan kekurangan berat badan. Pada 2017, lebih dari 4 juta orang meninggal akibat kelebihan berat badan. Sepanjang 1975-2016, prevalensi anak dan remaja (5-19 tahun) yang obesitas meningkat lebih dari empat kali lipat secara global. Sebagian besar mereka tinggal di negara berkembang. Karena itu, 4 Maret dinobatkan sebagai Hari Obesitas untuk kampanye kesadaran mencegah kegemukan.
Menurut Nurpudji, obesitas sudah merambah ke desa dan keluarga tidak mampu akibat ketidakseimbangan asupan makanan, yakni tinggi karbohidrat. Risiko penyakit yang ditimbulkan mengancam kualitas sumber daya manusia Indonesia.
Orang tidak mencari pertolongan untuk mengatasi kegemukan. Baru datang ke dokter ketika terjadi penyakit akibat kegemukan dan obesitas.
Kegemukan tak hanya berdampak pada kesehatan, tetapi juga sosial. Orang gemuk cenderung tersisih dalam pergaulan, bahkan dirundung, sehingga kepercayaan diri merosot serta mengalami depresi. ”Selain itu, kesulitan mendapatkan pekerjaan dan pasangan hidup,” ujar Suastika.
Meski demikian, obesitas tidak hanya soal banyak makan dan kurang gerak, ada juga faktor genetik, yakni rendahnya laju metabolisme.
Untuk mencegah kegemukan, perlu lingkungan mendukung, perubahan pola pikir, modifikasi gaya hidup, pola makan, juga akses makanan sehat di rumah, sekolah, tempat kerja, dan masyarakat.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Cut Putri Arianie menyatakan, penanggulangan kegemukan perlu menjadi perhatian dan tanggung jawab bersama masyarakat dan lintas sektor. Perlu ada ruang terbuka hijau untuk olahraga, alat latihan fisik di taman, serta ruas jalan aman untuk pejalan kaki dan pesepeda. Penerapan cukai makanan dan minuman berpemanis. Industri didorong mencantumkan bahan dan jumlah kalori di kemasan.
Bagi masyarakat, cara mudah untuk mencegah adalah menimbang berat badan setiap bulan. Jika melebihi ideal, segera diatasi. Jangan tunggu menjadi gemuk.
Jika telanjur kegemukan, menurut Nurpudji, perlu pengaturan pola makan, membatasi asupan kalori per hari dan waktu makan. Makan malam tidak lebih dari pukul 18.00. Lebih banyak makan sayur dan buah sebagai sumber serat dan antioksidan, mengurangi karbohidrat, serta menghindari lemak jenuh.
”Kunci menjaga berat badan adalah menerapkan pola makan seimbang, asupan kalori sesuai kebutuhan, aktivitas, dan usia,” ujarnya.
Terkait diet keto yang sedang populer, yakni rendah karbohidrat, tinggi protein dan lemak, Nurpudji berpendapat, efektif menurunkan berat badan. Namun, dalam jangka panjang diet tersebut bisa mengganggu fungsi ginjal.
Suastika menyarankan, penurunan berat badan secara bertahap, 5-10 persen berat badan awal per bulan, agar tidak terjadi sindrom yoyo (turun sedikit, kemudian naik banyak) dan tetap sehat.