Risiko Kemunculan Kluster Demo Bisa Kian Mempersulit Penanganan Covid-19
Di tengah penularan Covid-19 yang belum membaik, kini terjadi demo penolakan UU Cipta Kerja yang berisiko menimbulkan kluster baru. Ini akan kian mempersulit dalam penanganan Covid-19.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penolakan masyarakat terhadap terbitnya Undang-Undang Cipta Kerja menuai unjuk rasa di daerah-daerah. Ancaman adanya kluster penularan Covid-19 yang besar pun tidak bisa dihindari. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran di tengah penanganan pandemi masih belum optimal.
Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (Iakmi) Hermawan Saputra mengatakan, keputusan pemerintah dan DPR untuk menerbitkan Undang-Undang Cipta Kerja dinilai tidak tepat. Di luar isu sosial dan politik, terbitnya aturan ini jelas dapat memperburuk upaya pengendalian penularan Covid-19 di masyarakat.
”Terbitnya undang-undang ini jelas disadari akan menimbulkan polemik dan kegaduhan. Hal ini menjadi ironi ketika pemerintah meminta masyarakat untuk mematuhi protokol kesehatan, di lain sisi, pemerintah juga yang memicu terjadinya kegaduhan yang menyebabkan penularan semakin besar,” katanya ketika dihubungi di Jakarta, Kamis (8/10/2020).
Dalam pelaksanaan unjuk rasa, protokol kesehatan akan sulit dijalankan. Ketika melakukan unjuk rasa, kerumunan tidak terhindarkan, orasi yang dilakukan juga berisiko menyebabkan cairan ludah atau droplet menyebar ke sekitar. Selain itu, penularan yang terjadi di tengah unjuk rasa bisa meluas menjadi kluster keluarga dan kluster pabrik ataupun komunitas.
Untuk itu, Hermawan berpendapat, cara terbaik mencegah adanya kluster penularan dari unjuk rasa adalah dengan menyelesaikan persoalan dari hulu, yakni kebijakan yang diterbitkan. Selain terkait esensi dari isi Undang-Undang Cipta Kerja, pembatalan kebijakan ini diperlukan untuk mencegah kondisi penularan Covid-19 yang semakin gawat.
Dalam keadaan normal, penanganan pandemi sudah cukup mengkhawatirkan dengan pemeriksaan dan pelacakan kasus yang terbatas. Dengan adanya kejadian ini, upaya pengendalian tentu akan semakin berat. (Hermawan Saputra)
”Persoalan saat ini karena ada kebijakan yang dinilai tidak tepat sehingga menimbulkan penolakan masyarakat. Dalam keadaan normal, penanganan pandemi sudah cukup mengkhawatirkan dengan pemeriksaan dan pelacakan kasus yang terbatas. Dengan adanya kejadian ini, upaya pengendalian tentu akan semakin berat,” tuturnya.
Dalam Kompas (8/10/2020), ajakan agar para peserta unjuk rasa menerapkan protokol kesehatan tidak diindahkan. Pendemo tetap berdesakan. Sebagian pengunjuk rasa tampak tidak memakai atau melepaskan masker mereka. Unjuk rasa ini setidaknya terjadi di Lampung, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Jambi, Banten, Jawa Tengah, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Tenggara.
Juru bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito, menyampaikan, masyarakat yang hendak melakukan unjuk rasa agar tetap disiplin menjalankan semua protokol kesehatan. Menjaga jarak dan menggunakan masker adalah upaya pencegahan yang harus tetap dipatuhi.
”Meskipun kita juga harus menyampaikan aspirasi, pastikan menyampaikan aspirasinya dengan mematuhi protokol kesehatan. Lonjakan kasus bisa terjadi dari adanya penularan di tengah kerumunan unjuk rasa. Ini akan berdampak fatal jika sampai menularkan pada kelompok rentan,” katanya.
Satuan Tugas Penanganan Covid-19 per 8 Oktober 2020 melaporkan, jumlah kasus baru yang terkonfirmasi positif Covid-19 bertambah 4.850 orang, sementara kasus sembuh bertambah 3.769 orang dan kasus kematian bertambah 108 orang. Jumlah kasus positif ini didapatkan dari pemeriksaan yang dilakukan pada 32.901 orang dalam sehari.
Tak capai standar
Wiku mengatakan, upaya pelacakan dan pemeriksaan kasus masih harus terus ditingkatkan. Jumlah pemeriksaan saat ini dinilai masih belum mencapai standar yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Kondisi ini salah satunya disebabkan oleh keterbatasan sumber daya manusia yang bertugas melakukan pelacakan di sejumlah wilayah.
Belum tercapainya standar ini juga disebabkan karena besarnya wilayah yang ada di Indonesia dan fasilitas kesehatan yang terbatas. Di satu sisi, stigma di masyarakat terkait Covid-19 menghambat pelacakan kasus di masyarakat.
”Untuk mengefektifkan upaya tracing, kami mendorong pengadaan fasilitas dan teknologi pendukung di daerah. Kami juga membutuhkan bantuan dari seluruh lapisan masyarakat untuk dapat berinisiatif melakukan tes mandiri jika merasa pernah bersinggungan atau kontak dengan suspek dan atau penderita Covid-19,” tutur Wiku.
Secara terpisah, Ketua Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Doni Monardo meresmikan penggunaan Rumah Sakit Umum Daerah di Biak Numfor, Papua, sebagai tempat isolasi bagi pasien Covid-19. Rumah sakit dengan kapasitas 50 tempat tidur ini akan melayani pasien Covid-19 yang berada di Pulau Biak dan sekitarnya.
Dari seluruh tempat tidur yang tersedia, sebanyak 10 tempat tidur digunakan untuk pasien yang membutuhkan perawatan khusus. Sebelumnya, pasien Covid-19 yang tinggal di Pulau Biak dan sekitarnya harus dirujuk ke Jayapura untuk mendapatkan perawatan.