Mengenal Geng El Nino, La Nina, dan IOD yang Bikin Geger Beras
Anomali iklim akan terus berdampak pada produksi beras nasional. Produksi beras diproyeksikan dapat menurun menjadi 29,23 juta ton pada 2030 dan 25,39 juta ton pada 2045.
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J, MELATI MEWANGI, MARGARETHA PUTERI ROSALINA
·5 menit baca
Apitan duet Samudra Pasifik dan Samudra Hindia membuat Indonesia tak lepas dari geng anomali iklim. Beragam anomali itu terbentuk dari interaksi antara lautan dan atmosfer di samudra lepas. Imbasnya, curah hujan di Tanah Air dapat bertambah atau berkurang secara ekstrem sehingga memengaruhi pola tanam padi.
Pada Agustus 2023, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengumumkan, fenomena El Nino diprediksi akan berkembang sepanjang semester II-2023. Tak hanya El Nino, BMKG juga memprediksi fenomena Dipol Samudra India (Indian Ocean Dipole/IOD) positif akan bertahan hingga akhir 2023.
Namun, masyarakat lebih familiar dengan istilah El Nino daripada IOD positif. Berdasarkan data tingkat pencarian yang dihimpun Google Trends, ketertarikan terhadap istilah ”El Nino” pada pertengahan Agustus 2023 bernilai 21 poin, sedangkan skor ”IOD positif” nol. Pada pertengahan November 2023, nilai ketertarikan pencarian terhadap istilah ”El Nino” memuncak menjadi 100 poin, sedangkan ”IOD positif” tetap nol.
Anomali iklim
El Nino dan IOD positif terjadi di samudra yang berbeda. El Nino ”berpasangan” dengan La Nina dan berlangsung di Samudra Pasifik. Saat netral atau tidak terjadi anomali iklim, dosen Program Studi Meteorologi Institut Teknologi Bandung, Nurjanna Joko Trilaksono, mengatakan, temperatur bagian laut di sebelah barat Papua Niugini cenderung hangat. Oleh karena itu, bagian itu disebut ”kolam hangat”.
Kolam hangat itu dapat berada di posisinya karena ditahan oleh angin sirkulasi Walker yang bertiup dari barat ke timur dan angin pasat yang berembus dari timur ke barat. ”El Nino dapat terjadi ketika angin pasat melemah sehingga kolam hangat bergeser ke arah timur (menuju benua Amerika bagian selatan). Pergerakan ini berdampak pada berkurangnya curah hujan di sejumlah wilayah Indonesia,” kata Nurjanna.
Sebaliknya, La Nina dapat terjadi lantaran kolam hangat tersebut kian menghangat. Dampaknya, aktivitas pertumbuhan awan semakin menguat dan meningkatkan curah hujan di sejumlah wilayah Indonesia.
Perkembangan El Nino dan La Nina mendapatkan perhatian dari negara-negara di benua Amerika. Misalnya, International Research Institute for Climate and Society, Columbia Climate School, memiliki menu khusus mengenai perkiraan El Nino dan La Nina dalam laman resminya.
Di sisi lain, IOD positif ”bergandengan” dengan IOD negatif di Samudra Hindia. Nurjanna mengatakan, pada saat netral, terdapat zona konvektif aktif atau area pertumbuhan awan di sebelah barat Pulau Sumatera. Pergeseran zona konvektif itu ke arah barat atau mendekati Pulau Afrika menyebabkan terjadinya IOD posiitif.
Anomali IOD positif menyebabkan berkurangnya curah hujan di sejumlah wilayah di Indonesia. Jika aktivitas di zona konvektif itu menguat di sebelah barat Pulau Sumatera, IOD negatif pun terjadi. Dampaknya, curah hujan di sejumlah wilayah Indonesia meningkat.
Sementara itu, tak hanya Indonesia, Bureau of Meteorology (BOM) Australia juga memperhatikan perkembangan IOD positif dan El Nino. Perhatian itu tampak dari laman resmi BOM yang memuat pemutakhiran informasi mengenai El Nino yang terjadi di Samudra Pasifik dan IOD positif yang terjadi di Samudra Hindia.
