Resisten Antimikroba Masih Jadi Ancaman di Indonesia dan Global
Resistensi antimikroba menjadi ancaman kesehatan masyarakat global. Penanganannya pun harus komprehensif dengan melibatkan multisektor.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Resistensi antimikroba dapat menyebabkan penanganan berbagai infeksi penyakit menjadi semakin sulit. Pasien dengan resistensi antimikroba memerlukan waktu perawatan di rumah sakit yang lebih lama. Biaya perawatan dan pengobatan pun menjadi lebih mahal.
Ketua Perhimpunan Pengendalian Infeksi Indonesia (Perdalin) Hindra Irawan Satari di Jakarta, Kamis (7/10/2021), mengatakan, resistensi antimikroba menjadi ancaman global, termasuk Indonesia. Tanpa upaya pengendalian yang kuat, dikhawatirkan superbug atau bakteri yang kebal terhadap beberapa antimikroba sekaligus (multidrug resistance) semakin meningkat.
”Resistensi antimikroba ini bisa terjadi karena penggunaan antibiotik yang tidak bijak di berbagai sektor. Penggunaan yang sembarangan ini tidak hanya terjadi di manusia, tetapi juga pada ternak,” katanya.
Hindra menuturkan, penyebaran bakteri yang mengandung gen pembawa sifat antimikroba dapat menular melalui infeksi penyakit, makanan, dan lingkungan. Telah ditemukan beberapa sumber air yang tercemar bakteri yang resisten dengan antimikroba.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah memperkirakan, resistensi antimikroba dapat menyebabkan 10 juta kematian per tahun mulai 2050. Selain itu, total kerugian dunia bisa mencapai 100 triliun dollar AS.
Resistensi antimikroba terutama dipicu oleh penggunaan antibiotik yang ekstensif. Biasanya disebabkan oleh penggunaan tanpa resep atau peresepan yang berlebih. Ada 40-62 persen antibiotik digunakan secara tidak tepat, di antaranya untuk penyakit-penyakit yang sebenarnya tidak memerlukan antibiotik.
Resistensi antimikroba ini bisa terjadi karena penggunaan antibiotik yang tidak bijak di berbagai sektor. Penggunaan yang sembarangan ini tidak hanya terjadi di manusia, tetapi juga pada ternak. (Hindra Irawan Satari)
Resistensi antibiotik juga bisa terjadi karena penggunaan yang tidak tepat. Itu seperti konsumsi yang tidak tuntas. Resistensi ini juga bisa timbul akibat penggunaan antibiotik dan obat-obatan antimikroba di peternakan, kedokteran hewan, dan pertanian.
Oleh karena itu, Hindra menuturkan, pengendalian resistensi antimikroba membutuhkan keterlibatan multisektor. Penanganannya harus cepat dan menyeluruh karena bisa mengancam pertumbuhan dan perkembangan bangsa.
”Mengingat kompleksitas permasalahan AMR (resistensi antimikroba) pada bidang kesehatan manusia dan hewan dan berbagai tantangannya, sangat penting untuk dapat menekankan peranan One Health dalam melawan AMR,” tuturnya.
Dari hasil penelitian Antimicrobial Resistant in Indonesia (AMRIN-Study) terbukti dari 2.494 individu di masyarakat, 43 persen Escherichia coli telah resisten terhadap berbagai jenis antibiotik, antara lain ampisilin, kotrimoksazol, dan kloramfenikol.
Koordinator Bidang Organisasi Perdalin Anis Karuniawati menyampaikan, resistensi antimikroba juga bisa menyebar melalui limbah yang mengandung bakteri yang membawa sifat AMR. Bakteri ini akan mengontaminasi air, tanah, dan lingkungan. Dari distribusi data AMR yang dikumpulkan dari spesimen darah dan urine menunjukkan, beberapa bakteri yang resisten tersebut telah ditemukan, terutama Klebsiella pneumoniae dan Escherichia coli.
Ia menyampaikan, pemerintah sebenarnya sudah memasukkan upaya pengendalian resistensi antimikroba ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Bahkan, pencegahan dan pengendalian resistensi antimikroba juga menjadi salah satu bidang teknis yang menjadi perhatian dalam Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2019 tentang Peningkatan Kemampuan Dalam Mencegah, Mendeteksi, dan Merespons Wabah Penyakit, Pandemi Global, dan Kedaruratan Nuklir, Biologi, dan Kimia.
”Tantangannya saat ini adalah terkait penerapan kebijakan dan peraturan. Penerapan kolaborasi multisektor dengan pendekatan One Health masih belum berjalan dengan baik,” katanya.
Anis menambahkan, situasi pandemi saat ini juga menjadi tantangan tersendiri dalam upaya penanganan resistensi antimikroba. Penggunaan antibiotik kini semakin meningkat dengan kepatuhan pemeriksaan mikrobiologi yang menurun.
Sementara itu, rumah sakit yang menyediakan laboratorium mikrobiologi dengan kualitas baik juga masih terbatas. Laboratorium mikrobiologi diperlukan untuk mendukung diagnosis penyakit infeksi dan menentukan jenis antibiotik yang diperlukan pada kasus infeksi.
”Edukasi kepada masyarakat tentang pencegahan penyebaran penyakit infeksi melalui higiene, sanitasi, dan vaksinasi juga perlu ditingkatkan. Selain mengendalikan penggunaan antibiotik, upaya pencegahan infeksi juga penting. Jika tidak terinfeksi penyakit, antibiotik tidak perlu digunakan,” tutur Anis.