Paparan hoaks dan disinformasi di media sosial membuat sejumlah warga menolak mengikuti program vaksinasi Covid-19. Jika tak ada upaya serius memberantas informasi menyesatkan, pandemi kian sulit diatasi.
Maraknya disinformasi dan penyebaran hoaks secara masif mengaburkan pemahaman masyarakat akan manfaat dan risiko vaksinasi Covid-19. Tidak jarang, informasi yang belum jelas kebenarannya menjadi dasar bagi mereka untuk menentukan keputusan besar dalam hidup.
Nu (32), guru sekolah dasar (SD) swasta di Kota Tangerang, Banten, adalah salah satu warga yang terpapar disinformasi dari media sosial. Akibat informasi yang tidak jelas sumbernya tersebut, Nu secara tegas menolak divaksin. ”Kalau sekolah saya mengadakan vaksinasi Covid-19, saya lebih baik mengundurkan diri!” kata Nu ketika dihubungi dari Jakarta, Selasa (16/2/2021).
Bagi Nu, kehilangan pekerjaan bukan masalah ketimbang harus merelakan vaksin Covid-19 disuntikkan ke dalam tubuhnya. Sebab, tidak ada jaminan bahwa produk yang baru dikembangkan selama setahun itu aman dan tidak akan mencelakakan dirinya di masa depan.
Apalagi, banyak pihak meragukan kemanjuran vaksin Sinovac, vaksin buatan perusahaan asal China, Sinovac Biotech Ltd, yang pertama dibeli pemerintah untuk masyarakat Indonesia. Berdasarkan hasil uji klinis, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah menerbitkan izin penggunaan darurat dengan tingkat efikasi atau kemanjuran 65,3 persen. Meski sudah melewati ambang batas keamanan yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu 50 persen, tingkat efikasi itu lebih rendah dari hasil uji vaksin lain di beberapa negara.
Terpapar informasi keliru
Salah satu yang meragukan vaksin Sinovac, kata Nu, adalah dokter yang populer di media sosial. ”Waktu itu saya lihat tayangan di Youtube, dokter itu enggak mau divaksin. Menurut dia, penelitian vaksin itu butuh waktu yang lama, tetapi ini baru setahun sudah ditemukan vaksinnya,” ujar Nu.
Pandangan influencer yang dimaksud juga sejalan dengan berbagai kabar yang muncul di linimasa status aplikasi pesan daring Whatsapp Nu. Beberapa teman kerap membagi tautan berita tentang efek samping vaksin Covid-19. Walau jarang membaca berita itu sampai tuntas, ia percaya pada kebenaran isinya. ”Yang paling saya percaya itu kabar bahwa vaksin Covid-19 bisa membuat orang lumpuh,” ucap Nu.
Keyakinan ibu empat anak itu semakin kuat ketika mengetahui bahwa ia tak sendiri. Di sekolah, sejumlah rekan guru dan pengurus yayasan berpandangan serupa. Nu pun kaget karena beberapa dari mereka juga bertekad mengundurkan diri jika diharuskan mengikuti vaksinasi.
Oleh karena itu, meskipun masih membaca informasi lain seputar manfaat dan keamanan vaksin, hal itu sudah tidak lagi berpengaruh. ”Siapa yang mau tanggung jawab kalau saya mendapatkan efek negatif dari vaksin?” kata Nu.
Khawatir
Kekhawatiran akan munculnya bahaya setelah divaksin Covid-19 juga dirasakan Ja (26), warga Kota Tangerang, Banten. Pada akhir Desember 2020 dan pertengahan Januari 2021, ketika vaksin Sinovac mulai dikirim ke Indonesia, ia pun mulai aktif mencari informasi terkait vaksin melalui mesin pencari daring.
Di halaman pertama mesin pencari, kata Ja, pemberitaan yang muncul didominasi oleh efek samping dan ancaman bahaya terhadap penerima vaksin. Berita dari beberapa tautan ia baca sampai habis. Sekalipun belum tentu berasal dari sumber resmi, Ja mengaku memercayainya.
Menurut Ja, vaksin Covid-19 layak mendapatkan perhatian lebih ketimbang vaksin-vaksin yang sudah pernah ada sebelumnya. Usia vaksin yang masih muda, uji klinis yang terbatas, dan minimnya jumlah warga yang sudah pernah menerima menjadi pertimbangan lain keraguannya.
Oleh karena itu, walaupun pemerintah mewajibkan warga mengikuti vaksinasi untuk mencapai kekebalan komunitas, Ja enggan berpartisipasi. ”Tunggu orang-orang dulu, deh. Saya mau lihat dulu, apakah sudah terbukti efektif pada orang yang sudah divaksin,” katanya.
