Data Masyarakat Anti Fitnah Indonesia menyebutkan, jumlah hoaks dan disinformasi pada 2020 mencapai 2.298 konten jauh melampaui tahun sebelumnya. Derasnya hoaks berpotensi menghambat upaya penanganan pandemi Covid-19.
JAKARTA, KOMPAS — Hoaks dan informasi menyesatkan tumbuh merajalela pada masa pandemi Covid-19. Sepanjang tahun 2020, jumlah hoaks yang beredar meningkat tajam dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Konten hoaks terkait Covid-19 mendominasi.
Merujuk data Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), organisasi yang fokus memerangi hoaks, jumlah hoaks sepanjang tahun 2020 mencapai 2.298 konten dengan setidaknya 788 hoaks atau 34 persen di antaranya seputar Covid-19 yang tersebar di media sosial seperti Twitter, Facebook, Instagram, dan Youtube. Diduga masih banyak konten hoaks lain, tetapi beredar di media percakapan Whatsapp, yang lebih sulit terdeteksi.
Jumlah hoaks dan informasi menyesatkan pada 2020 hampir dua kali lipat dibandingkan tahun 2019, yang tercatat 1.221 hoaks dengan didominasi isu politik sebanyak 625 konten. Adapun pada 2018, jumlah hoaks yang beredar 997 konten.
Memasuki tahun 2021, hoaks masih terus bermunculan. Dari Januari hingga 15 Februari 2021, Mafindo menemukan 121 hoaks terkait Covid-19 yang didominasi isu seputar vaksin Covid-19. Sejumlah hoaks itu di antaranya video remaja putri yang kejang-kejang setelah menerima vaksin Covid-19 hingga tangkapan layar sebuah situs berita yang memberitakan rakyat akan dibunuh dengan vaksin dari China.
Ketua Presidium Mafindo Septiaji Eko Nugroho menilai, pemasalahan hoaks tidak dapat dilihat dari sekadar jumlahnya, tetapi terutama pada dampaknya. Apalagi, dampak hoaks Covid-19 dan vaksin ini jauh lebih masif dibandingkan hoaks saat Pemilu 2019.
Menurut Septiaji, terdapat sejumlah dampak masif dari hoaks terkait Covid-19, yakni konflik antara masyarakat dan tenaga kesehatan, ketidakpercayaan publik kepada tenaga kesehatan, minimnya kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan, dan keraguan terhadap vaksin dari China. Hal ini dikhawatirkan mempersulit penanganan pandemi.
”Ada juga beberapa isu yang jumlahnya sedikit, tetapi dampaknya sangat luas dan besar. Seperti isu masalah kehalalan (vaksin). Jadi ketika ada hoaks dengan isu bahwa vaksin ini tidak halal, biasanya viralitasnya sangat tinggi,” ujar Septiaji di Jakarta, Senin (15/2/2021).
Pencabutan konten
Adapun berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), terdapat 1.392 isu hoaks dari 23 Januari 2020 sampai 29 Januari 2021 yang terdeteksi pada 2.195 sebaran. ”Jadi satu isu bisa menyebar di beberapa kanal,” kata Staf Khusus Menkominfo Bidang Digital dan Sumber Daya Manusia Dedy Permadi.
Dedy mengatakan, dari 2.195 sebaran itu, 1.914 sebaran sudah dicabut (take-down) sehingga konten-konten tersebut tak bisa diakses lagi. Pencabutan tersebut bervariasi dari pencabutan konten saja hingga pemblokiran akun.
Menurut Dedy, Kemenkominfo telah menjalin kerja sama dengan kepolisian serta sejumlah pengelola platform digital, seperti Facebook, Instagram, Twitter, Telegram, dan Youtube. Mereka melakukan penelusuran tanpa jeda selama 24 jam sehari guna mencegah hoaks-hoaks tersebut menyebar lebih luas.
Berdasarkan penindakan hukum terhadap penyebaran hoaks, kepolisian sudah menangkap para tersangka yang terlibat dalam 352 kasus hoaks terkait Covid-19 sepanjang tahun 2020.
Direktur Kebijakan Publik Twitter Indonesia dan Malaysia Agung Yudha mengatakan, disinformasi terkait dengan pandemi Covid-19 dan vaksin dinilai bisa membahayakan publik. Untuk itu, Twitter menerapkan kebijakan terhadap cuitan yang membahayakan secara lebih menyeluruh sehingga publik bisa melapor.
”Kita meletakkan disinformasi, kalau itu berbentuk pernyataan yang terlihat disengaja untuk memberikan informasi yang salah kepada publik, kita meletakkan itu ke dalam harmful tweet (cuitan yang berbahaya),” ujar Agung Yudha.
Jika terdapat cuitan yang dianggap berbahaya dan melanggar ketentuan Twitter, akan ada sejumlah penindakan mulai dari peringatan, kemudian pelabelan, yakni memberi tanda untuk unggahan yang belum bisa dipastikan kebenaran, hingga pencabutan unggahan atau akun. Pencabutan unggahan ini dilakukan setelah ada kajian.
Septiaji menilai, kendati beragam tindakan sudah dilakukan, hoaks-hoaks ini masih menjadi ancaman karena kemampuan tim pemeriksa fakta masih di bawah kecepatan dan jumlah hoaks yang beredar. Sejumlah konten di platform digital publik beredar secara sporadis dan sudah menyentuh masyarakat akar rumput.
Ketua Satgas Covid-19 Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Prof Zubairi Djoerban mengatakan, untuk mengatasi hoaks terkait Covid-19 ini bisa memetik pelajaran dari kasus HIV/AIDS yakni sulitnya meluruskan misinformasi yang sudah telanjur beredar luas di masyarakat. Oleh karena itu, hoaks dan informasi menyesatkan harus cepat dideteksi dan diluruskan sebelum menyebar secara luas.