Bakteri-Kebal Perenggut Nyawa Kita
Diam-diam, berjuta nyawa menjadi korban, termasuk di Indonesia. Era kegelapan dunia pengobatan sudah di depan mata.
Diam-diam mematikan. Begitulah kemampuan bakteri-kebal yang menjadi ancaman kesehatan global saat ini. Tanpa kita sadari, jutaan orang di dunia tewas akibat terinfeksi bakteri-kebal, tak terkecuali di Indonesia. Tak mengherankan, fenomena ini disebut sebagai pandemi senyap.
Di Indonesia, bakteri-kebal juga menjadi ancaman serius. Salah satu yang pernah terinfeksi adalah Meirifandrianto (46), warga Gresik, Jawa Timur. Bapak satu anak ini tak akan pernah lupa kondisi kritis ketika dirinya berada di batas maut.
Pada awalnya ia terpapar Covid-19 sekitar Agustus 2020. Paparan pertama dengan virus SARS-CoV-2 itu membawanya dalam kondisi terburuk dan tak sadarkan diri hampir 2,5 bulan lamanya. Laki-laki yang akrab disapa Andri ini lalu menunjukkan foto saat ia dirawat di RSUD Dr Soetomo, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (10/2/2024). Di foto itu, Andri terlihat sangat kurus hingga pipinya kempot. Tubuhnya terkulai lemah, ia bahkan bernapas dengan alat bantu ventilator di instalasi gawat darurat.
Namun, hal yang tidak banyak orang ketahui, perburukan kondisi Andri saat Covid-19 sebenarnya dipicu oleh bakteri yang kebal terhadap antibiotik. Tubuh yang terinfeksi bakteri-kebal itu membuat pengobatan dengan antibiotik menjadi tidak lagi manjur. Kasus seperti Andri itulah yang kerap terjadi, yakni infeksi bakteri-kebal bersembunyi di balik penyakit lain yang tampak di permukaan.
Baca juga: Resistensi Antimikroba Penyebab Utama Kematian Global
Bakteri-kebal merupakan bagian dari fenomena resistensi antimikroba atau antimicrobial resistance (AMR) yang kini menjadi ancaman besar kesehatan global. AMR tersebut artinya, kondisi ketika berbagai mikroorganisme, seperti bakteri, tidak lagi mempan diobati dengan obat antimikroba seperti antibiotik.
”Saya kadang merasa ada mukjizat karena masih bisa hidup. Kalau Tuhan tidak menghendaki, mungkin saya sudah lewat (meninggal),” ucap laki-laki ini saat ditemui di Gresik, Jawa Timur, 10 Februari lalu.
Andri adalah pasien Covid-19 yang dalam istilah kedokteran mengalami Multiple Drug Resistant Organism (MDRO). Kondisi MDRO adalah ketika seseorang tidak mempan lagi diobati dengan satu jenis atau lebih obat antimikroba, seperti antibiotik. Padahal, seharusnya antibiotik bisa bekerja pada jenis penyakit infeksi bakteri yang dideritanya.
Penyebabnya umumnya bisa karena seseorang mengonsumsi antibiotik terlalu sering atau berlebihan. Selain itu, bisa juga terjadi ketika seseorang terpapar bakteri-kebal yang berkembang dan beredar di rumah sakit.
Bambang Pudjo, dokter spesialis anestesi yang menangani Andri di RSUD Dr Soetomo, membenarkan sulitnya pengobatan Andri kala itu. Hampir semua antibiotik yang diberikan di IGD sudah kebal.
”Mulanya diberi antibiotik golongan tertentu, mempan. Lalu, diberikan antibiotik yang sama, membaik sebentar, tetapi kondisinya cepat memburuk. Kemudian dicek lagi hasil kultur (bakteri), ternyata dia sudah resisten semua antibiotik,” ujarnya.
Baca juga: Pasien ICU Rentan Alami Resisten Antimikroba
Rumah sakit akhirnya harus mendatangkan antibiotik dengan skema khusus dari Singapura. Colistin, antibiotik golongan ”Reserve”, golongan antibotik paling tinggi untuk pengobatan Andri. Mendatangkan obat itu tentu berbiaya besar dan tidak sebentar.
”Kondisinya sudah parah sekali. Dia (Andri) salah satu dari sedikit yang bisa selamat. Sebab, kalau pasien sudah MDRO, risiko kematiannya bisa sangat tinggi,” ungkap Bambang.
Pengalaman Andri adalah cerminan betapa sulitnya menyelamatkan nyawa manusia saat terpapar bakteri-kebal. Proses pengobatan menjadi sulit, terlebih karena antibiotik tidak lagi mempan. Belum lagi biaya yang menjadi jauh lebih mahal. Situasi itulah yang membuat banyak jatuh korban jiwa.
Sementara penemuan antibiotik baru di dunia medis memerlukan waktu panjang. Oleh karena itu, penggunaan antibiotik harus sesuai aturan, tidak serampangan, agar bakteri patogen, bakteri penyebab penyakit, tidak kebal dan tak ada lagi obat yang mampu membunuhnya.
