Sepinya Sosialisasi Bakteri Kebal
Saking tidak populernya penanganan kekebalan antibiotik, narasumber ”Kompas” bertanya, mengapa mengangkat isu ini?
Pertemuan itu bertajuk ”Meet Up with Sahabat AMR”, berlangsung pada Kamis (8/2/2024) sore di Toko Jamu Larasati, Surakarta, Jawa Tengah. Kami pacu kendaraan dari Jakarta-Solo sehari sebelum acara dengan harapan bisa bertemu para profesional yang peduli isu resistensi antimikroba (antimicrobial resistance atau AMR) di wilayah itu.
Tepat sebelum pukul 16.00, kami tiba di lokasi. Dari seberang jalan, tampak seorang perempuan dengan senyum merekah menyambut. Namanya Sandra. Ia pemilik Toko Jamu Larasati, tempat ”Meet Up with Sahabat AMR” berlangsung. AMR merujuk pada kondisi ketika bakteri telah kebal terhadap obat antimikroba, seperti antibiotik, yang seharusnya bisa bekerja mengatasi infeksi bakteri.
Sekitar 30 menit kemudian baru muncul si penyelenggara acara, Fitria N Hidayah dari Perkumpulan Aksi Pengendalian Resistensi Antimikroba atau Papra Indonesia. Fitria bekerja sebagai apoteker di salah satu rumah sakit pemerintah di Jakarta. Sore itu, ia datang bersama Januari yang bertugas sebagai narahubung acara tersebut.
Sambil menikmati jamu racikan Sandra, kami bertanya ke Fitria tentang kemungkinan peserta lain yang bisa hadir. Ternyata saat itu yang bisa dibilang peserta murni hanya Kompas. Fitria dan Januari berstatus penyelenggara, sedangkan Sandra pemilik lokasi pertemuan.
Paling tidak, harapan kami ketika itu, ada apoteker di Solo yang bisa ikut nimbrung mengingat Fitria dikenal banyak apoteker di berbagai wilayah. Ternyata, sejumlah apoteker yang dikenal Fitria di Solo ada kegiatan lain.
Baca juga: Mempertanyakan Kebiasaan Dokter Meresepkan Antibiotik
Sebelum kami berangkat ke Solo, Fitria menyebutkan bahwa yang menjadi peserta ”Meet Up with Sahabat AMR” adalah para sahabat AMR. Namun, yang tidak disangka adalah, sahabat AMR itu ternyata kami sendiri. Tidak ada yang lain.
AMR terjadi ketika bakteri, virus, jamur, serta parasit sebagai penyebab penyakit infeksi tidak lagi merespons atau kebal terhadap obat-obatan antimikroba. Yang dimaksud obat-obatan di sini adalah antibiotik, antivirus, antijamur, dan antiparasit. Dalam isu AMR di dunia saat ini, kekebalan bakteri terhadap antibiotik yang menjadi sorotan utamanya.
Isu tak populer
Di Indonesia, isu AMR belum begitu populer atau belum dipandang sebagai sesuatu yang gawat. Sepinya pertemuan Sahabat AMR di Solo hanya salah satu contoh ilustrasi saja. Contoh lainnya adalah agenda pelatihan resmi tentang AMR yang pernah digelar dokter spesialis mikrobiologi klinik, Ridha Wahyutomo, pada 2021.
Baca juga: Banyak Dokter Masih Serampangan Meresepkan Antibiotik
Ketika itu, Ridha yang menjadi Ketua Perkumpulan Pengendalian Infeksi Indonesia (Perdalin) Cabang Kotapraja, Jawa Tengah, menggelar Antimicrobial Awareness Week. Pelatihan gratis itu dilakukan secara daring selama satu minggu dengan mengundang semua direktur rumah sakit se-Jawa Tengah.
Mengejutkan, yang hadir hanya dua direktur rumah sakit, yaitu RS Telogorejo (Semarang) dan RS Mardi Rahayu Kudus.
Sebagai catatan, RS Telogorejo dan RS Mardi Rahayu Kudus adalah tempat praktik dr Ridha. Mungkin para direktur di dua rumah sakit ini sudah terpapar pengetahuan tentang AMR sehingga berkenan hadir. Atau bisa juga para direktur sedang menjaga sopan santun karena pelatihan AMR itu diadakan oleh dokter yang praktik di rumah sakit mereka.
Minimnya popularitas AMR ini, seorang dokter yang berupaya mengedukasi kalangan awam soal kehati-hatian dalam mengonsumsi antibiotik di media sosial sampai harus ”nebeng” atau menunggangi isu kesehatan lainnya yang lebih populer. Hal itu, misalnya, dilakukan oleh dr Arifianto Sp.A(K) atau dr Apin.
