Pelacakan kasus positif Covid-19 tak selalu mudah. Masih ada warga yang tak mau menjalani tes usap. Perlu aturan hukum untuk pelacakan kasus secara aktif.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk melacak kasus positif Covid-19 tak selalu mudah. Masih ada warga yang tak mau menjalani tes usap atau uji reaksi rantai polimerasi (PCR). Pengamat menyarankan dibuat aturan hukum untuk pelacakan kasus secara aktif. Ini untuk mengantisipasi penolakan warga.
”Kalau kami, maunya tiap hari melakukan tes jemput bola (active case finding/ACF) kepada warga. Namun, ternyata pelaksanaannya tak semudah yang dibayangkan,” ujar anggota tim Covid-19 Puskesmas Palmerah, Jakarta Barat, Elis, ketika ditemui pada Jumat (4/9/2020) di kantornya.
Penolakan berasal dari mereka yang tak memiliki gejala. Kalau mereka sehat, ada kecenderungan tidak mau mengikuti tes. Kekhawatirannya banyak, antara lain khawatir dikucilkan oleh lingkungan.
Untuk melakukan ACF, puskemas melaporkan jumlah alat PCR yang dibutuhkan. Setelah itu, tim berkomunikasi dengan RW yang akan disasar. Wilayah sasaran biasanya wilayah yang memiliki banyak kasus.
”Misalnya kami ingin melakukan ACF di RW tertentu. Lalu, kami minta data ke Pak RW. Kalau yang bersedia dites hanya 15 orang, kan, sayang APD-nya. Soalnya, kuota sekali ACF itu bisa 100-200 orang,” tuturnya.
Seperti diketahui, harga alat pelindung diri (APD) melambung sejak pandemi Covid-19. Kini, harga baju hazmat, bagian dari APD, sudah mencapai Rp 100.000, bahkan lebih. Satu set APD bisa mencapai Rp 300.000 dan beberapa bagian hanya bisa dipakai sekali saja.
Puskesmas Palmerah melakukan ACF terakhir di RW 001 Slipi, Palmerah, 20 Agustus lalu. Hingga kemarin, situs Corona.jakarta.go.id mencatat kawasan ini sebagai zona merah. Selain itu, ACF pun sudah dilakukan di wilayah perkantoran, pasar, dan sejumlah wilayah di Palmerah.
Untuk mengontrol penularan Covid-19, lanjut Elis, tenaga kesehatan menjalankan pengawasan kepada pasien positif Covid-19. Setiap kelurahan diawasi oleh dua tenaga kesehatan.
Misalnya kami ingin melakukan ACF di RW tertentu. Lalu, kami minta data ke Pak RW. Kalau yang bersedia dites hanya 15 orang, kan, sayang APD-nya. Soalnya, kuota sekali ACF itu bisa 100-200 orang.
Elis mengawasi Kelurahan Kemanggisan. Dia intens berkomunikasi dengan pasien, terutama pasien yang menjalani isolasi mandiri. Jika pasien positif Covid-19 tersebut tanpa gejala, mereka mengisolasi diri di rumah selama 14 hari. Mereka juga harus menandatangani pernyataan bahwa rumahnya laik digunakan untuk isolasi mandiri.
Pasien isolasi mandiri ini, lanjutnya, terus diminta mengabarkan kondisi kesehatannya. Apabila mengalami gejala sedang hingga berat, baru mereka dirujuk ke rumah sakit Covid-19. Kalau gejala ringan, seperti batuk, tenaga kesehatan memberi obat. Kebijakan ini ditempuh karena keterbatasan tempat tidur di rumah sakit Covid-19.
Dia menambahkan, tenaga kesehatan juga berkomunikasi dengan kontak erat pasien positif Covid-19. Kontak erat menjalani tes usap di puskesmas. Namun, tidak semua kontak erat pasien positif kooperatif. ”Kalau sudah enggak mau diajak kerja sama, kami minta tolong RW untuk mengawal agar mau menjalani tes,” ujarnya.
Warga RT 006 RW 016 Kelurahan Palmerah, Palmerah, Jakarta Barat, Alam (54), menjelaskan, belum pernah ada petugas puskemas yang turun untuk melakukan tes usap di wilayahnya. Dengan demikian, pedadang di Pasar Palmerah ini belum mengikuti tes usap. ”Waktu itu, ada pelaksanaan tes di Pasar Palmerah, kebetulan saya tidak sedang di pasar,” katanya.
Alam bersedia mengikuti tes usap selama hasil tes itu benar-benar akurat. Belakangan, ia kebingungan dengan kejadian yang menimpa sejumlah kenalannya.
Almarhum kakaknya di Jepara, Jawa Tengah, meninggal karena tuberkulosis sebulan lalu. Sehari sesudah meninggal, almarhum dinyatakan positif Covid-19. Namun, anehnya, keluarga kakaknya tidak dites oleh pemerintah. ”Lah, saya, kan, jadi bingung. Keluarganya hanya disuruh isolasi mandiri, tetapi tidak dites. Hanya rumahnya saja disemprot pakai disinfektan,” ujarnya.
Selain itu, ia mengenal pedagang di Pasar Palmerah yang sering dipanggil Bude. Bude meninggal dua minggu lalu karena penyakit gula darah yang dideritanya. Dia pun dinyatakan positif Covid-19. ”Padahal, Bude ini sudah tidak jualan sejak sebelum Covid-19 karena sakit gula itu. Kok, bisa positif? Ini yang bikin heran,” ujarnya.
Alasan pendapatan
Berbeda dengan Alam, warga RT 006 RW 017 Kebon Melati, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Afif Ramadhani (37), tidak bersedia menjalani tes usap. ”Kalau tes, kan, nanti enggak bisa ke mana-mana dulu. Saya jualan barang bekas, nanti siapa kasih makan,” ujar Afif ketika ditemui di Bendungan Hilir, Jakarta Pusat.
Selain tak leluasa bergerak, Afif dan anggota keluarga di rumah pun tak ada yang sedang sakit. Oleh sebab itu, ia merasa tak perlu menjalani tes usap. ”Sepupu saya bekerja di RS Pelni Jakarta. Ia pernah meminta saya mengikuti tes, tetapi saya gak mau,” katanya.
Kepala Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Tri Yunis Miko mengatakan, pemerintah bisa membuat peraturan daerah untuk surveilans aktif. ”Kalau ada aturan hukumnya, jika warga menolak, mereka bisa dipidana,” ujarnya.
Sebelum melakukan pendekatan legal, lanjutnya, warga harus diberi pengertian. Selain untuk melindungi diri sendiri, pelacakan kasus bertujuan untuk melindungi kesehatan masyarakat. ”Kalau dialog tak mempan, mereka bisa dipaksa untuk menjalani tes,” ucapnya.
Dia menambahkan, isolasi mandiri untuk pasien positif Covid-19 tanpa gejala berisiko. Tak ada jaminan pasien tersebut tidak berkeliaran. Oleh sebab itu, isolasi harus diambil alih oleh pemerintah.