Belum Diketahui Konsekuensinya, Pengaruh Mutasi Virus Korona Masih Perlu Dikaji
Mutasi virus korona jenis baru mengindikasi kemungkinan virus beradaptasi terhadap tubuh manusia. Kendati demikian, masih terlalu dini untuk menyimpulkan efek mutasi virus terhadap tubuh manusia yang terinfeksi.
Oleh
sekar gandhawangi
·3 menit baca
Sejumlah studi menunjukkan bahwa virus korona baru bermutasi dan berevolusi. Ada dugaan, hal ini berpengaruh ke transmisi virus yang lebih luas. Namun, dugaan itu belum bisa dibuktikan secara ilmiah.
Mutasi virus SARS-CoV-2 itu ditemukan salah satunya oleh tim peneliti University College London (UCL). Genom virus diteliti dari 7.500 orang yang terinfeksi Covid-19 di seluruh dunia. Hasilnya, ditemukan 198 mutasi genetik berulang pada virus. Hasil riset dipublikasikan pada 5 Maret 2020.
Mutasi tersebut mengindikasi kemungkinan virus beradaptasi terhadap tubuh manusia. Kendati demikian, masih terlalu dini untuk menyimpulkan efek mutasi virus terhadap tubuh manusia yang terinfeksi.
Adapun kecepatan mutasi belum dapat diprediksi. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui pengaruh mutasi terhadap tingkat penularan dan kematian.
Mutasi atau perubahan genetika virus terjadi secara parsial. Para peneliti berpendapat, genom virus yang tidak bermutasi dapat dijadikan referensi bagi pengembangan vaksin dan obat Covid-19.
”Tantangannya adalah kemungkinan obat dan vaksin tidak lagi efektif jika virus telah bermutasi. Namun, jika kita fokus pada virus yang kecenderungan mutasinya kecil, kita punya kesempatan mengembangkan obat yang efektif untuk jangka panjang,” kata Profesor Francois Balloux dari UCL Genetics Institute, menurut Science Daily.
Penelitian oleh UCL dilakukan dengan menggunakan data dari Global Initiative on Sharing All Influenza Data (GISAID). Data dari GISAID juga digunakan Los Alamos National Laboratory di AS untuk melacak mutasi SARS-CoV-2. Hasilnya, ada 14 mutasi yang ditemukan di penelitian tahap awal.
Tantangannya adalah kemungkinan obat dan vaksin tidak lagi efektif jika virus telah bermutasi. Namun, jika kita fokus pada virus yang kecenderungan mutasinya kecil, kita punya kesempatan mengembangkan obat yang efektif untuk jangka panjang.
Britain’s Glasgow University juga melakukan penelitian yang sama. Mengutip Reuters, mutasi pada genom virus korona tidak menunjukkan virus-virus itu memiliki strain yang berbeda.
Temuan ini bertolak belakang dengan temuan para peneliti China. Peneliti China sebelumnya menemukan ada dua strain virus korona yang beredar pada masa awal wabah. Salah satu strain tersebut dinilai lebih agresif.
”Virus ini berevolusi dan berubah. Kita belum mengetahui konsekuensi dari perubahan tersebut,” ujar Kepala Divisi Virologi Britain’s Francis Crick Institute Jonathan Stoye.
Menurut data dari GISAID, virus korona baru atau SARS-CoV-2 terbagi dalam empat kelompok besar. Keempatnya adalah S, G, V, dan O.
Sementara itu, Lembaga Biologi Molekuler Eijkman di Indonesia sedang menyusun urutan genom virus korona baru. Data keseluruhan genom (full genome) virus korona berasal dari tiga isolat dari pasien Covid-19 di Indonesia. Data itu telah didaftarkan ke GISAID (Kompas, 5/5/2020).
Menurut Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, genom total yang didaftarkan panjangnya mencapai 29.000 basa. Mereka menyiapkan empat isolat lagi untuk didaftarkan.
Data ini penting untuk mempelajari Covid-19 lebih lanjut. Data ini dapat digunakan untuk melacak kasus hingga mengembangkan obat serta vaksin.
Penelitian serupa mulai dilakukan oleh Departemen Kesehatan New York. Hal ini dilakukan untuk melacak asal-usul virus korona baru dan mengantisipasi potensi wabah kedua. Pasalnya, New York berencana untuk membuka kembali kota mereka beberapa bulan mendatang.
Hingga 9 Mei 2020, jumlah kasus Covid-19 di Amerika Serikat adalah 1.322.164 kasus. Jumlah kematian mencapai 78.616 orang dan 223.749 orang sembuh. Kota New York menjadi salah satu episentrum wabah Covid-19 dengan jumlah positif Covid-19 mencapai 340.705 kasus.