Biasakan Konsumsi Gizi Seimbang pada Anak sejak Dini
Kebiasaan makan makanan bergizi seimbang mesti ditumbuhkan sejak usia dini. Selain mengurangi risiko kesehatan, hal itu diharapkan menjadi gaya hidup anak saat dewasa.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebiasaan mengonsumsi makanan bergizi seimbang perlu dilakukan sejak anak berusia dini. Hal ini dapat mencegah masalah gizi. Lebih jauh, kebiasaan tersebut diharapkan terbawa hingga anak dewasa untuk mencetak generasi sehat.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 oleh Kementerian Kesehatan, ada 95,5 persen penduduk yang kurang mengonsumsi sayur dan buah. Angka ini meningkat dari 93,5 persen pada 2013. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menganjurkan seseorang memakan 400 gram buah dan sayur per hari.
”Namun, pengeluaran (publik) untuk makanan dan minuman olahan (processed food) lebih tinggi (dari makanan asli). Pengeluaran itu tiga kali lipat dari pembelian daging, telur, dan susu. Empat kali lipat dari ikan, serta enam kali dari buah dan sayur,” kata Direktur Gizi Masyarakat Kementerian Kesehatan Dhian Dipo pada pemaparan daring, Jumat (27/2/2021).
Padahal, konsumsi gizi seimbang penting untuk memperkuat imunitas tubuh saat pandemi. Mengonsumsi makanan bergizi juga meminimalkan risiko masalah gizi. Seperti diketahui, Indonesia menanggung tiga beban masalah gizi sekaligus, yaitu gizi kurang, tengkes (stunting), dan obesitas.
Angka prevalensi tengkes di Indonesia mengalami perbaikan. Menurut Riskesdas 2018, angkanya adalah 30,8 persen, kemudian turun menjadi 27,67 persen di 2019. Kendati demikian, angka ini masih jauh dari ambang batas yang ditetapkan WHO, yaitu 20 persen.
Pemerintah menargetkan angka tengkes turun menjadi 14 persen pada 2024. Namun, pandemi Covid-19 dikhawatirkan menghambat upaya itu. Unicef memprediksi jumlah anak yang menderita gizi kurang dan gizi buruk bakal meningkat 15 persen pada tahun pertama pandemi jika tidak ada intervensi. Angka ini setara 7 juta anak di seluruh dunia.
Kekurangan gizi bisa berdampak bagi masa depan anak. Dampaknya antara lain imunitas anak rendah, risiko terkena penyakit infeksi dan kronis meningkat, serta pertumbuhan dan perkembangan tidak optimal. Selain itu, anak akan punya daya saing produktivitas yang rendah saat dewasa
”Anak adalah SDM yang perlu perhatian khusus agar gizinya tercukupi mulai sejak dari kandungan hingga setelah lahir. Jika tidak, akan ada masalah gizi di masa depan,” ujar Dhian.
Upaya pemenuhan gizi anak bisa meniru program Isi Piringku yang dicanangkan Kemenkes sejak 2017. Idealnya, satu piring terdiri dari karbohidrat, protein, vitamin, dan mineral. Sepertiga piring diisi makanan pokok, seperti nasi, kentang, atau mi. Sepertiga lainnya diisi sayuran serta sepertiga sisanya lauk-pauk dan buah.
Menurut ahli gizi Sri Anna Marliyati, Isi Piringku memandu orangtua dan guru menyiapkan makanan bergizi seimbang buat anak. Konsep ini juga memudahkan mereka mengedukasi anak tentang gizi sejak dini.
Selain edukasi, kebiasaan makan sehat juga harus ditumbuhkan. Itu bisa dilakukan dengan mengajak anak makan bersama, menyajikan makanan bergizi seimbang secara konsisten setiap hari, dan mengedukasi materi gizi lewat permainan.
”Harapannya siswa mudah memahami dan mengingat isi piringnya. Selanjutnya, itu bisa memperbaiki pola konsumsi pangan pada anak dan menaikkan status gizi. Ini bisa memperbaiki gaya hidup anak di masa depan,” ucap Anna yang juga Ketua Tim Ahli Pengembang Modul Isi Piringku.
Selain makan bergizi, ia juga menyarankan agar orangtua dan guru membiasakan anak hidup sehat. Misalnya, melakukan olahraga yang menyenangkan dan menimbang berat badan anak secara rutin.
Widyaprada Ahli Utama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Harris Iskandar mengatakan, pihaknya mendukung upaya memberantas masalah gizi di Indonesia. Upaya yang dilakukan antara lain program Pendidikan Anak Usia Dini Holistik Integratif (PAUD HI) bersama Unicef.
”Kami lakukan ini di Kabupaten Kupang, NTT. Yang dilakukan antara lain kunjungan rutin ke posyandu, membuat kebun berisi berbagai macam sayur dan buah, edukasi gizi, serta membuat program air bersih,” kata Harris.
Tantangan
Menurut Anna, ada beberapa alasan lain anak tidak mengonsumsi gizi yang cukup. Satu di antaranya anak suka memilih makanan. Ini karena selera anak terhadap rasa makanan berkembang, bosan dengan hidangan yang disajikan, dan meniru kebiasaan anggota keluarga yang suka memilih makanan.
Faktor lain adalah anak hanya mau makan sedikit, menolak makan, dan tidak suka makan sayur. Penolakan terjadi antara lain karena anak masih asing dengan rasa makanan, bosan, menghadapi suasana makan yang tidak menyenangkan, atau anak sedang sakit sehingga nafsu makan turun.
Orangtua disarankan untuk menyajikan makanan yang bervariasi, seperti jenis dan rasanya. Orangtua juga bisa membuat penyajian makanan yang menarik minat anak-anak.