Anomali Iklim Menyedot Dana Negara
Perlindungan warga miskin dan rentan miskin akibat anomali iklim membutuhkan dana besar karena intensitasnya meningkat.
JAKARTA, KOMPAS — Garis kemiskinan berpotensi terus naik seiring dengan terjadinya anomali iklim yang makin ekstrem. Kondisi ini menuntut tersedianya anggaran perlindungan sosial yang adaptif untuk menekan angka kemiskinan akibat perubahan iklim.
Anomali iklim yang dimaksud berupa El Nino, La Nina, dan Dipol Samudra Hindia (Indian Ocean Dipole/IOD).
Proyeksi Tim Jurnalisme Data Kompas, iklim La Nina atau IOD negatif yang berpotensi meningkatkan curah hujan membuat kebutuhan warga miskin lebih tinggi dibandingkan saat terjadi iklim El Nino ataupun IOD positif yang mengurangi curah hujan.
Baca juga: Iklim Ekstrem Bebani Warga Miskin Lima Kali Lipat
Pada 2030, jika terjadi La Nina, garis kemiskinan menjadi Rp 742.222 per orang per bulan atau naik 39 persen dibandingkan dengan garis kemiskinan nasional 2022 dari olahan data Badan Pusat Statistik (BPS) senilai Rp 535.547 per kapita per bulan. Garis kemiskinan yang dimaksud adalah pengeluaran minimum seseorang untuk memenuhi kebutuhan pokok per bulan. Anggaran perlindungan sosial (perlinsos) diperkirakan naik hampir dua kali lipat dari tahun 2022 menjadi Rp 485,79 triliun.
Jika pada 2030 terjadi La Nina dan IOD negatif secara bersamaan, garis kemiskinan juga berpotensi naik 32 persen dari tahun 2022 menjadi Rp 711.059 per kapita per bulan.
Peningkatan pengeluaran ini membuat alokasi anggaran perlinsos juga akan naik menjadi Rp 457,4 triliun. Anggaran perlinsos diproyeksikan dari data historis Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2005-2022. Proyeksi tersebut merupakan hasil analisis menggunakan metode regresi linier. Adapun data yang dipakai merujuk pada anggaran perlinsos dan garis kemiskinan nasional selama 2005-2022.
Jika terjadi El Nino pada 2030, garis kemiskinan meningkat 27 persen menjadi Rp 682.938 per kapita per bulan. Anggaran yang dibutuhkan sekitar Rp 431,8 triliun. Angka ini tidak setinggi jika terjadi La Nina pada tahun yang sama.
Jika terjadi IOD positif, garis kemiskinan akan menjadi Rp 704.125 atau naik 31 persen dari 2022. Anggaran perlinsos yang dibutuhkan sekitar Rp 451 triliun. Jumlah ini lebih rendah dibandingkan dengan saat La Nina.
Iklim La Nina atau IOD negatif berpotensi meningkatkan risiko banjir dan tanah longsor. Bencana ini menyebabkan masyarakat miskin yang rentan akan semakin rentan dengan terjadinya bencana.
Laporan Bank Dunia bertajuk ”Poverty and Shared Prosperity 2020” menyebutkan, secara global, diperkirakan 1,47 miliar orang tinggal di daerah dengan rawan banjir tinggi. Sekitar separuhnya termasuk golongan miskin.
Wilayah terdampak
Di Indonesia, banjir mengakibatkan semakin parahnya kemiskinan di wilayah terdampak. Penelitian ”Analisis Kemiskinan di Wilayah Bencana Banjir Rob Desa Timbulsloko, Sayung, Demak (2016)” menunjukkan, seperempat rumah tangga di Desa Timbulsloko tergolong miskin karena kehilangan tambak, perubahan pekerjaan, dan turunnya penghasilan kepala rumah tangga akibat banjir rob.
Kompas memproyeksikan garis kemiskinan dari data pengeluaran beras masyarakat miskin desa dan kota. Pengeluaran beras digunakan menjadi variabel proyeksi karena memberikan sumbangan tertinggi pada garis kemiskinan.
Tanpa skenario anomali iklim, alokasi anggaran perlinsos dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) APBN 2005-2022 cenderung meningkat setiap tahun.
Peningkatan tajam anggaran terjadi pada 2012-2013. Dari Rp 5,08 triliun pada 2012 menjadi Rp 119,89 triliun tahun 2013. Alokasi anggaran perlinsos juga naik 55 persen saat pandemi Covid-19 tahun 2020 menjadi Rp 295,5 triliun dari tahun sebelumnya Rp 190 triliun.
