Putusan Mahkamah Agung perlu dikaji karena bisa mengancam keberlanjutan Jaminan Kesehatan Nasional- Kartu Indonesia Sehat (JKN- KIS).
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dampak dari putusan Mahkamah Agung yang mengabulkan permohonan uji materi Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan perlu dikaji dan diantisipasi semua pihak. Pasalnya, putusan yang membatalkan aturan kenaikan iuran Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat tersebut bisa mengancam keberlanjutan program itu.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Ekonomi Kesehatan Indonesia Hasbullah Thabrany, putusan itu perlu dikaji karena bisa mengancam keberlanjutan Jaminan Kesehatan Nasional- Kartu Indonesia Sehat (JKN- KIS). Defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan bisa kian besar dengan berlakunya putusan itu.
Jika tidak dilakukan penyesuaian iuran dan intervensi lain, defisit BPJS Kesehatan pada 2020 mencapai Rp 39,5 triliun (Kompas.id, 11 Oktober 2019). ”Putusan MA itu bertentangan dengan UU SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) yang menetapkan penyesuaian iuran mesti berkala. Jika tak ada penyesuaian, BPJS Kesehatan terus defisit sehingga pembayaran ke fasilitas kesehatan terhambat,” kata Hasbullah, di Jakarta, Selasa (10/3/2020).
Defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan bisa kian besar dengan berlakunya putusan itu.
Sejumlah warga khawatir pembatalan kenaikan iuran JKN-KIS mengurangi manfaat program itu. Herman (30), pekerja swasta, misalnya, tak keberatan atas kenaikan iuran karena sebagian ditanggung perusahaan. Ia memanfaatkan jaminan kesehatan itu bagi persalinan dua anaknya. Perpres No 75/2019 mengatur penyesuaian iuran bagi semua peserta JKN-KIS.
Iuran bagi peserta bukan penerima upah dan bukan pekerja kelas tiga naik dari Rp 25.500 per orang per bulan jadi Rp 42.000, kelas dua naik dari Rp 51.000 jadi Rp 110.000, dan kelas satu naik dari Rp 80.000 jadi Rp 160.000. Kenaikan iuran itu berlaku sejak 1 Januari 2020. Kenaikan iuran juga berlaku bagi penerima bantuan iuran dari Rp 23.000 menjadi Rp 42.000. Kenaikan iuran segmen itu berlaku sejak Agustus 2019. Dengan putusan MA, kenaikan iuran itu dibatalkan.
Uji materi Perpres No 75/2019 diajukan Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) pada 5 Desember 2019 karena kenaikan iuran JKN-KIS dinilai memberatkan serta tak sesuai UUD 1945, UU No 40/2004 tentang SJSN, dan UU No 24/2011 tentang BPJS. Ketua Umum KPCDI Tony Samosir menyambut baik putusan MA itu.
Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro mengatakan, MA mengabulkan sebagian permohonan pemohon. ”Majelis mempertimbangkan alasan yuridis dan sosiologis. Pertimbangan majelis panjang sekali dalam putusan ini. Garis besarnya ialah Pasal 34 Ayat (1) dan (2) tak punya kekuatan hukum mengikat,” ujarnya (Kompas, 10/3).
Transparan
Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mengatakan, pembahasan bersama dengan semua pemangku kepentingan akan dilakukan terkait putusan MA itu. ”Nanti kami bahas bersama Komisi IX DPR tentang dampaknya,” ucapnya. Wakil Ketua Komis IX DPR dari Fraksi Partai Golkar Emanuel Melkiades Laka Lena berpendapat putusan MA tersebut menjadi momentum untuk membenahi secara mendasar sistem JKN. ”Putusan MA ini patut kita hormati,” katanya.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan, hakim MA seharusnya membatalkan Pasal 34 Perpres No 75/2019 dan membuat norma baru, yakni menaikkan iuran, tetapi nilainya tak sebesar aturan itu. Putusan MA itu bisa memperbesar defisit BPJS Kesehatan. ”Mengatasi defisit harus dari dua sisi, yakni peningkatan iuran dan pengendalian biaya,” ujarnya.