Waspadai Peningkatan Kasus Penyakit Kronis Pascapandemi
Data menunjukkan, kasus-kasus penyakit kronis yang ditangani layanan kesehatan menunjukkan penurunan selama pandemi. Ini perlu diwaspadai karena bisa menimbulkan beban penanganan di masa depan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jumlah kunjungan ke fasilitas pelayanan kesehatan menurun di masa pandemi. Sementara pemanfaatan layanan konsultasi kesehatan jarak jauh atau telemedicine belum optimal. Jika kondisi ini terus berlarut, risiko komplikasi pada pasien dengan penyakit kronis semakin tinggi sehingga beban biaya kesehatan pun kian besar.
Berdasarkan Laporan Pengelolaan Program Jaminan Sosial Kesehatan per 30 September 2020, jumlah kunjungan untuk rawat jalan tingkat lanjut (RJTL) dan rawan inap tingkat lanjut (RITL) menurun dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dari Januari sampai September 2020, jumlah kunjungan ke rumah sakit, baik untuk rawat jalan maupun rawat inap, sebanyak 58.719.828 kunjungan atau rata-rata 6,5 juta kunjungan per bulan. Dibandingkan tahun 2019 dengan periode yang sama, jumlah kunjungan ke rumah sakit sebanyak 77.015.276 kunjungan atau 7,7 juta kunjungan per bulan.
Kondisi yang sama juga ditemukan pada pelayanan untuk pasien dengan penyakit katastropik, seperti jantung, stroke, kanker, dan gagal ginjal. Jumlah kasus untuk penyakit ini menurun dari tahun sebelumnya.
Kasus penyakit katastropik yang ditanggung dalam program JKN-KIS pada 2020 sekitar 1,5 juta kasus per bulan, sementara pada 2019 sekitar 1,6 juta kasus per bulan. Adapun biaya penyakit katastropik pada Januari-September 2020 sekitar Rp 12,7 triliun dan periode Januari-Oktober 2019 sebesar Rp 16,2 triliun.
Dampaknya bisa berbalik di tahun 2021 karena orang yang sakit menjadi kronis dan komplikasi. Biayanya pun akan semakin besar. (Timboel Siregar)
”Data ini mengonfirmasi bahwa jumlah kunjungan ke rumah sakit menurun. Biaya INA-CBGs untuk RITL dan RJTL menjadi lebih rendah dari tahun lalu. Namun, dampaknya bisa berbalik di tahun 2021 karena orang yang sakit menjadi kronis dan komplikasi. Biayanya pun akan semakin besar,” tutur Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar di Jakarta, Senin (2/11/2020).
INA-CBGs merupakan sistem paket pembayaran berdasarkan penyakit yang diderita pasien dalam program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS). Pembiayaan dengan sistem ini yang ditagihkan oleh rumah sakit kepada BPJS Kesehatan.
Apabila dilihat dari jumlah rujukan pasien dari fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) ke fasilitas kesehatan tingkat lanjutan (FKTL), jumlahnya masih cukup tinggi. Tingkat rujukan pada periode Januari-September 2020 sebesar 14 persen. Jumlah ini hampir sama dengan tahun sebelumnya. Namun, pada tahun ini tidak semua orang yang dirujuk langsung datang ke rumah sakit.
Khawatir tertular
Timboel mengatakan, penurunan kunjungan ke rumah sakit, terutama untuk penyakit katastropik, bisa disebabkan karena pasien khawatir tertular Covid-19. Kondisi ini seharusnya dapat diantisipasi melalui layanan konsultasi kesehatan jarak jauh atau telemedicine. Namun, layanan ini belum optimal dimanfaatkan.
”Layanan telemedicine di rumah sakit pada program JKN-KIS bahkan belum ada. Karena itu, dorongan yang kuat kepada Kementerian Kesehatan sangat diperlukan untuk segera membuat aturan tentang telemedicine ini,” katanya.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Cut Putri Ariane mengatakan, penurunan kunjungan ke rumah sakit juga bisa disebabkan karena adanya kebijakan BPJS Kesehatan yang memperpanjang jangka waktu pemberian obat dari sebelumnya setiap bulan menjadi dua bulan sekali. Ini dilakukan untuk membantu pasien agar tidak terlalu sering datang ke rumah sakit.
Selain itu, penyebab lainnya bisa karena sebagian besar fasilitas pelayanan kesehatan masih fokus pada pelayanan Covid-19 sehingga pelayanan kesehatan esensial lainnya berkurang. Oleh karena itu, Kementerian Kesehatan telah menyusun panduan dan pedoman pelayanan kesehatan di masa pandemi.
Penapisan faktor risiko penyakit tidak menular seperti hipertensi dan diabetes pun tetap diupayakan di masyarakat. Hal ini diperlukan untuk mencegah timbulnya komorbid, seperti jantung, stroke, dan gagal ginjal.
”Sejak awal pandemi, Kemenkes sudah mengeluarkan pedomana pelayanan kesehatan di masa pandemi dan panduan screening (penapisan) faktor risiko penyakit tidak menular di posbindu. Regulasinya sudah ada, tinggal bagaimana masing-masing fasilitas kesehatan dan pasien menjalankannya. Pemda pun bertanggung jawab untuk implementasi ini,” tutur Cut.