Mahadata, Maha-sia-sia
Penggunaan mahadata menjadi tumpuan di banyak negara untuk menghadapi virus SARS-CoV-2, penyebab Covid-19. Mahadata ini dipakai untuk pelacakan, proyeksi penularan guna menentukan intervensi.
Penggunaan mahadata menjadi tumpuan di banyak negara untuk menghadapi virus SARS-CoV-2, penyebab Covid-19. Mahadata ini dipakai untuk pelacakan, proyeksi penularan guna menentukan intervensi. Namun, di Indonesia, mahadata menjadi sia-sia.
China menjadi contoh bagaimana menggunakan mahadata (big data) untuk mengatasi pandemi. Belajar dari ledakan wabah di Wuhan, yang menjadi episenter awal Covid-19 di dunia, China memperbaiki sistem surveilans mereka sehingga terhindar dari gelombang kedua penularan.
Ini dibuktikan ketika ratusan kasus baru Covid-19 muncul di pasar basah yang luas di Beijing pada pertengahan Juni 2020, hanya butuh beberapa hari bagi pihak berwenang di ibu kota China itu untuk berhasil melacak, dan memeriksa jutaan orang yang dianggap berisiko terpapar.
Hasilnya, mata rantai penularan berhasil diputus dengan cepat. Dalam tiga minggu, Beijing yang memiliki 22 juta penduduk kembali melaporkan nol kasus harian baru.
Bagaimana China melakukannya?
Sebagian dari jawabannya terletak pada penggunaan jiankangma, secara harfiah diterjemahkan sebagai ”kode kesehatan”. Sistem ini mengacu pada kode QR yang unik dan mudah dipindai yang berisi informasi biografi dasar seseorang lengkap dengan profil medis singkat dan riwayat perjalanan.
Tentu saja, kode QR saja tidak dapat memerangi wabah. Namun, ketika dikombinasikan dengan langkah-langkah penahanan, seperti pelacakan dan pembatasan gerakan, kerja keras epidemiolog lapangan menjadi jauh lebih efisien. Program jiankangma ini membuat orang yang berisiko terpapar bisa cepat ditemukan berdasarkan data riwayat perjalanan sehingga segera diperiksa dan diisolasi.
Baca juga: Dilema Teknologi Pelacakan Kontak Korona
Mahadata juga menjadi kunci pembukaan kembali aktivitas ekonomi di China. Setiap orang yang hendak masuk kerja harus mendaftar ke pusat komunitas di sekitar tempat tinggal. Petugas hanya perlu memindai kode di ponsel cerdas warga guna mendapatkan informasi di mana mereka berada selama dua minggu terakhir.
Informasi tersebut kemudian dimasukkan ke pusat data yang dapat diperiksa untuk mengonfirmasi siapa yang telah menyelesaikan karantina dan siapa yang masih harus menjalani isolasi. Bagi yang lolos penapisan baru bebas pergi ke kantor atau pertokoan.
Kepercayaan publik
Penggunaan mahadata untuk mengumpulkan informasi dalam krisis kesehatan sebenarnya bukan hal baru. Pada 2011, Jon Crowcroft dan Eiko Yoneki, ilmuwan di Universitas Cambridge, membuat aplikasi yang melacak penyebaran influenza, FluPhone.
Sistem ini sebenarnya yang menginspirasi China, dalam penanganan pandemi kali ini. Negara lain yang juga menerapkannya Korea Selatan dan Taiwan. Bahkan, Taiwan bisa dianggap sebagai contoh paling sukses karena secara berhasil menggunakan mahadata untuk mencegah penularan sejak awal sehingga sekalipun berbatasan dengan China, hanya terdapat 529 kasus dengan 7 orang meninggal.
Seperti dilaporkan C Jason Wang, peneliti dari Stanford University School of Medicine di Journal of the American Medical Association (JAMA) Network, 3 Maret 2020, kunci sukses Taiwan adalah penggunaan mahadata, teknologi baru, dan tes yang proaktif. Ini dilakukan sejak awal wabah ketika negara lain masih belum bersiap menghadapi penularan.
