Narasi Antivaksin di Medsos Diduga Terkoordinasi
Pelambungan tagar #TolakDivaksinSinovac hingga menjadi topik utama di Twitter pada 12 Januari 2021 memiliki indikasi terkoordinasi. Tagar itu memuat narasi antivaksin.
JAKARTA, KOMPAS — Pelambungan tagar #TolakDivaksinSinovac hingga menjadi topik utama di platform media sosial Twitter, beberapa waktu lalu, diduga terkoordinasi. Tagar itu memuat narasi antivaksin dan informasi menyesatkan
Narasi penolakan vaksin Covid-19 dengan tagar #TolakDivaksinSinovac beredar di Twitter pada 12 Januari 2021 atau sehari sebelum program vaksinasi Covid-19 dimulai pemerintah.
Tagar tersebut pertama kali dicuitkan pada pukul 06.53 dan sempat menjadi salah satu topik utama di platform Twitter pada pukul 10.54 pada hari yang sama. Hingga sore hari, tagar ini masih bertahan menjadi topik utama dengan lebih dari 12.000 cuitan.
Berdasarkan penelusuran Kompas dengan dukungan analisis jejaring sosial oleh Kudu, lembaga analisis dan pengelolaan data, pelambungan tagar #TolakDivaksinSinovac pada 12 Januari tersebut memiliki indikasi terkoordinasi di dalam kelompok kecil.
Baca juga: Literasi Digital untuk Hadang Hoaks
Indikasi terkoordinasi itu salah satunya terlihat sejak pertama kali tagar #TolakDivaksinSinovac itu dicuitkan oleh akun @shei_zuke___1 pada pukul 06.53. Cuitan akun tersebut menyatakan semacam kode atau deklarasi yang berbunyi ”Tagar TNT untuk Aliansi hari ini #TolakDivaksinSinovac #TolakDivaksinSinovac Up serentak”. Beberapa hari kemudian, akun @shei_zuke___1 sudah tidak aktif karena diduga ditangguhkan oleh Twitter.
Indikasi selanjutnya terlihat dengan adanya cuitan berisi konten yang tidak relevan dengan tagar. Cuitan itu diduga hanya digunakan sebagai kendaraan agar tagar #TolakDivaksinSinovac terus melonjak. Sebagai gambaran, akun @JebulMania291 pada pukul 07.02 melontarkan 26 cuitan dalam 9 detik berisi cuitan yang memuat rangkaian huruf acak tanpa makna dengan tetap menyertakan tagar #TolakDivaksinSinovac.
Tidak hanya itu, indikasi lain tampak dengan banyaknya cuitan yang dilontarkan sebuah akun dalam rentang waktu yang singkat dengan tetap menyertakan tagar #TolakDivaksinSinovac. Misalnya, akun @EL_Yasiien melontarkan 25 cuitan dalam 13 detik berisi satir kisah pemimpin lalim disertai #TolakDivaksinSinovac. Kemudian akun @ThavitAmoura02 yang membuat utas berisi 21 cuitan dalam 10 detik. Setiap cuitan diakhiri dengan #TolakDivaksinSinovac.
Banyaknya cuitan yang dilontarkan dalam waktu singkat ini diduga melibatkan akun bot atau setidaknya menggunakan cuitan yang terotomatisasi untuk muncul pada jam-jam tertentu.
Indikasi berikutnya terdeteksi dari cuitan dengan konten serupa yang dicuitkan oleh akun berbeda. Dengan kata lain, cuitan di satu akun diduplikasi oleh akun lain. Cuitan ”Aku mau nyumbang tagar satu #TolakDivaksinSinovac #RevolusiAkhlak, misalnya, yang pertama kali dicuitkan pada pukul 08.25 diulang oleh akun lain pada pukul 08.34.
Lonjakan jumlah cuitan
Dengan beragam rentetan cuitan tersebut, memunculkan indikasi kuat lain adanya pelambungan tagar #TolakDivaksinSinovac, yakni lonjakan jumlah cuitan yang anomali dalam waktu yang singkat. Analisis Kudu menyebutkan, tak lama sejak tagar #TolakDivaksinSinovac muncul, jumlah cuitan langsung melonjak cukup drastis. Jumlah cuitan tertinggi pada pukul 07.03 yang mencapai 94 cuitan per menit atau hampir 10 kali lipat dibandingkan dengan rata-rata cuitan dengan tagar #TolakDivaksinSinovac pada hari itu, yakni 9,86 cuitan per menit.
Ketika ditelisik pada menit-menit tersebut terdapat karakteristik terkoordinasi yang diduga melibatkan akun bot atau setidaknya cuitan yang terotomatisasi dan terjadwal, seperti keberadaan utas yang diciptakan akun @RieskaAmelia4 yang berisi 25 cuitan dalam 12 detik mulai pukul 07.03.13.
Selain terdapat rentetan cuitan yang diduga terencana, indikasi adanya koordinasi dalam tagar #TolakDivaksinSinovac tersebut juga tampak dengan adanya akun yang telah menyiapkan konten berisi narasi antivaksin. Seperti akun @demokrasiambyar yang melontarkan beberapa cuitan disertai tagar #TolakDivaksinSinovac dengan memuat video pernyataan ulama hingga mengooptasi video dari pernyataan anggota DPR, Ribka Tjiptaning. Cuitan yang dilontarkan pun berselang kurang dari 10 menit sejak tagar pertama kali dimunculkan.
Pelambungan tagar #TolakDivaksinSinovac tersebut di antaranya juga memuat hoaks atau informasi yang menyesatkan. Salah satu hoaks yang disertakan dalam cuitan yakni, video ”World Doctor Alliance” yang memperlihatkan sejumlah orang mengaku dokter dari sejumlah negara dengan pernyataan penolakan adanya virus Covid-19 maupun vaksinnya.