Per 21 November 2023, BOM Australia memprediksi, anomali El Nino akan menjadi netral pada April 2024. Adapun anomali IOD positif diprediksi akan menjadi netral pada Februari 2024. Anomali IOD positif akan mereda ketika angin muson berembus ke belahan bumi selatan.
Secara umum, Nurjanna mengatakan, El Nino, La Nina, serta IOD positif dan negatif dapat disebut sebagai anomali iklim. Contohnya, terjadinya El Nino dan IOD positif secara berbarengan saat ini membuat curah hujan pada September-November 2023 berkurang drastis. ”Padahal, biasanya curah hujan mulai meningkat pada bulan-bulan tersebut,” ujarnya.
Pada Oktober 2023, Badan Pusat Statistik (BPS) memublikasikan produksi beras sepanjang tahun ini diperkirakan sebanyak 30,89 juta ton. Angka itu lebih rendah 2,05 persen dibandingkan dengan produksi pada 2022. Kekeringan akibat rendahnya curah hujan di provinsi produsen ”menggegerkan” produksi beras nasional. Berkurangnya curah hujan itu berkaitan dengan El Nino dan IOD positif yang terjadi berbarengan.
Secara historis, data BPS sepanjang 1993-2023 menunjukkan penurunan produksi beras ketika terjadi anomali iklim. Misalnya, saat IOD positif terjadi pada 1994, produksi beras menurun 960.512 ton dibandingkan tahun sebelumnya. Ketika La Nina berlangsung pada 2021, produksi beras merosot 140.730 ton dibandingkan tahun sebelumnya.
Tim Jurnalisme Data Harian Kompas memproyeksikan, produksi beras dapat menyusut menjadi 29,23 juta ton pada 2030 dan 25,39 juta ton pada 2045 akibat anomali iklim dan alih fungsi lahan. Proyeksi itu diperoleh dari pemodelan luas lahan sawah terhadap produksi padi berdasarkan data BPS sepanjang 2003-2023. Angka yang didapatkan dari pemodelan diolah dalam sejumlah skenario anomali iklim, seperti El Nino, La Nina, serta IOD positif dan negatif.
Karena penyusutan produksi itu, petani pun berpotensi kehilangan pendapatan. Akibat penurunan sebanyak 2,8 juta ton gabah pada 2030, petani terancam kehilangan potensi memperoleh Rp 14 triliun.
Pada 2045, petani berisiko kehilangan Rp 36,13 juta ton dari merosotnya produksi gabah sebanyak 7,22 juta ton. Kompas mendapatkan nilai kehilangan itu dengan mengalikan selisih produksi dengan harga pembelian pemerintah gabah kering panen sebesar Rp 5.000 per kilogram berdasarkan Peraturan Badan Pangan Nasional Nomor 6 Tahun 2023 tentang Harga Pembelian Pemerintah dan Rafaksi Harga Gabah dan Beras.
Banjir yang merendam sawah dan kekeringan dapat berujung pada gagal panen. Ketua Umum Perkumpulan Insan Tani dan Nelayan Indonesia Guntur Subagja menggarisbawahi, petani yang merugi saat kekeringan biasanya menggarap sawah yang jauh dari sumber air.
Sebagai langkah adaptasi dan mitigasi penurunan produksi beras akibat anomali iklim, dosen Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada, Bayu Dwi Apri Nugroho, mengimbau adanya sensor cuaca yang dipasang di desa sehingga petani dapat membuat keputusan menanam berdasarkan informasi mengenai prediksi cuaca dan iklim yang diperoleh. Anggaran pengadaannya dapat berasal dari dana desa.
Selain itu, petani membutuhkan bibit atau benih padi yang cocok dengan kondisi cuaca dan iklim tempat dia menanam. Dia mencontohkan, petani yang menggarap sawah tadah hujan dapat menanam benih yang tahan kering dan tidak membutuhkan air.
Geng anomali iklim seharusnya tak perlu membuat perberasan nasional geger apabila terdapat aksi adaptasi maupun mitigasi. Tanpa upaya pencegahan dampak kekeringan maupun banjir yang menyebabkan gagal panen, petani akan selalu terpukul kerugian terbesar dari anomali iklim.