Baca juga: Lomba Strategi Memerangi Covid-19
Pada 27 Januari, National Health Insurance Administration (NHIA) Taiwan dan Badan Imigrasi Nasional telah mengintegrasikan pemantauan riwayat perjalanan 14 hari ke dalam sistem asuransi mereka. Sistem pemantauan terhadap warga Taiwan ataupun orang asing yang baru tiba ini memungkinkan pemerintah melacak individu yang berisiko tinggi karena memiliki riwayat perjalanan dari daerah dampak.
Mereka yang diidentifikasi berisiko tinggi diwajibkan menjalani karantina mandiri, dan dipantau secara elektronik melalui ponsel mereka. Basis data NHIA kemudian diperluas sehingga bisa muntuk mencakup riwayat perjalanan 14 hari terakhir untuk seluruh orang dari China, Hong Kong, dan Makau.
Seperti China, Taiwan juga bisa memantau seluruh pergerakan dan status warga karena sebelum melakukan aktivitas di ruang publik atau setiap masuk gedung melalui kode QR di telepon cerdasnya. Sistem yang sama juga diterapkan di Singapura.
Sistem ini hanya bisa berjalan kalau ada kepercayaan antara publik dan pemerintahnya karena ada isu privasi yang sensitif. (Septian Hartono)
”Sistem ini hanya bisa berjalan kalau ada kepercayaan antara publik dan pemerintahnya karena ada isu privasi yang sensitif,” kata Septian Hartono, relawan data dari Kawalcovid.id, yang tinggal di Singapura. ”Karena masyarakat percaya sistem ini dibutuhkan untuk mencegah kemungkinan penularan dari orang yang berisiko, juga mempercepat proses pelacakan, akhirnya publik menerima,” katanya.
Kepercayaan publik untuk dilacak dan dipindai ini dibayar dengan penanganan yang baik dan transparan dalam pendataan. ”Kalau di Singapura, setiap kasus yang diumumkan ada riwayat perjalanannya, tanpa harus menyebutkan nama,” katanya.
Transparansi
Agus Wibowo, Direktur Pengembangan Strategi Penanggulangan Bencana Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengatakan, penggunaan aplikasi pelacakan dan integrasi big data melalui BLC (Bersatu Lawan Covid-19) sebenarnya sudah disiapkan pemerintah. ”Tetapi, sistem ini memang belum berjalan baik,” katanya.
Salah satu aplikasi pelacakan itu FightCovid19.id yang dikembangkan oleh anak muda Ahmad Alghozi (22). Aplikasi ini sempat dipakai oleh Pemerintah Provinsi Bangka Belitung, tetapi kemudian dihentikan karena diganti oleh Peduli Lindungi yang diluncurkan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sejak pertengahan April lalu.
Alghozi yang kemudian bergabung dengan tim teknologi informasi Satuan Tugas Penanganan Covid-19 mengatakan, ”Saat ini sudah ada hampir 5 juta pengguna di aplikasi Peduli Lindungi, tetapi sampai sekarang belum ada integrasi data ke sistem pencegahan dan pelacakan Covid-19, baik dengan pemerintah pusat maupun daerah, sehingga data yang ada jadi sia-sia,” katanya.
Persoalan serupa terjadi pada BLC, yang harusnya pusat data untuk pengambilan keputusan ataupun sumber informasi bagi para epidemiolog dan publik. ”Data waktu nyata berkualitas tinggi sangat penting untuk menghitung angka reproduksi (R) dan untuk memastikan di mana penyakit terus menyebar, sehingga memungkinkan respons yang ditargetkan. Data ini yang tidak ada,” kata Iqbal Elyazar, epidemiolog dari Laporcovid19.
Data lain yang juga tidak tersedia di antaranya jumlah tes tiap kabupaten, informasi tiap kasus yang ditemukan dan kapan tanggal gejala muncul, dan kapan hasilnya. ”Data epidemi di Indonesia tidak lengkap dan susah dianalisis atau dijadikan proyeksi ke depan. Sayangnya data yang tidak lengkap ini dipakai membuat kebijakan, akhirnya menyesatkan, misalnya penentuan zonasi tanpa informasi kecukupan tes di tiap daerah,” kata Iqbal.
