Agar bertahan di tengah anomali iklim yang makin ekstrem, petani membutuhkan sokongan pemerintah.
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J, MARGARETHA PUTERI ROSALINA, MELATI MEWANGI
·5 menit baca
Tak sulit bagi Imam (44) untuk menapakkan kaki di atas sawah yang retak dan kering. Langkah kakinya ajeg dan tidak amblas karena tiada setetes air pun di lahan itu. Bermodal kesabaran petani Desa Ranjeng, Losarang, Indramayu, Jawa Barat itu menunggu hujan datang. Dia berencana menanam padi lagi setelah gagal panen Agustus lalu.
Gara-gara serangan hama tikus, bulir-bulir padinya tak bisa dipanen. Modal tanam Rp 20 juta untuk sawah seluas 1 hektar ‘raib’ dalam semalam. “Saya ajukan klaim asuransi tetapi ditolak. Petani lain yang ditolak klaimnya pun kecewa,” ujarnya saat ditemui, Selasa (14/11/2023).
Meskipun gagal panen, dia tak ingin menyerah. Dia langsung menggarap lagi lahannya. Tetapi karena kering, dia tak dapat menanam hingga awal November. Jaringan irigasi sekitar sawahnya sedang diperbaiki. Sungai yang dialiri air yang melintang di bawah Jembatan Cipanas baru tampak sekitar 4 kilometer (km) dari rumah Imam ke arah utara. Sejauh pengamatan Kompas, sawah di sepanjang jalan itu tampak kering.
Akibat gagal panen, Imam tak memiliki simpanan beras. Dia masih merasakan nikmatnya panen raya Maret-April lalu. Hasil panennya mencapai 7 ton gabah dari lahan warisan orangtuanya. Dia pun bisa menyimpan beras sekitar sekuintal untuk kebutuhan sehari-hari. Saat panen raya itu, hasilnya dihargai Rp 5.000 per kilogram (kg) setara gabah.
Karena tak ada simpanan, dia membeli beras Rp 12.000 – Rp 13.000 per kg demi memenuhi kebutuhan istri dan anaknya. Kerugian akibat gagal panen membuatnya bekerja serabutan, kadang menjadi kuli bangunan dengan upah sekitar Rp 100.000 per hari.
Berbeda dengan Imam, Suryana (48), petani di desa yang sama, masih bisa menikmati hasil panen pada Agustus lalu. Dari sawah seluas 1 hektar yang disewanya, dia masih bisa panen 2 ton gabah dan dihargai Rp 7.000 per kg. Modalnya pun sama, yakni sekitar Rp 20 juta.
Perbedaan nasib Imam dan Suryana menggambarkan ada kelompok petani yang kehilangan rupiah akibat gagal panen dan tunda tanam meskipun harga gabah sedang tinggi.
Anomali iklim secara ekstrem dapat memicu intensitas gagal panen maupun tertundanya musim tanam. Ini membuktikan petani rentan terdampak anomali iklim seperti El Nino, La Nina serta IOD positif dan negatif. El Nino dan IOD positif cenderung mengurangi curah hujan, sedangkan La Nina dan IOD negatif menambah curah hujan.
Temuan Tim Jurnalisme Data Harian Kompas menunjukkan, potensi penyusutan produksi gabah saat terjadi IOD positif dan negatif lebih tinggi dibandingkan dengan El Nino ataupun La Nina. Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan, produksi gabah pada 2023 sebesar 53,62 juta ton. Apabila tidak terjadi anomali iklim, Kompas memproyeksikan, angka itu menurun menjadi 52,67 juta ton pada 2030 dan 48,06 juta ton pada 2045.
Apabila terjadi IOD positif, produksi gabah berpotensi menyusut sebanyak 4,77 juta ton pada 2030 dan 9,03 juta ton pada 2045 dibandingkan angka pada 2023. Penyusutan tersebut setara Rp 23,87 triliun pada 2030 dan Rp 45,15 triliun pada 2045.
Jika terjadi IOD negatif, produksi gabah diperkirakan merosot sebanyak 3,13 juta ton pada 2030 dan 7,53 juta ton pada 2045. Selisih itu setara dengan Rp 15,66 triliun pada 2030 dan Rp 37,65 triliun pada 2045 yang sebenarnya bisa dinikmati petani.
Bergantung air
BPS mencatat, harga gabah kering panen di tingkat petani Rp 5.833 per kg pada Agustus, Rp 6.514 per kg per September, dan Rp 6.851 per kg per Oktober 2023. Angka tersebut meroket lebih dari 20 persen dibandingkan bulan yang sama tahun sebelumnya. Sayangnya, berkaca dari perbedaan nasib Imam dan Suryana, tak semua petani menikmati harga tinggi itu.
Secara spesifik, Ketua Umum Insan Tani dan Nelayan Indonesia Guntur Subagja menilai, tingginya harga GKP cenderung dinikmati petani-petani yang sawahnya menggunakan irigasi. "Petani di sekitar irigasi bisa berproduksi terus menerus, tetapi petani di daerah dengan sumber air terbatas, tidak bisa menikmati harga tinggi ini," jelas Guntur.
Pengamatan Kompas, sawah di sekitar sumber air, misalnya Waduk Jatiluhur di Jawa Barat, lebih berdaya tahan ketika anomali terjadi. Pertengahan November 2023, sawah yang tampak dari tol layang Sheikh Mohammed Bin Zayed kilometer 41 atau sekitar Wanasari, Karawang, Jawa Barat, terpantau hijau dan belum berbulir. Sawah itu berjarak sekitar 30 km dari Waduk Jatiluhur.
Sebaliknya, sawah di sisi Jalan Telagasari-Terisi dan Jalan Terisi-Cikedung, Indramayu, Jawa Barat tampak kering dan belum ditanami benih padi. Sebagian dasar sungai yang melintasi jalan tersebut, tepatnya di bawah Jembatan Pasanggrahan terlihat secara kasat mata. Wilayah sawah itu berjarak sekitar 100 km dari Waduk Jatiluhur.
Selain lokasi sumber air irigasi, Dosen Program Studi Meteorologi Institut Teknologi Bandung Nurjanna Joko Trilaksono, kesiapan petani menghadapi anomali iklim juga menentukan hasil panennya.
“Misalnya, petani yang mendapatkan informasi akan terjadi El Nino kuat dan memutuskan untuk tidak menanam, kerugian yang dialami akan kecil. Sebaliknya, jika informasi mengenai El Nino tidak jelas, petani akan ‘gambling’. Apabila dia memilih tetap menanam lalu gagal panen, kerugian akan mengintai,” tuturnya.
Petani sebagai tulang punggung kedaulatan pangan, membutuhkan sokongan agar lebih berdaya tahan menghadapi anomali iklim pada tahun-tahun ke depan. Jangan sampai, kesenjangan nasib di antara petani makin menganga karena kelalaian negara menyediakan infrastruktur air, pupuk, asuransi, hingga harga yang menyejahterakan.