Apin mengatakan, dalam membuat konten edukasi kesehatan, ia kerap menyusupkan pentingnya kesadaran penggunaan antibiotik yang rasional dalam tema-tema yang lebih populer dan digandrungi awam atau warganet.
”Jadi, antibiotik itu tidak pernah jadi tema yang menarik kalau saya bilang. Enggak ngejual. Tema yang cukup menjual itu, misalnya, perkembangan anak, kemampuan berbahasa, keterlambatan perkembangan. Atau, sekarang misalnya yang lagi tren itu masalah gizi, ya, stunting, karena itu juga program prioritas Kementerian (Kesehatan),” tuturnya.
Dengan menyadari hal itu, dr Apin mengambil isu-isu kesehatan anak yang lebih populer, kemudian menyusupkan edukasi soal antibiotik. Jadi, tipsnya adalah, ya, tadi, mungkin nyambungnya masuk tadi, tema lagi yang ngetren. ”Misalkan stunting, kita sambung-sambungin saja. Misalkan dari stunting, ujung-ujungnya antibiotik,” kata dr Apin.
Baca juga: Bakteri Kebal Perenggut Nyawa Kita
Saking tidak populernya isu ini, hampir semua narasumber, baik dari pemerintah maupun swasta, kaget saat mengetahui Kompas mengulas AMR. Kalimat ”mengapa tiba-tiba bahas AMR” sering kali terlontar, salah satunya dari Ketua Tim Kerja Mutu Pelayanan Kesehatan Fasyankes Lainnya Kementerian Kesehatan dr AW Praptiwi.
Padahal, sejak 25 tahun terakhir ini saja, misalnya, berdasarkan data di arsip, Kompas sudah menulis soal isu penggunaan antibiotik dan risiko resistensinya dalam 108 artikel. Artinya, setiap tahun setidaknya empat artikel diterbitkan terkait isu tersebut. Jumlah 108 artikel tersebut baru di arsip Kompas cetak saja, belum termasuk artikel yang hanya tayang di portal Kompas.id yang ada sejak 2017.
Soal pentingnya kebijakan pemerintah terkait penggunaan antibiotik untuk mencegah resistensi, Kompas juga sudah pernah menulis artikel terkait hal itu misalnya yang termuat pada Selasa, 30 Juli 1996, dengan judul ”Mutlak Diperlukan, Kebijakan Pemakaian Antibiotika”.
Begitu pula soal bahaya penggunaan antibiotik berlebihan, Kompas sudah menulis hal itu sejak lama, misalnya dalam artikel ”Awas Antibiotik Berlebih” yang dimuat pada Minggu, 28 September 1997. Belum terlalu lama, isu soal AMR juga diulas Kompas dalam Tajuk Rencana pada Rabu, 22 November 2023, berjudul ”Pandemi Senyap Resistensi Antimikroba”.
Baca juga: Pandemi Senyap Resistensi Antimikroba
Padahal, AMR di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan. Tahun lalu, prevalensi mikroba yang resisten terhadap antimikroba di rumah sakit di Indonesia mencapai 67 persen. Sebagai perbandingan, prevalensi resistensi antimikroba di rumah sakit di Singapura hanya 24-26 persen (Kompas, 21/11/2023).
Data tersebut bermakna jumlah bakteri kebal di Indonesia sangat banyak. Saat mereka masuk ke dalam tubuh dan membuat kita sakit, proses penyembuhan akan lebih sulit dan berpotensi gagal terobati. Hal itu karena makhluk renik tersebut sudah tak mempan diobati dengan antibiotik yang seharusnya bisa menaklukkannya. Jika tak kunjung mendapat antibiotik yang bisa membunuhnya, sakit kita bisa makin parah dan tak menutup kemungkinan pengobatan menjadi gagal dan berujung kematian.
Baca juga: Sakit Sedikit, Jangan Lari ke Antibiotik
Salah satu penyebab pertumbuhan bakteri kebal/resisten adalah konsumsi antibiotik secara serampangan, ugal-ugalan. Kita sebagai awam bisa ikut mengontrol penggunaan antibiotik. Caranya, jangan konsumsi antibiotik tanpa resep dokter. Saat diresepkan antibiotik oleh dokter sekalipun, kita juga harus bisa bertanya kritis lebih lanjut kepada dokter apakah antibiotik betul-betul diperlukan. Itulah upaya yang bisa kita lakukan untuk menekan fenomena AMR.
Ingat, dalam hal ini yang dipertaruhkan tak hanya diri sendiri, tetapi juga anak keturunan kita, generasi mendatang. Jangan sampai mereka kelak terpaksa menghadapi era gelap dunia pengobatan seperti sebelum abad ke-20. Era ketika sudah tak ada lagi obat antibiotik yang bisa berfungsi saat benar-benar dibutuhkan akibat kekuatan bakteri kebal yang kian digdaya.
Baca juga: