Yang Terlupakan dan Terpukul karena Anomali Iklim
Anomali iklim tak bisa dihindari lagi. Di dalamnya, ada kelompok masyarakat yang terdampak, sehingga harus menanggung beban kebutuhan lebih berat.
Anomali iklim berimbas pada beban kebutuhan warga yang makin berat. Biaya untuk membeli bahan pangan dan nonpangan membengkak. Mereka yang tak berdaya akan semakin rentan menjadi miskin, sementara mereka yang sudah miskin menjadi semakin miskin.
Keluhan Kartika (29) dan Damayanti Sahe (47) bersahutan di antara dinding-dinding permukiman padat yang diselang gang-gang sempit Kelurahan Kalibaru, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, Rabu (8/11/2023). Siang itu, mereka mengenakan pakaian santai dan sandal jepit beradu nasib tentang biaya hidup keluarga masing-masing.
Topik obrolan mereka tak kalah panas dengan terik matahari siang itu, yakni kenaikan harga beras, biaya air, dan listrik. ”Harga beras sekarang Rp 11.000-Rp 12.000 per liter. Padahal, tahun lalu, harganya sekitar Rp 7.000 per liter. Harga barang naik semua,” ucapnya.
Pengeluaran beras warga miskin, dari hitungan Tim Jurnalisme Data Harian Kompas, bakal makin naik seiring dengan kondisi anomali iklim yang makin ekstrem. Pada 2022, dari data olahan Badan Pusat Statistik (BPS), pengeluaran warga miskin desa/kota untuk membeli beras antara Rp 104.836 dan Rp 117.824 per kapita per bulan.
Anomali iklim diprediksi makin sering terjadi seiring dengan perubahan iklim. Kekeringan ekstrem atau hujan ekstrem bakal terus terjadi di tahun-tahun mendatang. Dari perhitungan Kompas, dampak anomali iklim langsung terasa pada pengeluaran warga miskin untuk pangan, air bersih, dan listrik.
Baca juga : Anomali Iklim Menyedot Dana Negara
Lebih mahal
Kenaikan harga beras akibat anomali iklim bukan satu-satunya beban pengeluaran warga miskin. Mereka masih dihadapkan pada kebutuhan air bersih. Anomali iklim membuat pengeluaran warga miskin untuk air bersih bertambah. Saat kekeringan ekstrem, penjual air bersih kerap menaikkan harga seenaknya.
Dari hasil proyeksi Kompas, terjadinya perubahan pola anomali iklim berpotensi meningkatkan pengeluaran air dan listrik.
Pengeluaran warga miskin untuk membeli air, dari olahan data BPS tahun 2022, Rp 433-Rp 935 per orang per bulan. Kompas memproyeksikan, pada 2045 warga miskin harus mengeluarkan uang lebih mahal untuk mengakses air bersih, yakni Rp 5.657-Rp 10.542 per kapita per bulan.
Warga miskin, seperti Damayanti, harus merogoh saku lebih dalam karena wilayahnya tidak mendapatkan akses jaringan air bersih. ”Enggak tenang saya kalau tidak punya akses air bersih. Kalau butuh tengah malam, mau cari ke mana?” ujar Damayanti yang telah membeli air selama 30 tahun terakhir.
Seperti Damayanti, Kartika juga tidak mendapatkan akses ke air bersih. Dia memerinci, saat ini, pengeluarannya untuk membeli air menyentuh angka Rp 500.000-Rp 600.000 per bulan, sedangkan tahun lalu Rp 300.000 per bulan.
”Enggak tenang saya kalau tidak punya akses air bersih. Kalau butuh tengah malam, mau cari ke mana?” ujar Damayanti yang telah membeli air selama 30 tahun terakhir.
Di rumahnya terdapat dua bak drum untuk menampung air bersih yang dia beli setiap dua hari sekali. Tinggal bersama ibu, adik, dan anaknya membuat dia dan keluarga mesti mengirit air. Uang Kartika habis untuk membayar kebutuhan air, pangan, dan listrik. ”Tagihan listrik sekarang sekitar Rp 500.000 per bulan. Pengeluaran naik tetapi pendapatan segitu-gitu saja. Makanya, saya pusing,” ucap Kartika sambil menggelengkan kepala.
Pukulan dari harga beras di tengah situasi kesulitan air bersih menjadi salah satu potret Rukun Warga (RW) 007, Kalibaru. Caharudin, Ketua RW itu, memperkirakan, pendapatan warganya Rp 1,5 juta-Rp 3 juta per bulan. Jumlah tersebut untuk menanggung kebutuhan 3-8 orang anggota per keluarga.