Dikutip dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pengembangan pengobatan antibakteri baru tidak cukup untuk mengatasi peningkatan ancaman resistensi antibiotik. Laporan tahun 2021 menggambarkan jalur klinis dan praklinis antibakteri stagnan dan jauh dari memenuhi kebutuhan global. Sejak tahun 2017, hanya 12 antibiotik yang disetujui, 10 di antaranya termasuk dalam kelas yang sudah memiliki mekanisme resistensi antimikroba.
Baca juga: Resisten Antimikroba Masih Jadi Ancaman di Indonesia dan Global
Merujuk riset University of Washington, di Indonesia saja, di tahun 2019 saja terdapat 34.500 kematian disebabkan langsung oleh AMR (attributable to AMR) dan 133.800 kematian terkait dengan AMR. Sementara kematian akibat Covid-19 antara tahun 2020-2023 di Indonesia tercatat 161.920 jiwa.
Pada riset yang sama menyebutkan, angka kematian akibat AMR di Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan kematian akibat penyakit pencernaan, infeksi saluran napas dan tuberkulosis, penyakit kronik pernapasan, infeksi enterik, juga akibat kelainan pada bayi dan ibu melahirkan.
Kehilangan keluarga
Sebagian orang terpaksa kehilangan anggota keluarga karena resistensi antimikroba. Felix Liauw, orang tua di Jakarta, harus menerima kepergian bayinya akibat kondisi terpapar bakteri resisten pada 2019 silam.
Anaknya yang baru berusia 3 bulan ternyata juga mengalami sepsis saat perawatan di rumah sakit. Pemberian antibiotik ke anaknya cukup intens ketika ada indikasi infeksi.
Ketika dirawat, akhirnya dia infeksi dan dikasih antibiotik. Ada masanya pemberian antibiotik waktu itu dari level ringan bisa langsung ke level tinggi. Itu juga merespons kondisi anak saya yang belum membaik.
Suatu ketika, antibiotik yang diberikan tidak lagi mempan pada anaknya. Felix kebingungan. Dokter mengarahkan agar antibiotik golongan lebih tinggi bisa dipakai. Felix yang tidak ingin putus asa masih mengusahakan antibiotik lebih baik untuk anaknya.
Belakangan, Felix baru tahu anaknya memiliki masalah genetik yang membuat gangguan penyerapan makanan. Ketika kritis, infeksi anaknya juga belum tertangani. Anak Felix meninggal dalam kondisi itu di rumah sakit.
Saya menyaksikan sendiri anak saya dirawat, diberikan antibiotik, tetapi hasilnya tetap nihil. Di saat itu bakterinya juga sudah resistan.
Menteri Kesehatan 2012-2014 Nafsiah Mboi (83) juga kehilangan almarhum suaminya, Ben Mboi, karena resistensi antimikroba. Dalam kesempatan wawancara dengan Kompas, 7 Februari 2024 lalu, Nafsiah mengenang suaminya dengan mata berkaca-kaca dan suara tercekat.
Meski meninggal didiagnosis gagal jantung, salah satu situasi fatal yang memperburuk keadaan suami Nafsiah adalah bakteri-kebal. Nafsiah menyaksikan sendiri suaminya mengalami sepsis, kondisi kritis karena infeksi bakteri meluas. Suaminya telah diberi antibiotik pertama sampai antibiotik keempat. Semua pengobatan yang diberikan itu tidak bekerja.
Ia tak sanggup menjelaskan lebih detail momen memilukan ketika itu. ”Ternyata diberi antibiotik kedua, seterusnya sampai antibiotik keempat. Pada saat itu dia sudah tidak kuat,” ujar Nafsiah.
Terpapar bakteri kebal bisa terjadi kepada siapa saja. Paparan ini berpotensi memperparah kondisi pasien saat terserang penyakit apa pun. Langkah yang bisa dilakukan adalah tidak mengonsumsi antibiotik secara sembarangan, menjaga sanitasi, dan kebersihan diri. Satu hal yang tak kalah penting, bersikap kritis dalam menerima resep antibiotik dokter.
”Jika kita gagal bergerak, kita akan menuju ke skenario yang tak terpikirkan di mana antibiotik tidak lagi bekerja dan kita menuju ke era gelap pengobatan,” demikian yang pernah dikatakan David Cameron, mantan Perdana Menteri Inggris, di The Guardian, 2 Juli 2014.
Cameron menyatakan itu seiring dengan munculnya laporan tentang dampak bakteri-kebal antibiotik di masa depan. Laporan The Guardian, diperkirakan ada 5.000 kematian per tahun di Inggris yang bisa terjadi berkaitan dengan paparan bakteri-kebal tersebut.
Dikutip dari WHO, secara global diprediksi, AMR per tahun 2050 mendatang akan memakan korban jiwa hingga 10 juta orang per tahun. Bank Dunia memperkirakan, AMR dapat mengakibatkan tambahan biaya layanan kesehatan sebesar 1 triliun dollar AS pada tahun 2050, dan kerugian produk domestik bruto (PDB) sebesar 1 triliun dollar AS hingga 3,4 triliun dollar AS per tahun pada 2030.
Baca juga: Resistensi Antibiotik Sudah di Depan Mata
Tulisan 1 dari 10