Peta jalan program JKN-KIS sangat penting sebagai arahan yang digunakan oleh manajemen rumah sakit. Selama ini, rumah sakit merasa kewalahan karena seringnya pergantian regulasi yang membutuhkan penyesuaian baru.
Oleh
Deonisia Arlinta
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peta jalan menuju cakupan semesta dalam program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat menetapkan kelas standar pelayanan rawat inap akan diterapkan pada 2019. Meski begitu, konsep kelas standar yang dimaksud belum juga dirumuskan. Konsep ini diperlukan untuk mewujudkan kesetaraan layanan bagi seluruh peserta program Jaminan Kesehatan Nasional.
Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Tubagus Achmad Choesni di Jakarta, Rabu (16/10/2019), menuturkan, kamar rawat inap untuk layanan peserta Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) saat ini masih menggunakan pembagian kelas, yakni kelas 1, kelas 2, dan kelas 3. Perbedaan kelas ini juga menjadikan beban iuran yang dibayarkan oleh peserta berbeda-beda.
”DJSN telah merumuskan konsep kelas standar rawat inap dalam program JKN-KIS. Untuk itu, uji publik dilakukan untuk memastikan semua pihak yang terkait bisa terlibat dalam rumusan kebijakan tersebut. Konsep kamar standar rawat inap perlu disepakati dengan mempertimbangkan kesiapan infrastruktur rumah sakit dan BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan,” ujarnya.
Anggota DJSN, Ahmad Ansyori, menambahkan, ada empat opsi konsep kelas standar rawat inap yang telah dirumuskan oleh DJSN. Opsi pertama, kelas standar bagi peserta Penerimaan Bantuan Iuran (PBI) dan peserta bukan PBI disamakan seperti pelayanan pada kelas 3 saat ini. Opsi ini membuat peserta PBI tidak dapat naik kelas dan peserta bukan PBI dapat naik kelas dengan membayar selisih biaya yang muncul karena naik kelas perawatan.
Opsi kedua, kelas standar untuk peserta PBI sama seperti kelas 3 saat ini dan tidak bisa naik kelas, sementara peserta bukan PBI sama seperti kelas 2 saat ini dan dapat naik kelas. Opsi ketiga, peserta PBI memiliki kelas standar rawat inap seperti kelas 2 saat ini dan tidak dapat naik kelas, sementara peserta bukan PBI dengan standar kelas 1 dan dapat naik kelas.
”Opsi keempat menjadi fokus yang kami dorong, yakni adanya kelas standar JKN yang disepakati untuk peserta PBI yang diasumsikan setara dengan kelas 3 dan peserta bukan PBI dengan kelas yang setara dengan kelas 2. Opsi ini memiliki hitungan jumlah kekurangan tempat tidur yang paling rendah, yakni sekitar 7.000 tempat tidur untuk peserta PBI dan 30.000 untuk peserta bukan PBI,” katanya.
Ansyori menambahkan, penerapan kelas standar tetap harus memperhatikan beberapa aspek lain, seperti kesiapan infrastruktur rumah sakit dalam menyesuaikan fasilitas sesuai kelas standar, pembiayaan iuran yang harus dilakukan penghitungan kembali karena tidak ada subsidi silang antarkelas perawatan, serta harmonisasi regulasi yang memungkinkan adanya banyak perubahan aturan yang telah ada. Untuk itu, penerapan kelas standar butuh masa transisi dan dimulai dari rumah sakit yang telah dinilai siap.
Peta jalan
Kepala Subdirektorat Pengelolaan Rujukan dan Pemantauan Rumah Sakit Direktorat Pelayanan Kesehatan Rujukan Kementerian Kesehatan Yout Savithri mengatakan, pemerintah telah memiliki peta jalan implementasi kelas standar pelayanan peserta JKN-KIS. Dari peta itu, kajian kelas standar akan dilakukan pada 2020-2021 dengan mempertimbangkan jumlah kepesertaan JKN, data ketersediaan tempat tidur rumah sakit per kelas, utilisasi rawat inap per kelas, standar fasilitas rawat inap nonkelas, serta penyesuaian premi dan tarif iuran.
Uji coba baru akan dilakukan pada 2022-2023 setelah regulasi diterbitkan dengan pembagian wilayah secara regional, mulai dari regional barat, tengah, dan timur. Kemudian, pada 2024 baru akan dilaksanakan dengan diiringi pengawasan dan evaluasi.
Dari data Kemenkes pada 2018, layanan kelas 3 paling merupakan kelas dengan peserta JKN paling banyak karena semua peserta PBI mendapatkan standar kelas 3, yakni 96,6 juta peserta PBI dan 20,9 peserta bukan PBI. Untuk kelas 2 melayani 40,6 juta peserta bukan PBI dan kelas 1 melayani 27,2 juta peserta bukan PBI.
Dibutuhkan manajemen rumah sakit
Wakil Ketua Asosiasi Rumah Sakit Swasta (Arssi) Noor Arida mengatakan, peta jalan program JKN-KIS sangat penting sebagai arahan yang digunakan oleh manajemen rumah sakit. Selama ini, rumah sakit merasa kewalahan karena seringnya pergantian regulasi yang membutuhkan penyesuaian baru. Rumah sakit swasta yang memiliki tata kelola secara mandiri kesulitan jika perubahan regulasi yang terjadi terlalu cepat dan tanpa rancangan jangka panjang.
Terkait penerapan kelas standar layanan peserta JKN-KIS, ia mengatakan, jika penerapan kelas standar tidak didukung regulasi yang kuat dapat mengancam keberlangsungan tata kelola rumah sakit swasta karena tidak ada lagi subsidi silang dari biaya di atas kelas standar. Selisih biaya yang tidak memadai juga dapat menghambat pengembangan investasi dan ekspansi rumah sakit.
”Kami harap jika ada regulasi terkait kelas standar rawat inap perlu ditetapkan masa peralihan lebih dari satu tahun. Apabila ada peserta yang memilih di atas kelas standar dapat diberlakukan sistem gugur hak menggunakan jaminan dari program JKN atau dikenakan selisih biaya cara umum atau COB melalui asuransi sosial dan penjamin lain,” ucap Noor.