Kurangi Risiko Penularan Covid-19 Selama Unjuk Rasa
Unjuk rasa meningkatkan risiko penularan Covid-19. Belajar dari unjuk rasa di sejumlah negara, risiko ini bisa dikurangi jika pengunjuk rasa dan aparat keamanan menerapkan protokol kesehatan.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Unjuk rasa yang marak terjadi berisiko meningkatkan risiko penularan Covid-19. Namun, belajar dari unjuk rasa di sejumlah negara lain, risiko ini bisa dikurangi jika pengunjuk rasa dan aparat keamanan menerapkan protokol kesehatan.
”Berkumpulnya orang dalam jumlah besar seperti unjuk rasa ataupun kampanye pemilihan kepala daerah pasti akan meningkatkan risiko penularan. Untuk mencegah tentu dengan meredam sumber masalahnya agar tidak ada unjuk rasa. Tetapi, di luar ranah epidemiologi,” kata ahli epidemiologi Indonesia dari Universitas Griffith, Australia, Dicky Budiman, Jumat (9/10/2020).
Jika unjuk rasa tidak bisa dicegah lagi, menurut Dicky, yang bisa dilakukan adalah meminimalkan risikonya. ”Kedua pihak, baik pengunjuk rasa maupun aparat keamanan, wajib menerapkan protokol kesehatan, seperti memakai masker, menjaga jarak, dan menghindari kontak langsung,” ujarnya.
Penggunaan gas air mata dan semprotan air merica untuk membubarkan pengunjuk rasa, menurut Dicky, sebaiknya juga dihindari karena bisa memperparah risiko penularan. Itu karena Covid-19 ditularkan melalui percikan dari saluran pernapasan, terutama saat bersin atau batuk.
Untuk mencegah terbentuknya kluster pengunjuk rasa yang bisa memicu membesarnya kluster keluarga dan komunitas, Dicky menyarankan pengunjuk rasa dan aparat yang bertugas melakukan isolasi mandiri setelah aktivitas mereka. ”Kalaupun mereka tertular selama unjuk rasa, baru akan efektif jika dilakukan tes seminggu kemudian. Mereka harus dipantau dan selama itu sebaiknya isolasi mandiri,” tuturnya.
Pengalaman negara lain
Di sejumlah negara, terbentuk kluster penularan dari unjuk rasa. Namun, ada negara yang tidak mengalami lonjakan signifikan setelah gelombang unjuk rasa. ”Serangkaian demonstrasi antirasial di Amerika Serikat, misalnya, tidak memicu ledakan kasus, sebaliknya unjuk rasa serupa di Melbourne, Australia, dianggap menjadi sumber penularan baru,” kata Dicky.
Laporan studi National Bureau of Economic Research AS yang diterbitkan pada 20 Juni 2020 menyebutkan, unjuk rasa yang dilakukan di sejumlah kota memicu ledakan kembali kasus Ccovid-19 atau penambahan kematian setelah lebih dari lima minggu sejak dimulainya protes. Laporan ini didasarkan pada analisis di 315 kota terbesar di AS.
Menurut Dicky, selain penerapan protokol kesehatan, yang juga membedakan adalah situasi penularan di suatu wilayah selama terjadinya demonstrasi. Unjuk rasa di Amerika Serikat dilakukan setelah negara itu melakukan karantina wilayah sehingga kasus relatif landai. Sebaliknya, di Melbourne saat itu kasusnya tengah tinggi.
”Nah, di Indonesia saat ini sebenarnya sedang tinggi-tingginya sehingga risiko ledakan kasus ke depan pasti tetap akan tinggi,” tuturnya.
Berdasarkan data Satuan Tugas Penanganan Covid-19, kasus di Indonesia bertambah 4.094 orang sehingga total menjadi 324.658 orang. Adapun korban meninggal bertambah 97 orang sehingga total menjadi 11.677 orang.
Penambahan kasus ditemukan melalui pemeriksaan terhadap 39.118 orang sehingga rasio positif 10,4 persen yang menunjukkan penurunan cukup signifikan dibandingkan dengan sebelumnya. Laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 7 Oktober 2020 menyebutkan, rasio kasus positif di Indonesia selama tiga pekan terakhir adalah 14-15 persen, dengan kecenderungan turun di minggu terakhir dibandingkan dengan dua minggu sebelumnya. Rekomendasi WHO, rasio positif maksimal 5 persen.
Dari data jumlah tes harian, terlihat adanya peningkatan kapasitas dan untuk pertama kalinya melewati ambang minimal yang disarankan WHO sebesar 38.500 tes per hari. Sesuai pedoman WHO, tes minimal di suatu wilayah harus dilakukan sebanyak 1 per 1.000 populasi per minggu. Namun, jika diambil rata-rata dalam tiga minggu terakhir, jumlah tes di Indonesia masih di bawah ambang minimal.
Epidemiolog Eijkman Oxford Clinical Research Unit (EOCRU), Bimandra A Djaafara, yang tengah studi doktoral di Imperial College London dalam papernya yang diunggah di medrxiv.org menyebutkan, keterbatasan tes di Indonesia menyebabkan sulitnya mengukur laju penularan dan proyeksi kasus ke depan. Karena itu, dia mengembangkan model proyeksi dengan menggunakan data kematian untuk melengkapi model epidemiologi.
Meski demikian, dengan data yang ada, puncak wabah itu masih sulit sekali diprediksi melalui model karena bergantung pada laju penularannya (R) yang secara nasional belum jelas. Namun, untuk Jakarta, dengan mengacu data R konsisten di 1,25 pada awal September bisa diproyeksikan puncak wabah akan terjadi pada akhir 2020 atau awal 2021.
Jika setelah puncak kembali terjadi pelonggaran aktivitas, angka R akan kembali naik sehingga bisa memicu gelombang kedua. Risiko gelombang kedua akan terjadi karena jumlah orang yang terinfeksi yang menjadi syarat bagi herd immunity atau kekebalan komunitas masih sangat kecil.
Mengacu pada kajian epidemiolog Universitas Indonesia, Pandu Riono, dan timnya, survei seroprevalensi di Kota Tangerang menunjukkan orang yang terinfeksi baru 2,3 persen. Hasil pemodelan Bimandara dan tim untuk Provinsi Banten juga menunjukkan estimasi orang yang terinfeksi baru 1-2 persen.