Pemeriksaan Masih Terbatas, Evaluasi Proses Pelacakan Kasus di Masyarakat
Kapasitas laboratorium pemeriksaan spesimen terkait Covid-19 yang tersedia belum digarap secara optimal. Padahal, hal itu menjadi kunci untuk mempercepat penanganan pasien yang terinfeksi.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Di tengah keterbatas jumlah pemeriksaan spesimen terkait Covid-19 di Indonsia, kapasitas laboratorium pemeriksaan yang tersedia belum digarap secara optimal. Selain pemberlakuan batas tertinggi tarif tes reaksi berantai polimerase atau PCR, berbagai kendala perlu diselesaikan mulai dari pelacakan, pengiriman spesimen, sampai pelaporan hasil pemeriksaan.
Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (Iakmi) Ede Surya Darmawan di Jakarta, Rabu (7/10/2020) mengatakan, kapasitas laboratorium yang tersedia belum dimaksimalkan. Dengan total 376 laboratorium untuk pemeriksaan Covid-19, seharusnya jumlah spesimen yang diperiksa per hari lebih besar dari yang dilaporkan saat ini.
“Jumlah pemeriksaan yang belum optimal bisa terjadi karena pelacakan kasus yang dilakukan belum masif. Selain itu juga, laporan yang diterima per hari belum utuh. Setiap hari selalu dilaporkan adanya laboratorium yang belum melaporkan hasil pemeriksaan PCR. Isunya bisa karena administrasi ataupun transportasi pengiriman spesimen,” katanya.
Jumlah pemeriksaan yang belum optimal bisa terjadi karena pelacakan kasus yang dilakukan belum masif.
Berdasarkan laporan Satuan Tugas Penanganan Covid-19 per 7 Oktober 2020, jumlah orang yang diperiksa dalam sehari sebanyak 32.167 orang. Dari jumlah ini 4.538 orang diantaranya terkonfirmasi positif Covid-19. Meski begitu, dari 376 laboratorium yang melakukan pemeriksaan, masih ada 88 laboratorium yang belum melaporkan hasil pemeriskaan PCR.
Karena itu, Ede menuturkan, selain diperlukan adanya perluasan laboratorium pemeriksaan di sejumlah daerah, kendala administrasi serta pelaporan perlu segera diatasi. Dengan begitu, proses pelaporan pun bisa lebih baik dan intervensi yang dilakukan juga bisa tepat sasaran.
Waktu tunggu
Ketua Satuan Tugas Covid-19 Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Zubairi Djoerban menambahkan, hal lain yang perlu diperhatikan yakni lamanya waktu tunggu dari hasil tes pemeriksaan terkait Covid-19. Laporan yang diberikan hari ini bisa saja merupakan hasil pemeriksaan pekan lalu.
Padahal, waktu tunggu yang lama ini bisa berdampak pada keterlambatan penanganan pasien. “Pemeriksaan harus lebih masif. Semakin banyak yang diperiksa akan jauh lebih baik, meski jumlah kasus positif yang ditemukan akan semakin besar. Ini penting diketahui, kasus yang banyak ditemukan artinya karantina bisa cepat dilakukan agar penularan bisa terputus,” tuturnya.
Menurut dia, jumlah pemeriksaan dari pelacakan kasus di masyarakat masih amat minim. Jika Presiden menargetkan 30.000 orang per hari pada dua bulan lalu, seharusnya jumlah tes yang dilakukan saat ini mencapai 50.000 orang per hari. Namun, target 30.000 orang per hari pun belum dicapai secara konsisten.
Selain itu, tingkat kasus positif yang dilaporkan sangat tinggi yakni mencapai 14,5 persen. Padahal, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menargetkan, tingkat kasus positif yang dilaporkan per hari tidak boleh lebih dari lima persen.
“Upaya pelacakan kasus dan pemeriksaan yang masif menjadi kunci penanganan pandemi ini. Jangan sampai karena terlalu fokus memersiapkan vaksin, yang masih butuh waktu lama, membuat penanganan dasar dikesampingkan. Kesadaran warga juga harus ditingkatkan,” tutur Zubairi.
Dalam keterangan pers, Ketua Tim Satuan Tugas Kementerian Kesehatan yang juga Staf Khusus Menteri Kesehatan Bidang Tata Kelola Pemerintahan Daniel Tjen mengatakan, jejaring laboratorium perlu dibangun lebih banyak lagi agar proses pemeriksaan Covid-19 dapat didistribusikan secara merata di seluruh wilayah. Hal ini perlu dilakukan untuk menekan waktu tunggu pemeriksaan yang terlalu lama.
“Kita perlu percepat (proses pemeriksaan) agar bisa terdeteksi sedini mungkin, diatur pembagiannya agar tidak menumpuk, jadi waktu tunggu juga tidak terlalu lama,” katanya ketika melakukan kunjungan kerja di Denpasar, Bali, Senin (5/10).
Jemput bola
Laboratorium pemeriksaan juga dapat menerapkan sistem jemput bola untuk pemeriksaan kasus di masyarakat. Melalui upaya ini, pelacakan kasus bisa diperkuat. Selain itu, angka kematian diharapkan dapat menurun sehingga tingkat kesembuhan meningkat.
Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia menyatakan, pengetatan pembatasan sosial berskala besar di DKI Jakarta terbukti berdampak pada penurunan jumlah pasien Covid-19 di wilayah itu. Tingkat kesembuhan juga meningkat seiring peningkatan kapasitas diagnosis penyakit itu di kalangan tenaga medis.
Sementara itu, setelah penentuan batas atas tarif tes usap atau PCR menjadi Rp 900.000, sebagian warga masih keberatan dengan harga itu.
Sebagian warga lainnya mengeluhkan tarif tes Covid-19 yang masih di atas ketentuan yang tercantum di Surat Edaran Kementerian Kesehatan Nomor HK.02.02/I/3713/2020 tentang Batasan Tarif Tertinggi Pemeriksaan PCR per 5 Oktober 2020. Pemerintah meminta semua penyedia fasilitas kesehatan memberlakukan tarif PCR maksimal Rp 900.000.
Abu Athifah (30), warga Bekasi, mengatakan bahwa harga Rp 900.000 jauh lebih murah dibandingkan dengan tes yang pernah dilakukannya pada Agustus lalu, yakni senilai Rp 1,5 juta. Meski kini lebih murah, tarif itu tidak terjangkau keluarganya. Karena itu, Abu mengandalkan tes cepat antibodi seharga Rp 150.000 meski hasilnya kurang akurat.
Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito menegaskan, seluruh pembiayaan pasien Covid-19 ditanggung pemerintah. (EVY/DIV)