Arah Kebijakan Pemerintah soal Covid 19 Bingungkan Masyarakat
Arah kebijakan dan gaya komunikasi pemerintah dalam penanganan Covid-19 membingungkan publik. Belum lagi aturan antarkementerian yang berbeda-beda. Publik juga dibingungkan oleh kebijakan yang berubah-ubah.
Oleh
satrio pangarso wisanggeni
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS _ Arah kebijakan dan gaya komunikasi pemerintah yang dinilai kurang tegas dapat menimbulkan penanganan Covid-19 yang tidak efektif. Kesadaran masyarakat yang diyakini menjadi kunci perlambatan penyebaran virus dikhawatirkan tidak dapat terbangun.
Komunikasi yang tidak jelas seakan menjadi tema seluruh kebijakan yang diambil oleh pemerintah untuk menghadapi pandemi Covid-19 ini. Terakhir, soal larangan ojek daring mengambil penumpang dalam masa Pembatasan Sosial Berskala Besar di Jakarta.
Pada Pasal 18 (ayat 6) Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 33 Tahun 2020 tentang pelaksanaan PSBB di Jakarta, menyatakan bahwa angkutan roda dua berbasis aplikasi dibatasi pengunaannya hanya untuk pengangkutan barang.
Hal ini juga sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 yang menjadi pedoman pelaksanaan PSBB.
Kementerian Perhubungan (Kemenhub) pada Minggu (12/4/2020) menyatakan bahwa ojek daring diperbolehkan untuk mengantarkan masyarakat, asal menggunakan masker, sarung tangan, dan disinfektan.
Keesokan harinya, Senin (13/4/2020), juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19 yang juga Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Achmad Yurianto pun mempertanyakan alasan koleganya di Kemenhub mengambil sikap tersebut.
Kiki (30) seorang pengojek daring, yang biasa menunggu pesanan di kawasan Kemanggisan, Jakarta Barat, mengatakan, masih bingung dengan adanya perbedaan kebijakan tersebut. Namun ia memilih tidak ambil pusing dan berkonsentrasi untuk berfokus pada layanan mengantar makanan.
Pada awal April pun juga terjadi ketidakjelasan kebijakan dari pemerintah saat Kementerian Perhbungan menganulir kebijakan larangan operasi bus antar kota antar provinsi yang akan diterapkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Imbauan mudik yang disampaikan pemerintah pun juga tidak jelas. Juru bicara Presiden Fajroel Rachman mengatakan bahwa mudik diperbolehkan. Lalu tidak lama kemudian Menteri Sekretaris Negara Pratikno memberikan tambahan informasi bahwa pemerintah mengajak masyarakat tidak perlu mudik.
Akibat maju mundurnya ketentuan yang diberlakukan, pemerintah dapat dituduh ambigu dengan keputusannya sendiri. Ini menyebabkan masyarakat jadi bingung apa sebenarnya yang dikehendaki
Pengajar Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI Firman Kurniawan menilai akibat maju mundurnya ketentuan yang diberlakukan, pemerintah dapat dituduh ambigu dengan keputusannya sendiri. Ini menyebabkan masyarakat jadi bingung apa sebenarnya yang dikehendaki. Dan akibatnya, syarat menurunkan penularan dengan mengurangi pergerakan manusia, tidak dilakukan serempak.
“Ketentuan mana yang berlaku, apa yang diijinkan dan apa yang tidak boleh, itu harus dikomunikasikan jelas,” kata Firman.
Epidemiolog FKM UI Tri Yunis Miko Wahyono mengatakan, seharusnya sikap pemerintah bisa lebih jelas dan apabila ada perubahan kebijakan, sebaiknya ditunjukkan dengan sebuah basis bukti ilmiah.
Menurutnya, larangan mudik dari Jakarta ke daerah lain itu seharusnya sudah mutlak. Hal ini mengingat, kondisi Jakarta yang menjadi episentrum pandemi Covid-19 di Indonesia. Data terbaru menunjukkan hampir separuh kasus Covid-19 di Indonesia merupakan kasus Jakarta.
Namun untuk daerah lain, mungkin bisa dipertimbangkan untuk diperbolehkan, terlebih lagi dari dan ke daerah yang tidak memiliki kasus Covid-19. Protokol isolasi 14 hari juga tetap harus diterapkan.
Menurut Tri, tidak bisa hanya menggunakan imbauan untuk bisa memastikan warga mengikuti ketentuan-ketentuan tersebut. Tidak bisa sekadar imbauan. “Perlu instrumen hukum yang jelas untuk bisa memaksa setiap orang isolasi 14 hari,” kata Tri.