Anggaran perlinsos digunakan untuk mengatasi kemiskinan dan kerentanan sosial penduduk dari bencana dan kehilangan pendapatan melalui upaya peningkatan dan perbaikan kapasitas penduduk.
Program perlinsos terdiri dari bantuan sosial dan jaminan sosial. Bantuan sosial merupakan transfer uang, barang, dan jasa dari pemerintah kepada penduduk miskin/rentan miskin tanpa mensyaratkan adanya kontribusi iuran tertentu. Di antaranya, Kartu Indonesia Pintar (KIP), Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Sosial Pangan (BSP), Program Beras untuk Keluarga Sejahtera (Rastra), dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT).
Adapun jaminan sosial merupakan perlindungan dengan skema asuransi yang mensyaratkan adanya besaran iuran tertentu. Contohnya adalah BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan Mandiri.
Seperti Warsinah (57), warga Muara Angke, Jakarta Utara, yang tiap bulan hanya berpenghasilan berkisar Rp 200.000-Rp 300.000, selayaknya dia mendapat bantuan sosial pemerintah, baik berupa BSP, BPNT, maupun rastra.
Namun, ibu dua anak itu tidak pernah sekali pun menerima bantuan pemerintah. ”Saya tidak pernah dapat bantuan pemerintah. Ini cuma mengandalkan bantuan sembako dari masjid sebulan sekali,” katanya. Jika tidak ada bantuan dari masjid, Warsinah akan sulit memenuhi kebutuhan sehari-harinya.
Baca juga: Yang Terlupakan dan Terpukul karena Anomali Iklim
Peningkatan anggaran perlinsos dianggap wajar sejalan dengan kenaikan jumlah penduduk dan APBN. ”Anggaran sosial akan naik terus selama komposisi piramida penduduk Indonesia besar di bawah (usia bayi),” ucap pendiri Nalar Institute, Yanuar Nugroho.
Program Perlinsos Adaptif, kata Yanuar, bisa menjadikan program ini lebih efektif dan tepat sasaran. ”Jadi, bukan kalau sisa disimpan, kalau kurang ditambahkan,” ujar Yanuar.
Hitungan Kompas, selama 2013-2022, porsi anggaran perlinsos dari total belanja pemerintah pusat tidak pernah lebih dari 20 persen, berkisar pada angka 10 hingga 16 persen. Porsi tertinggi 16 persen terjadi saat awal pandemi Covid-19 tahun 2020.
Anggaran sosial akan naik terus selama komposisi piramida penduduk Indonesia besar di bawah (usia bayi).
Merujuk pada data Bappenas, Perlinsos Adaptif adalah perlindungan sosial masyarakat yang melindungi warga dari kerentanan dan guncangan akibat bencana alam dan perubahan iklim. Perlinsos berfungsi optimal saat normal dan secara adaptif berfungsi penuh saat darurat.
Evaluasi program
Dalam menghitung proyeksi anggaran perlindungan sosial adaptif juga diperlukan buffer (bantalan). ”Buffer ini diperlukan saat menghitung proyeksi jumlah penduduk miskin sehingga saat bencana terjadi, jumlah orang miskin bertambah, anggaran perlindungan sosial sudah siap untuk mengatasi kemiskinan,” ungkapnya.
Selain anggaran yang besar, diperlukan evaluasi pada anggaran perlinsos supaya berdampak optimal dalam pengentasan warga dari kemiskinan. ”Dengan mengidentifikasi kerentanan di masyarakat, dalam analisis Bappenas, jumlah penduduk miskin akan berkurang sehingga nilai bantuan juga berkurang,” ucap Maliki, Direktur Penanggulangan Kemiskinan dan Pemberdayaan Masyarakat Bappenas.
Yanuar juga menekankan adanya evaluasi tata kelola program perlinsos. ”Di hulu adalah pembangunan manusia melalui kesehatan, pendidikan, dan perlindungan sosial. Di hilir, kinerja industrialisasi, komersialisasi, dan daya kompetitif. Di tengah adalah sumber daya dan tata kelola. Logikanya, saat duit banyak dikucurkan di hulu, hilirnya akan naik. Tapi, ini di hilir semua amburadul,” tuturnya.
Menurut dia, tata kelola yang perlu diperbaiki adalah database penerima, jumlah uang bantuan, serta bagaimana uang bantuan disalurkan ke masyarakat.