Kebutuhan Vaksin Covid-19 Sulit Terpenuhi pada 2021
Indonesia perlu lebih serius mengendalikan pandemi Covid-19 melalui intervensi non vaksin. Sebab, ketersediaan vaksin tahun 2021 diperkirakan belum bisa memenuhi kebutuhan global.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Produksi vaksin pada tahun 2021 diperkirakan hanya akan terpenuhi separuh dari kebutuhan global dan sebagian besar sudah dipesan negara maju, sehingga ketersediaannya untuk publik masih akan lama. Saat ini, Indonesia perlu lebih serius mengendalikan Covid-19 melalui intervensi non-vaksin mengingat penambahan kasus dan kematian yang terus meningkat.
"Kapasitas produksi vaksin global tahun depan maksimal 2 miliar dosis, padahal penduduk Bumi yang butuh vaksin 4 miliar. Kita harus lebih realistis, belum lagi ada banyak tantangan lain infrastruktur di Indonesia," kata pakar biologi molekular Ahmad Rusdan Handoyo Utomo, dalam diskusi daring yang diselenggarakan Lapor Covid-19, di Jakarta, Senin (14/12/2020).
Menurut Ahmad, tantangan infrastruktur kesehatan dalam pemberian vaksin di antaranya penentuan prioritas, pilihan vaksin, tantangan pendataan, pemalsuan identitas dan pemalsuan vaksin, hingga rantai dingin untuk penyimpanan dan distribusi.
Kapasitas produksi vaksin global tahun depan maksimal 2 miliar dosis, padahal penduduk Bumi yang butuh vaksin 4 miliar.
"Untuk vaksin Moderna dan Pfizer/BioNTech efikasinya masing-masing 94,5 persen dan 95 persen, tetapi agak sulit karena butuh suhu sangat rendah untuk penyimpanannya," tuturnya.
Ahmad menambahkan, vaksin yang mungkin diakses Indonesia adalah buatan Oxford-Astrazeneca yang memiliki 70 persen, namun bisa di simpan di suhu kulkas. "Hanya saja, saya dengar mereka meminta uang muka besar. Sementara vaksin Sinovac belum tahu efikasinya. Mudah-mudahan bisa lebih dari 50 persen, kalau di bawah itu repot," katanya.
Selain soal efikasinya yang belum ada datanya, menurut Ahmad, vaksin Sinovac tidak bisa diberikan kepada orang dengan usia di atas 59 tahun dan anak-anak di bawah 18 tahun. Ini karena vaksin Sinovac baru diuji untuk umur umur 18-59 tahun.
"Vaksin dari Astrazeneca, Moderna, Pfizer sedang diuji klinis juga ke relawan-relawan sampai umur 80 tahun. Jadi untuk lanjut usia hanya bisa menunggu tiga vaksin tersebut," kata dia.
Untuk anak-anak dan ibu hamil, hingga kini belum ada vaksin Covid-19 yang diujikan ke mereka. Karena itu, meski tersedia vaksin, anak-anak dan ibu hamil belum bisa mendapatkan vaksin, sampai ada produsen yang mengujikan untuk kelompok ini.
Masalah lainnya, kecilnya vaksin yang digratiskan akan menghambat cakupan. "Soal apakah vaksin harus gratis atau tidak kita perlu melihat kembali konstitusi kita. Kalau ini menguasai hajat hidup orang banyak, apa boleh dikomersialkan?" tuturnya.
Berbeda dengan Indoensia, sejumlah negara tetangga memilih akan menggratiskan vaksin Covid-19. Misalnya Singapura menyetujui Pfizer-BioNTech dan akan menggratiskan untuk seluruh warganya dan pendatang yang tinggal untuk jangka waktu lama.
Di tengah belum jelasnya ketersediaan vaksin impor, produksi vaksin Merah Putih oleh Lembaga Biologi Molekuler Eijkman dinilai masih butuh waktu lama. Wakil Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Herawati Sudoyo, yang turut dalam diskusi mengatakan, proses pembuatan kandidat vaksin baru mencapai 50 persen.
"Salah satu kendalanya adalah sistem di sini tidak mendukung bekerja dengan cepat, di antaranya impor bahan lama," ujarnya.
Jika sesuai jadwal, menurut Herawati, kandidat vaksin Merah Putih baru akan selesai dan diserahkan ke Bio Farma pada Maret 2021 untuk menjalani uli klinik. "Paling cepat kalau semua lancar akhir tahun depan baru ada hasil uji kliniknya," katanya.
Herawati mengatakan, pengembangan vaksin Merah Putih ini jadi dasar untuk menghadapi pandemi di masa mendatang. "Membuat vaksin tidak mudah, apalagi bagi negara yang belum pernah membikin vaksin dari awal sampai pasaran. Beda dengan industri di negara maju yang sudah sangat berpengalaman," kata dia.
Pengendalian Non-Vaksin
Ahmad mengingatkan, vaksin bukan satu-satunya cara mengendalikan pandemi. "Tidak ada satu intervensi yang dapat menghentikan pandemi, tetapi semua langkah harus dilakukan. Yang menjadi tanggung jawab pribadi melalui 3M (masker, menjaga jarak dan mencuci tangan), sedangkan tanggung jawab bersama, terutama pemerintah melalui 3T (tes, tracing, dan treatmen)," kata dia.
Sejumlah negara, seperti China yang menjadi produsen vaksin Sinovac bisa mengendalikan pandemi justru tidak menggunakan vaksin. "Mereka berhasil karena lockdown yang ketat dan penerapan 3M dan 3 T itu," kata dia.
Meski sejumlah vaksin Covid-19 terbukti memiliki efikasi tinggi, belum ada bukti vaksin tersebut mencegah penularan. Masih dibutuhkan studi jangka panjang dan skala lebih luas untuk mengetahuinya.
"Tujuan ideal vaksinasi adalah mencegah penularan dan mencegah terjadinya gejala penyakit. Sayangnya vaksin Covid-19 yang ada sekarang belum terbukti untuk mencegah penularan. Jadi, sekalipun nanti sudah divaksin tetap harus menerapkan 3M dan 3T," kata dia.