Padahal, klaim pada video tersebut dipastikan keliru setelah dibongkar oleh jaringan pemeriksa fakta baik di dalam maupun luar negeri. Video penolakan dokter itu disertakan dalam cuitan oleh akun @MasKris_A, akun @cantik_tara, dan @AbiyuDaus.
Operasi tagar #TolakDivaksinSinovac juga menunjukkan anomali karena pengguna tagar tersebut hanya di komunitas tertentu. Padahal, akun organik biasanya berada di sejumlah komunitas.
Dari hasil analisis Kudu, sejumlah akun yang menjadi aktor penting dalam amplifikasi tagar #TolakDivaksinSinovac antara lain, akun @demokrasiambyar, @S4r4ngHeyo, @rifofficial_, @dede_afried, @Pesirah_Pensiun, dan @Ch4_yunk. Menariknya, aktor sentral dalam tagar tersebut juga berperan signifikan di sejumlah tagar berisi kritikan terhadap pemerintah seperti tagar #RezimButuhWakaf.
Indikasi terakhir yang menunjukkan perilaku diduga terkoordinasi adalah kebanyakan akun yang terlibat dalam tagar #TolakDivaksinSinovac, baru dibuat sebelum tagar itu muncul. Penelusuran Kompas menunjukkan, akun yang berperan sentral seperti @demokrasiambyar, @Pesirah_Pensiun, dan @S4r4ngHeyo baru bergabung di Twitter pada Desember 2020 atau sebulan sebelum tagar dimunculkan.
Analisis Kudu menunjukkan, dari 1.336 akun yang terlibat dalam isu #TolakDivaksinSinovac, 114 akun di antaranya dibuat pada Desember 2020 dan Januari 2021. ”Ini kan indikasi anomali. Dari sini kita mungkin bisa lihat, bisa memberikan indikasi kalau ini (akun) bot,” kata Richard Vinc, Chief Technology Officer Kudu.
Richard menilai, selain waktu pembuatan akun, sejumlah indikasi lain juga menunjukkan upaya terkoordinasi dalam tagar #TolakDivaksinSinovac. ”Dalam artian bahwa mereka memang nge-tweet satu hal secara bersama-sama. Mereka juga menggunakan time-frame yang spesifik,” ujar Richard.
Dugaan terkoordinasi dalam sebuah kluster kecil juga diperkuat dengan analisis DroneEmprit. Pendiri DroneEmprit Ismail Fahmi mengungkapkan, gerakan yang terkoordinasi pada pelambungan tagar #TolakDivaksinSinovac hanya di dalam sebuah kluster kecil yang tidak diikuti akun-akun besar. ”Ini yang saya bilang self-organizing karena ada hashtag yang dimainkan kelompok ini saja,” tutur Ismail Fahmi sambil menunjukkan analisis kluster #TolakDivaksinSinovac.
Dengan adanya upaya mendorong tagar #TolakDivaksinSinovac menjadi topik utama di Twitter, diduga juga ada motif tertentu di baliknya. ”Di antara semua platform, yang punya trending topic itu cuma Twitter dan karena itulah selalu dimanfaatkan untuk menarik perhatian karena selalu berada di halaman depan,” kata Ismail Fahmi.
Terkait hal itu, Kompas berupaya mengonfirmasi ke sejumlah akun sentral pada tagar #TolakDivaksinSinovac seperti @demokrasiambyar, @Pesirah_Pensiun, dan @S4r4ngHeyo. Namun, upaya berkomunikasi dengan menyebut akun mereka dalam cuitan tidak direspons. Adapun akun mereka juga tidak dapat menerima pesan langsung.
Direktur Kebijakan Publik Twitter, Indonesia & Malaysia, Agung Yudha mengakui, pihaknya kerap mendeteksi sejumlah akun baru yang muncul dalam momen tertentu serta di antara mereka terlihat saling berinteraksi. Perilaku itu disebut sebagai perilaku tidak alami atau inauthentic behaviour.
Merujuk pada kebijakan Twitter, penggunaan Twitter secara anomali dengan melakukan aktivitas massal dan agresif yang ditujukan untuk menyesatkan akun lain serta melibatkan akun palsu disebut manipulasi platform. ”Kalau engine (alat) kami mendeteksi adanya upaya manipulasi platform, semua akun yang terlibat akan kami tindak,” ujar Agung Yudha.
Berdasarkan survei Litbang Kompas, yang dilakukan secara tatap muka pada awal 2021 terhadap 2.000 responden di 34 provinsi di seluruh Indonesia, sebanyak 24 persen responden menolak untuk divaksin. Dari seluruh responden yang menolak, sebanyak 26,3 persen di antaranya menerima sumber informasi dari media sosial.
Baca juga: Pertarungan Mengikis Penolakan Vaksinasi Covid-19
Staf Khusus Menteri Komunikasi dan Informatika Bidang Digital dan Sumber Daya Manusia Dedy Permadi menilai, masifnya penyebaran hoaks dan disinformasi terkait vaksin Covid-19 berpotensi berdampak pada tingkat penerimaan masyarakat terhadap vaksin.
Merujuk data Kemenkominfo hingga 30 Januari 2021, terdapat 92 konten hoaks terkait vaksin Covid-19 yang tersebar di empat platform, yakni Facebook, Instagram, Twitter, dan Youtube. ”Di antara 92 hoaks vaksin Covid-19 itu hampir semuanya sudah kita lakukan penindakan berupa stempel hoaks maupun takedown konten. Tapi kita kesulitan jika itu sudah menyebar melalui grup-grup whatsapp,” kata Dedy.