Seperti diakui Tim Pakar Kesehatan Masyarakat Satgas Penanganan Covid-19, Dewi Nur Aisyah, saat berdiskusi ke Kompas menjanjikan pemerintah pada September akan mengubah bobot indikator, termasuk dengan memasukkan indikator kecukupan tes dalam penentuan zona.
Namun, hingga saat ini data mengenai jumlah pemeriksaan tiap kabupaten kabupaten/kota belum ada. Menurut Alghozi, salah satu kendala terbesar dalam menjalankan mahadata di Indonesia adalah ego sektoral antarlembaga birokrasi dan rendahnya transparansi.
Ego sektoral terlihat jelas dari surat permintaan data Nomor S-01/PERPRES82/07/2020 yang diajukan Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional ke Menteri Kesehatan dan Menteri Komunikasi dan Informatika. Surat ditandatangani Doni Monardo dan Erick Thohir pada 24 Juli 2020 menyebutkan, mereka belum mendapatkan akses data lengkap terhadap penyelidikan epidemiologi dan data penelusuran kontak secara nasional.
”Lembaga yang punya kewenangan dan data enggan membuka dan kolaborasi. Big data bisa berjalan dan bermanfaat kalau semua pihak mau transparan,” kata Alghozi.
Septian Hartono mengatakan, bukan hanya kualitas data yang tidak memadai, data yang ditampilkan pemerintah cenderung dipilah-pilah dan cenderung politis. Dia mencontohkan soal angka kesembuhan yang kerap didengungkan pemerintah, tetapi dengan menutupi angka kematian sesungguhnya.
Baca juga: Satgas Covid-19: Pemda Lengah dalam Penanganan Covid-19
”Sulit percaya kalau pemerintah menyatakan angka kasus baru atau sembuh bertambah dan jumlah kematian naik atau turun. Apakah benar turun atau datanya belum atau bahkan tidak dimasukkan?” katanya. ”Yang dilakukan pemerintah cenderung bagaimana memoles data Covid-19 di Indonesia supaya terlihat lebih baik dari yang sebenarnya dengan undertest dan underreport kematian.”
Pelaporan penambahan kasus di Covid-19 yang tidak waktu nyata, bisa karena keterlambatan hasil tes ataupun terlambat memasukkan data hingga seminggu atau lebih, sudah disinggung oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Indonesia dalam setiap laporan rutinnya. Disebutkan, praktik ini menjadikan interpretasi kurva epidemi di Indonesia menjadi sangat sulit.
Selain soal data kasus, menurut Septian, data kematian juga tidak jelas. ”Pelaporan kematian lebih sedikit dari yang seharusnya (underreporting). Data yang dikumpulkan Kawalcovid dan Laporcovid berdasarkan laporan pemerintah daerah sudah puluhan ribu, tapi yang dilaporkan Kemenkes baru belasan ribu,” katanya.
Data korban jiwa yang dilaporkan Kemenkes, pada Selasa ini mencapai 12.027 orang. Jumlah ini hanya yang meninggal dengan status terkonfirmasi positif melalui pemeriksaan PCR. Sedangkan data Laporcovid-19 berdasarkan laporan kabupaten/kota di Indonesia, total kematian terkait Covid-19 sudah mencapai 28.724.
Basis data pelaporan pemerintah kabupaten/kota ini adalah korban meninggal dengan status terkonfirmasi melalui pemeriksaan dan probabel karena belum dites. Padahal, masih ada sekitar 100 kabupaten yang belum memperbarui datanya sehingga dipastikan angka kematian terkait di Indonesia bisa jauh lebih besar lagi.
Bahkan, data korban yang terkonfirmasi positif antara pemerintah pusat dan daerah juga berbeda. Misalnya, data yang ditampilkan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, jumlah kematian Covid-19 sebanyak 2.199 kasus, sedangkan yang dilaporkan satgas baru 1.522 kasus atau 677 korban lebih sedikit.
Pada akhirnya, mahadata untuk membantu mengatasi pandemi ini hanya akan berhasil jika kita memiliki pemerintahan yang dapat dipercaya dan menghindari populisme. Pemerintahan ini harus bisa mempertahankan prinsip-prinsip dasar privasi masyarakat sambil melindungi kesehatan kita dari agresi Covid-19. Tanpa itu, mahadata hanya menjadi sia-sia.