Ragu
Keraguan pada vaksin Covid-19 juga beriringan dengan ketidakpercayaan terhadap pemerintah. DS (28), warga Depok, Jawa Barat, menilai, sosialisasi dan edukasi tentang program vaksinasi masih minim. Bahkan, masyarakat tidak mengetahui alasan pemilihan merek vaksin yang dibeli pemerintah.
Kekosongan penjelasan ini, kata DS, menjadi celah masuknya narasi antivaksin. Tidak bisa dipungkiri, DS pun lebih percaya pada informasi yang tidak jelas kebenarannya. Makanya, ia sangat hati-hati dalam memutuskan keikutsertaan vaksinasi Covid-19. Termasuk ketika istrinya yang bekerja sebagai tenaga kesehatan di rumah sakit di Depok sudah masuk dalam gelombang pendaftaran vaksinasi. ”Istri saya akhirnya masuk dalam gelombang terakhir yang mendaftar karena saya (minta) mundur,” katanya.
YN (28), warga Kota Bekasi, Jawa Barat, juga menganggap penjelasan yang diberikan pemerintah justru menimbulkan kejanggalan. Salah satunya tentang uji kehalalan vaksin Sinovac yang dilakukan sangat cepat dibanding jenis vaksin yang lain. ”Di keluarga saya sampai berasumsi, ini halalnya dipaksakan enggak, sih?” ujar YN.
Apa yang dirasakan Nu, DS, dan YN hampir senada dengan hasil survei Litbang Kompas terhadap 2.000 responden di 34 provinsi seluruh Indonesia. Survei yang digelar pada awal 2021 menyebutkan, 24 persen dari seluruh responden menolak divaksin Covid-19. Dari responden yang menolak, 37,8 persen mengkhawatirkan efek samping atau keamanannya, 3,7 persen menolak karena menilai vaksin tidak halal, dan 2,4 persen lain menolak vaksin buatan China.
Pusaran hoaks
Riuh rendah informasi seputar vaksin korona memenuhi dunia maya selama pandemi Covid-19. Sebagian informasi bisa dibuktikan kebenarannya, tetapi tidak sedikit merupakan hoaks atau berita dengan konten palsu serta informasi yang salah dan menyesatkan.
Masyarakat Anti-fitnah Indonesia (Mafindo) mencatat, ada 97 hoaks terkait vaksin Covid-19 sepanjang Maret 2020-Februari 2021. Hoaks menyebar di berbagai platform media sosial, di antaranya Facebook, Twitter, Instagram, Youtube, dan Whatsapp. ”Dari segi komposisi, paling banyak tentang isu keamanan vaksin,” kata Ketua Presidium Mafindo Septiaji Eko Nugroho.
Isu lain yang bertebaran di media sosial adalah soal kehalalan bahan penyusun vaksin. Menurut Septiaji, kluster isu ini ditujukan untuk kelompok keagamaan yang spesifik. Padahal, di sisi lain, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah mengeluarkan fatwa halal.
Sosiolog UIN Syarif Hidayatullah, Iim Halimatussa’diah, menilai, hoaks merupakan tantangan terbesar bagi masyarakat dalam mengambil keputusan di era informasi yang cukup deras ini. Saat ini, masyarakat tidak kekurangan informasi, tetapi justru berlimpah ruah. Namun, mereka cenderung memilih hanya yang sesuai dengan keyakinannya. ”Hoaks jadi mudah dipercaya karena tidak dikroscek dengan informasi lainnya,” kata Iim.
Dalam konteks narasi antivaksin, kata Iim, hoaks seperti ”bumbu penyedap” yang memperkuat keraguan karena faktor agama dan ketidakpercayaan terhadap pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah perlu menunjukkan transparansi dalam program vaksinasi dan berkolaborasi dengan banyak pihak untuk menggencarkan kampanye tentang manfaat vaksin Covid-19.
Staf Khusus Menteri Komunikasi dan Informatika Bidang Digital dan Sumber Daya Manusia Dedy Permadi mengatakan, pihaknya menangani hoaks dari hulu hingga hilir dengan pendekatan yang komprehensif. Mulai dari meningkatkan literasi digital, memantau dan menangani konten negatif, hingga menegakkan hukum untuk para penyebar hoaks.
Upaya menyeluruh memang dibutuhkan untuk menjernihkan ruang-ruang yang dipenuhi hoaks. Tidak mengaburkan kebenaran, hoaks yang telanjur tumbuh subur pun bisa menjadi dasar keyakinan yang membabi buta.