Pembukaan Area Keramaian Bisa Melonggarkan Protokol Kesehatan
Sejumlah pembukaan area keramaian di Jakarta turut melonggarkan praktik protokol kesehatan. Butuh ketegasan dari pemerintah dalam menjalankan protokol yang ada agar tidak kendur.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia atau IAKMI mengingatkan adanya dampak buruk dari pembukaan area keramaian publik di tengah pandemi Covid-19. Salah satu hal yang perlu diantisipasi adalah mengendurnya penegakan protokol kesehatan.
Ketua Umum IAKMI Ede Surya Darmawan menyoroti rencana pembukaan area keramaian publik oleh pemerintah, Rabu (26/8/2020). Kabar yang terbaru adalah rencana pembukaan bioskop khusus untuk wilayah DKI Jakarta dalam waktu dekat.
”Pembukaan bioskop akan menyisakan celah kendurnya pemeriksaan protokol kesehatan. Apalagi karena kemarin, angka rasio positif kasus Covid-19 di Jakarta sepekan terakhir mencapai 10 persen. Situasi itu sama sekali tidak aman,” kata Ede.
Ede menambahkan, karena umumnya bioskop berlokasi di dalam mal, kerumunan akan turut terhimpun di sana. Saat kondisi seperti itu, dia khawatir praktik jaga jarak fisik akan sulit berlangsung.
Pola serupa sebenarnya juga terjadi saat pembatasan sosial berskala besar (PSBB) transisi dimulai pada awal Juni 2020. Saat itu, orang-orang mulai pergi ke kafe dan kedai makanan tanpa mengindahkan protokol kesehatan. Hingga kini pun, ada saja sebagian orang yang mengabaikan protokol tersebut.
Hal semacam itu terjadi di sebuah kafe di Jalan Haji Agus Salim, Menteng, Jakarta Pusat. Mahesa (24), pengunjung kafe, bersama sejumlah temannya tidak menerapkan jaga jarak fisik minimal satu meter seperti yang diatur dalam protokol kesehatan.
”Kadang memang kalau sedang asyik ngobrol, masker membuat percakapan jadi kagok. Tapi saya yakin saja teman saya pada sehat-sehat, dari berangkat pun sudah bareng-bareng kok. Mudah-mudahan engga kenapa-napa,” ucapnya, Minggu (23/8/2020) silam.
Sementara itu, Azka Putri (27) makin berhati-hati karena kasus di Jakarta belum ada tanda-tanda akan mereda. Dirinya pun masih menjalani kebijakan bekerja dari rumah sejak April silam. ”Aku benar-benar waspada untuk pergi keluar. Apalagi soal ke kafe sudah aku kurangi banget,” ungkap warga Klender, Jakarta Timur, ini.
Peningkatan kasus tersebut makin membuat warga khawatir. Kompas mengukur tingkat kekhawatiran itu melalui jajak pendapat pada Maret 2020. Dari total 536 responden, 67,9 persen responden mengaku khawatir terhadap kemunculan Covid-19.
Persepsi itu berbeda dengan Studi Persepsi Risiko oleh LaporCovid19.org and Social Resilience Lab NTU di Jakarta dan Surabaya akhir Juni lalu. Warga di dua kota tersebut telah memiliki perilaku menjaga diri dengan baik dengan melaksanakan protokol kesehatan. Walakin, rata-rata beranggapan risiko untuk terkena virus sangat kecil.
Salah kaprah
Ede memandang pembukaan area keramaian cenderung membuat publik salah kaprah. Terutama saat ramai penyebutan istilah ”normal baru” beberapa bulan lalu, kesannya, sebagian warga malah berpikiran kalau kondisi saat ini sudah berangsur normal.
”Orang-orang malah jadi berpikir kembali ke situasi normal lama. Pergi ke mana-mana sesuka mereka, padahal ada potensi juga masing-masing orang menjadi pembawa virus tanpa gejala,” ucapnya.
Terkait hal itu, pemerintah harus benar-benar menunjukkan ketegasan dalam menerapkan protokol kesehatan. Pakai masker dan saling jaga jarak masih menjadi cara yang paling ampuh untuk mencegah penularan.
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Ari Fahrial Syam mencontohkan, setidaknya dengan kesadaran pakai masker saja, potensi penularan lewat percikan air dari mulut (droplets) bisa sangat berkurang. ”Tentunya dengan memakai masker yang benar dan rapat,” katanya.