Mereka Menantikan Wakil Rakyat yang Berpihak kepada Rakyat...
(Tulisan 16 dari 16) Warga yang terkena dampak dari tambang batubara ilegal di Kaltim jengah dengan janji para caleg.
Oleh
HARRY SUSILO, JOHANES GALUH BIMANTARA, FAJAR RAMADHAN, STEFANUS ATO
·4 menit baca
Legimin (53) tersenyum getir melihat kondisi air bendungan di seberang rumahnya di Desa Sumber Sari, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Selain dangkal, air di Bendungan Panoragan tersebut juga keruh. Alih-alih membantu pertanian warga, air tersebut justru membuat hasil panen rusak.
”Saya sudah lima bulan terakhir tidak menanam sayuran karena pas musim kemarau airnya kering kalau musim hujan airnya keruh,” ujar Legimin, Ketua RT 009 Desa Sumber Sari, Kecamatan Loa Kulu, saat ditemui pada akhir Desember 2023 lalu.
Hampir sebagian besar warga Sumber Sari merupakan petani sayuran dan padi yang mengandalkan sumber air dari Bendungan Panoragan. Selain dimanfaatkan warga Sumber Sari, Bendungan Panoragan itu merupakan sumber air bagi pertanian warga di tiga desa lain di Kecamatan Loa Kulu, yakni Desa Panoragan, Jahap, dan Bukit Biru.
Tambang ilegal
Menurut Legimin, kondisi air di Bendungan Panoragan menjadi kering saat musim kemarau dan keruh saat musim hujan sejak ada aktivitas penambangan batubara ilegal pada tahun 2021. Sejak itu pula, hasil panen sayuran di Sumber Sari tidak lagi sama.
Legimin mengungkapkan, sebelum ada aktivitas tambang ilegal, bendungan hanya kering paling lama sebulan saat musim kemarau. Namun, sudah dua tahun terakhir, setiap musim kemarau, kondisi bendungan mengering hingga 3-4 bulan.
Situasi ini diperparah ketika volume air di bendungan mulai melimpah saat musim hujan, tetapi kondisinya keruh yang diduga terkontaminasi aktivitas tambang. ”Pas musim hujan, bukannya panen malah sayuran pada rusak,” ucap Legimin.
Kamsi (47), petani sayuran lain di Desa Sumber Sari, mengeluhkan hal serupa. Sejak ada aktivitas tambang batubara ilegal yang berpengaruh pada kondisi air bendungan, dia hanya bisa menanam bayam. Padahal, sebelumnya, dia juga menanam kangkung dan sawi. ”Kalau kangkung sekarang tidak bisa hidup karena air susah,” kata Kamsi.
Pada musim kemarau 2023 silam, Kamsi terpaksa beralih profesi bekerja serabutan demi bertahan hidup karena tidak dapat menanam sayuran. Sebelum ada tambang, Kamsi bisa menjual kangkung hasil panen Rp 1.000 per ikat dan sawi Rp 3.000 per ikat. Ketika panen, dia bisa menjual 100-200 ikat per hari.
Terkait keberadaan tambang tersebut, Legimin menyebutkan, warga Sumber Sari sudah mendatangi lokasi tambang batubara tersebut untuk menolak dan menghentikan aktivitas pertambangan pada Oktober 2021 silam. Pada Desember 2022, kepolisian juga menangkap pemodal tambang tersebut. Namun, tak lama tambang ilegal tersebut kembali beroperasi.
Selain mendatangi lokasi tambang, warga Sumber Sari juga mengadukan hal ini dengan mendatangi gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kutai Kartanegara. Warga khawatir mendatangi kembali lokasi tambang karena kerap diintimidasi preman. Hingga kini tambang ilegal tersebut masih beroperasi.
Karena merasa pengaduan mereka tidak ada hasilnya, warga Sumber Sari sudah jengah dengan janji-janji manis calon anggota legislatif ketika masa kampanye Pemilu 2024 ini. Mereka menanti wakil rakyat yang mau berpihak terhadap rakyat. Wakil rakyat yang mau ikut berjuang untuk menghentikan aktivitas tambang ilegal yang sudah merusak penghidupan warga sebagai petani. ”Kami sudah kapok dengan (caleg) yang hanya janji-janji belaka,” tutur Legimin.
Jalan rusak
Di Desa Loa Duri Ilir, Kecamatan Loa Janan, Kutai Kartanegara, dampak aktivitas tambang batubara juga dirasakan warga akibat hilir mudik truk bermuatan batubara di jalan penghubung utama Kutai Kartanegara-Samarinda tersebut. ”Jalannya banyak lubang, kalau musim hujan begini campur lumpur pula,” kata Reza (26), warga Loa Duri Ilir.
Tambang batubara di Kaltim itu lebih banyak mudaratnya dibandingkan manfaatnya. Biaya susut ekologi yang ditimbulkan tambang lebih besar dibandingkan hasilnya.
Reza menilai, masa pemilu seperti ini seharusnya dimanfaatkan para caleg untuk menyerap aspirasi masyarakat Kutai Kartanegara atau Kaltim terkait dampak buruk dari tambang batubara, termasuk hilir mudik truk batubara yang mengganggu. Namun, dia melihat caleg hanya bisa kampanye melalui baliho. ”(Caleg) banyak balihonya saja, tetapi tidak ada kontribusinya,” ucap Reza berkeluh kesah.
Peneliti Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim Pradarma Rupang menilai, hasil ekonomi yang dihasilkan dari tambang batubara di sejumlah daerah di Kaltim tidak sebanding dengan kerusakan ekologi yang ditimbulkan, belum lagi dampak buruk lain, seperti kesehatan dan jalan rusak.
”Tambang batubara di Kaltim itu lebih banyak mudaratnya dibandingkan manfaatnya. Biaya susut ekologi yang ditimbulkan tambang lebih besar dibandingkan hasilnya,” ujar Rupang.
Apalagi, kata Rupang, aktivitas pertambangan batubara di Kaltim tidak hanya dari yang berizin, tetapi yang ilegal juga dibiarkan beroperasi. Pemerintah ataupun aparat penegak hukum seolah tutup mata dengan maraknya aktivitas tambang batubara ilegal tersebut.
Terkait dengan momen pemilu, menurut Rupang, warga yang terdampak batubara seharusnya tidak hanya menjadi komoditas politik. Selama ini, pendekatan yang dilakukan para caleg ke pemilih hanya bersifat transaksional tanpa disertai perubahan kualitas hidup warga.
Padahal, Paul D Wellstone, politisi dan anggota senat Amerika Serikat yang meninggal tahun 2002 silam, pernah menyampaikan, ”Politik sejatinya bukan soal memiliki uang banyak dan permainan kekuasaan, tapi tentang memperbaiki kehidupan masyarakat luas.”
Namun, sayangnya apa yang disampaikan Paul rasanya masih jauh panggang dari api dengan situasi pemilu di Indonesia. Siapa pun yang menjadi calegnya, warga tetap harus berjuang mati-matian untuk mengubah nasib mereka sendiri.