Gejala yang dialami pasien Covid-19 makin beragam. Salah satu gejala yang kerap tak dikenali adalah delirium. Padahal, sindrom itu biasanya muncul pada pasien yang kondisinya memburuk.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
Covid-19 merupakan penyakit baru dengan seribu wajah. Gejala yang ditimbulkan semakin beragam, bahkan antara satu orang dan lainnya memiliki gejala berbeda-beda. Karena itu, kewaspadaan akan gejala dan tanda yang muncul patut ditingkatkan agar penanganan tepat dan cepat bisa segera diberikan.
Kewaspadaan itu tidak hanya secara fisik, tetapi juga kondisi psikis pasien pun perlu diperhatikan. Beberapa studi menunjukkan, sejumlah pasien Covid-19, terutama yang berusia lanjut di atas 60 tahun, mengalami gangguan delirium.
Maura Kennedy dari Departemen Kedokteran Emergensi Rumah Sakit Umum Massachusetts, Amerika Serikat, bersama dengan kolega melakukan riset pada 817 pasien Covid-19 berusia 65 tahun ke atas di tujuh lokasi berbeda di AS. Hasil riset itu menemukan, 28 persen pasien mengalami delirium.
Sementara 16 pasien menunjukkan kondisi delirium sebagai gejala utama dan 37 persen tak menunjukkan gejala khas, seperti deman dan sesak napas. Hasil riset tersebut telah dipublikasi dalam laporan yang dimuat di JAMA Network pada 19 November 2020.
Apa itu delirium? Berdasarkan definisi yang diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 73 Tahun 2015 tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Jiwa, delirium merupakan suatu sindrom yang ditandai dengan gangguan kesadaran dan kognisi secara akut dan berfluktuasi.
Tanda dari gangguan ini sangat bervariasi. Biasanya seseorang dengan delirium akan mengalami gangguan pada kesadaran serta berkurangnya atensi.
Psikiater yang juga President Federation of Asian Oceanian Neuroscience Societies (FAONS) Adhi Wibowo Nurhidayat di Jakarta, Jumat (11/12/2020), mengatakan, gejala lain bisa dialami orang dengan delirium meliputi gangguan ingatan, seperti pikun, disorientasi, dan gangguan berbahasa. Selain itu, pasien biasanya mengalami gangguan emosi, gangguan pada siklus tidur, serta gangguan pada cara berpikir.
Kondisi ini terjadi dalam periode waktu pendek dan berfluktuasi atau berubah-ubah dalam sehari. ”Namun, yang harus jadi perhatian adalah delirium termasuk gangguan kognitif pada level tertinggi sehingga bisa mengancam jiwa. Pemeriksaan lebih lanjut diperlukan untuk memastikan seseorang mengalami delirium,” tuturnya.
Delirium termasuk gangguan kognitif pada level tertinggi sehingga bisa mengancam jiwa.
Dalam Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa pun disebutkan, perubahan dalam kognisi yang ditandai dengan defisit memori, disorientasi, serta gangguan bahasa pada pasien delirium tidak terkait dengan demensia. Pada delirium, beberapa tanda itu terjadi mendadak dan fluktuatif, sedangkan pada penderita demensia terjadi menahun.
Adhi mengatakan, penyebab delirium beragam. Delirium bisa terjadi karena ada infeksi pada sistem saraf pusat, seperti trauma pada kepala, tumor, dan pendarahan. Penyebab lainnya meliputi penggunaan obat, gangguan jantung, gangguan paru, gangguan sistem metabolik, dan ada penyakit sistemik akibat infeksi ataupun defisiensi nutrisi.
Karena itu, tata laksana pada pasien delirium bergantung pada penyebab yang memicu gangguan tersebut. Pemeriksaan fisik yang cermat dan pemeriksaan penunjang amat diperlukan untuk menentukan penyebab delirium. Kemudian, pengobatan yang diberikan juga untuk mengatasi gangguan perilaku yang dialami.
Delirium pada Covid-19
Kewaspadaan akan delirium ini juga perlu ditingkatkan pada pasien Covid-19. Itu karena pemahanan masyarakat yang kurang akan tanda dan gejala delirium membuat sebagian besar pasien tidak terdeteksi. Padahal, delirium biasanya terjadi pada pasien yang kondisinya memburuk.
Dokter spesialis penyakit dalam dari Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan Muhammad Alkaff mengatakan, 70 persen kasus delirium tidak terdeteksi dengan baik. Karena gejala delirium tidak spesifik dan biasa dialami lansia, masyarakat pun menjadi abai.
”Padahal, delirium ini bisa menjadi pertanda perburukan dari Covid-19. Seseorang yang mengalami delirium artinya sudah terjadi gangguan peredaran oksiden ke otak sehingga suplaidarah ke otak terganggu. Jadi, pasien Covid-19 dengan delirium itu biasanya sudah dengan derajat berat atau kritis,” katanya.
Alkaff mengatakan, delirium bisa dialami oleh siapa saja tanpa batas usia. Namun, gangguan ini lebih banyak ditemui pada pasien lansia di atas 60 tahun dan tidak spesifik pada jenis kelamin tertentu.
Kondisi ini terjadi karena orang yang lanjut usia akan mengalami penurunan kekebalan tubuh serta gangguan pada sistem metabolik. Tidak sedikit pula lansia yang sudah memiliki penyakit penyerta atau komorbid yang dapat memicu terjadi delirium.
Penanganan yang tepat dan cepat pun sangat dibutuhkan pada pasien Covid-19 dengan delirium. Keluarga yang memiliki anggota dengan Covid-19, terutama yang sudah berusia lanjut, diharapkan lebih waspada.
Apabila orang dengan Covid-19 tersebut menunjukkan tanda delirium, seperti mudah lupa, mudah terjatuh, dan kehilangan keseimbangan, serta mengalami gangguan pola tidur bahkan tidak bisa tidur semalaman, patut curiga.
”Jadi, keluarga ataupun tenaga medis yang merawat pasien Covid-19 harus mengenal delirium dengan baik. Hindari obat-obatan yang dapat memicu terjadinya delirium, hindari kurang minum atau dehidrasi, hindari kurang makan, serta hindari perburukan pada komorbid yang dimiliki. Penanganan yang diberikan jangan sampai terlambat,” ujar Alkaff.