Caharudin berupaya agar PAM Jaya mengalirkan air bersih ke wilayahnya. Dia berharap ada program bantuan dan subsidi pemasangan pipa air bersih ke rumah-rumah warga.
”Kalau mendapatkan air bersih dari (jaringan pipa) PAM Jaya, pengeluaran (untuk iuran) air bisa Rp 130.000-Rp 180.000 per bulan,” tuturnya.
Pengeluaran untuk membeli air bersih dan air galon konsumsi juga dihadapi Popi Heni (46), warga Blok Empang, Muara Angke. Meski ada saluran air dari sumur yang dipasang tetangganya di rumah itu, ia jarang menggunakannya karena rasanya asin.
Ia membeli lima jeriken air (total 100 liter) seharga Rp 6.000 per hari. Total sebulan, ia menghabiskan Rp 180.000 untuk air yang digunakan memasak dan mandi tersebut.
Adapun untuk air konsumsi, ia membeli air galon seharga Rp 22.000 per 19 liter yang dibelinya setiap dua hari sekali. Konsumsi air bersih bertambah seiring cuaca panas beberapa waktu terakhir.
Sementara itu, akibat panasnya udara, pengeluaran listrik turut naik. Soni (40), pengemudi becak motor yang tinggal di Desa Eretan Wetan, Indramayu, Jawa Barat, menyebutkan, saat ini ia mengeluarkan uang sekitar Rp 50.000 per bulan untuk membayar listrik. Padahal, tahun lalu, pengeluaran listriknya Rp 30.000-Rp 40.000 per bulan.
Sebagai pengemudi becak motor, penghasilannya antara Rp 40.000 dan Rp 50.000 per hari. Penghasilan itu untuk menghidupi istri dan seorang putri.
Untuk memenuhi kebutuhan listrik di tahun 2022, berdasarkan data BPS, warga miskin desa mengeluarkan Rp 8.057 per kapita per bulan. Sementara pada 2045, dengan menggunakan pola kenaikan biaya pengeluaran untuk listrik selama anomali iklim terjadi, diperkirakan warga miskin desa akan mengeluarkan uang lebih banyak lagi, yakni Rp 77.882-Rp 83.623 per kapita per bulan.
Lebih mahal di desa
Soal pengeluaran pangan, dampak anomali iklim lebih terasa bagi warga desa. Iklim kering El Nino dan IOD positif yang tahun ini terjadi bersamaan membuat gagal panen dan di beberapa daerah mengalami tunda tanam. Petani merugi dan terpaksa harus membeli beras yang harganya lebih mahal dibandingkan di kota.
Imam (44), petani Desa Ranjeng, Indramayu, mengatakan, harga beras di desanya Rp 12.000-Rp 13.000 per kilogramnya. Beras untuk kebutuhan sehari-harinya saat ini terpaksa harus dia beli. ”Saya jadinya harus beli beras, lhawong panen saya gagal,” kata bapak satu anak ini.
Sementara harga beras di kota lebih murah, yakni Rp 11.000-Rp 12.000 per liter, seperti di sekitar tempat tinggal Kartika dan Damayanti, di Cilincing, Jakarta Utara.
Kenyataan ini sesuai dengan olahan data Kompas yang mengacu data BPS. Warga miskin desa mengeluarkan uang untuk membeli beras lebih banyak dibandingkan dengan warga miskin kota pada 2022, yakni Rp 117.824 per kapita per bulan. Adapun pengeluaran beras warga miskin kota adalah Rp 104.836 per kapita per bulan.
Situasi ini membuat warga bergantung pada bantuan pemerintah. Salah satunya adalah ibu dari Kartika yang sudah rutin menerima bantuan beras dan menjadi peserta Program Keluarga Harapan. ”Mendapatkan beras 10 kg per bulan (beras bantuan) rasanya sudah lumayan,” ujarnya.
Mulai 2024, Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi menyebutkan, penerima bantuan pangan akan menjadi sekitar 22 juta keluarga penerima manfaat (KPM) dengan menggunakan data Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem dari Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.
Baca juga : Anomali Iklim Menyedot Dana Negara
Angka itu lebih tinggi 8 persen dibandingkan 2023 (21,353 juta KPM) menggunakan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial Kementerian Sosial.
”Penerima bantuan pangan belum memperhitungkan kerentanan terhadap (anomali) iklim. Prinsipnya, kami menyalurkan kepada orang yang paling miskin dan paling membutuhkan bantuan. Kalau belum terekam datanya, silakan pejabat RT, RW, hingga kelurahan membantu proses pendaftaran ke dinas sosial setempat,” tutur Arief. Tanpa intervensi pemerintah, warga miskin semakin berat menanggung beban hidup.