Pandemi membuat sebagian warga lansia merasa kesepian dan terisolasi dari kehidupan sosial. Kesepian dan isolasi sosial dinilai dapat berdampak buruk bagi kesehatan fisik.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembatasan sosial selama pandemi membuat orang lansia merasa kesepian dan terisolasi. Lebih lanjut, rasa kesepian yang parah dinilai dapat berdampak buruk bagi kesehatan jiwa dan fisik seseorang.
Hal itu tampak dari hasil survei University of Michigan di Amerika Serikat melalui National Poll on Healthy Aging (NPHA) pada Juni 2020. Survei melibatkan 2.074 orang lansia berusia 50-80 tahun di AS. Survei serupa juga dilakukan pada Maret 2020. Hasilnya dipublikasi di laman NPHA, Senin (14/9/2020).
Survei menunjukkan bahwa 41 persen lansia merasa kesepian pada periode Maret-Juni 2020. Di periode yang sama, ada 56 persen orang lansia merasa terisolasi dan 46 persen jarang melakukan kontak sosial, baik dengan teman, tetangga, maupun keluarga.
Angka tersebut meningkat dibandingkan dengan survei NPHA sebelumnya. Pada Oktober 2018, ada 34 persen orang lansia kesepian, 27 persen merasa terisolasi, dan 28 persen jarang melakukan kontak sosial.
Pada Maret-Juni 2020, orang lansia mengatasi perasaan terisolasi dengan bantuan teknologi. Sebanyak 59 persen orang lansia menggunakan media sosial dan 31 persen melakukan panggilan video sedikitnya sekali seminggu. Adapun 46 persen orang lansia berinteraksi dengan tetangga dan 75 persen pergi ke luar rumah.
Kesepian selama pandemi sering diasosiasikan dengan gejala depresi dan kesehatan jiwa di kalangan orang lansia. Penting untuk mengenal dampak pandemi bagi orang lansia secara holistik. Setelahnya, upaya mencegah dampak tersebut perlu diidentifikasi.
Profesor di Fakultas Kedokteran University of Michigan Piette Malani menyarankan agar orang lansia difasilitasi dengan interaksi sosial reguler dan bermakna. Selain interaksi sosial, interaksi reguler dengan alam juga disarankan. Tujuannya untuk mengurangi kesepian dan menjaga hubungan sosial.
”Penggunaan teknologi untuk menjembatani kesenjangan (komunikasi) akan jadi penting selama beberapa bulan ke depan. Begitu pula dengan menjaga pola hidup sehat, seperti diet seimbang, tidur cukup, dan olahraga,” kata Preeti.
15 batang rokok
Menurut studi di AS, dampak kesepian dan isolasi sosial setara dengan menghisap 15 batang rokok sehari. Sementara itu, mengutip National Institute on Aging, kesepian dan isolasi sosial berhubungan dengan risiko tinggi terhadap beragam gangguan fisik dan mental. Beberapa di antaranya tekanan darah tinggi, penyakit jantung, obesitas, melemahnya sistem imunitas, depresi, kecemasan, dan alzheimer.
Akademisi Brigham Young University di AS, Julianne Holt-Lunstad, dalam Loneliness and Social Isolation as Risk Factors for Mortality: A Meta-Analytic Review menjelaskan, kesepian dan isolasi sosial diasosiasikan dengan hidup tidak sehat, seperti kualitas tidur yang buruk.
Kendati dampak kesepian terhadap kesehatan fisik masih perlu diteliti, Holt-Lunstad melihat hubungan yang nyata di antara keduanya. Ia menilai wajar jika kesepian dan isolasi sosial masuk dalam daftar masalah kesehatan masyarakat.
Sebabkan kecemasan
Sebanyak 69 persen orang di Indonesia mengalami gangguan psikologis akibat pandemi. Hal itu tampak dari hasil swaperiksa oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Gangguan Jiwa Indonesia per 14 Mei 2020 terhadap 2.364 responden.
Studi juga menyatakan bahwa 68 persen orang mengalami kecemasan, 67 persen depresi, 77 persen menderita trauma psikologis, dan 49 persen lainnya berpikir tentang kematian.
”Berbagai tekanan banyak dirasakan oleh masyarakat di tengah pandemi Covid-19. Itu, antara lain, ketakutan akan kehilangan orang terdekat karena tertular Covid-19, rasa frustrasi dan bosan untuk terus berada di rumah, juga ketakutan kehilangan pekerjaan dengan situasi ekonomi saat ini,” kata Sekretaris Jenderal Asian Federation of Psychiatric Association Nova Riyanti Yusuf (Kompas, 13/8/2020).