Anomali iklim yang diperkirakan makin ekstrem di Indonesia akan kian membebani warga miskin pada 2045. Pengeluaran untuk untuk kebutuhan bahan pangan, mengakses air bersih, dan mendapatkan listrik akan melonjak
Oleh
MARGARETHA PUTERI ROSALINA, M PASCHALIA JUDITH J, MELATI MEWANGI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS Anomali iklim berimbas pada beratnya beban warga miskin memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Pengeluaran warga miskin desa atau kota rata-rata naik 82 persen pada 2030 hingga 578 persen pada 2045.
Tim Jurnalisme Data Harian Kompas selama sebulan hingga Rabu (29/11/2023) memproyeksikan peningkatan pengeluaran warga untuk membeli pangan, listrik, dan air bersih jika terjadi anomali iklim seperti El Nino, La Nina, serta Dipol Samudra India (Indian Ocean Dipole atau IOD) positif dan negatif hingga 2045. Hasilnya, semua anomali iklim semakin membebani warga miskin.
Tahun ini, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengumumkan iklim El Nino dan IOD positif terjadi bersamaan sehingga curah hujan berkurang di sejumlah wilayah Indonesia. Sebelumnya, tahun 2022, diidentifikasi terjadi La Nina dan IOD negatif sehingga curah hujan bertambah.
Hasil perkiraan Kompas, akibat perubahan iklim basah (2022) ke kering (2023) pengeluaran beras warga miskin kota naik 29 persen menjadi Rp 135.271 per kapita per bulan. Begitu pun warga miskin desa yang harus membelanjakan uang Rp 137.449 per kapita per bulan, naik 16 persen dari tahun 2022.
Selama 22 tahun ke depan, Indonesia akan mengalami anomali iklim yang makin ekstrim, yang akan berdampak pada semakin tingginya pengeluaran beras warga miskin.
Jika tahun 2045 terjadi El Nino dan IOD positif bersamaan, seperti tahun 2023, pengeluaran bulanan beras warga miskin kota akan semakin naik menjadi Rp 174.725 per kapita untuk warga kota dan Rp 177.118 per kapita untuk warga miskin kota. Jika terjadi La Nina, belanja bulanan untuk membeli beras warga miskin desa menjadi Rp 147.844 per kapita. Adapun pengeluaran bulanan warga miskin kota pada 2045 akan menjadi Rp 179.303 per kapita.
Belanja untuk membeli gula juga terdampak anomali iklim. Jika 2045 terjadi IOD positif, pengeluaran gula warga miskin desa menjadi Rp 32.668 per kapita per bulan, naik 60 persen dari 2022. Pengeluaran gula warga miskin kota naik 50 persen menjadi Rp 20.467 per kapita per bulan.
Dengan skenario La Nina di 2045, pengeluaran gula tidak berbeda jauh dengan IOD positif. Warga miskin desa harus mengeluarkan uang Rp 32.612 per kapita per bulan, atau naik 61 persen. Adapun belanja gula bulanan warga miskin kota, naik 51 persen menjadi Rp 20.420 per kapita.
Kompas juga memproyeksikan adanya peningkatan beban biaya warga untuk pengeluaran non pangan seperti air pada 2045. Bagi warga miskin kota, biaya bulanan untuk mengakses air bersih menjadi Rp 6.532 per kapita per bulan. Adapun warga miskin desa, pengeluaran airnya menjadi Rp 9.062 per kapita.
Proyeksi tahun 2045, jika terjadi IOD positif, pengeluaran air bulanan warga miskin kota akan naik menjadi Rp 1.922 per kapita dan warga desa Rp 1.267 per kapita. Kenaikan pengeluaran beras dan air pada tahun ini dialami Kartika (29), warga Kalibaru, Jakarta Utara. Tahun lalu, ia masih bisa membeli beras Rp 7.000 per liter, tetapi tahun ini, harga beras melonjak menjadi sekitar Rp 11.000-Rp 12.000 per liter.
Pengeluaran air bersih Kartika juga naik dua kali lipat. Pada 2022, Rp 300.000 per bulan, namun tahun ini, saat musim kemarau berkepanjangan, uang yang dikeluarkan menjadi dua kali lipat, Rp 600.000 per bulan.
Pengeluaran warga miskin diambil dari beberapa komoditas yang memberikan andil garis kemiskinan, seperti beras, gula, air dan listrik. Data ini merujuk pada publikasi “Pengeluaran untuk Konsumsi Penduduk Indonesia, Survei Sosial Ekonomi Nasional, Badan Pusat Statistik (BPS) periode September 2011-2022. Data itu dikalikan dengan sumbangan (persentase) komoditas beras, listrik, gula, dan air terhadap garis kemiskinan.
Lebih mahal di desa
Kompas juga menemukan, pengeluaran beras warga miskin desa lebih tinggi daripada kota yang membuat beban warga di sana makin bertambah. Berdasarkan data BPS 2022 yang diolah Kompas, belanja beras bulanan warga miskin desa sebesar Rp 117.824 per kapita. Adapun warga kota mengeluarkan uang lebih sedikit, yakni Rp 104.836 per kapita.
Tahun 2023, warga miskin desa harus membeli beras lebih mahal yakni Rp 137.449 per kapita per bulan. Diperkirakan, pengeluaran beras warga miskin desa semakin mahal jika terjadi iklim La Nina. Tahun 2030, pengeluaran bulanan warga miskin desa akan naik menjadi Rp 149.702 per kapita.
Tingginya pengeluaran beras warga miskin desa dibandingkan di kota, juga bisa dilihat dari kontribusi beras pada garis kemiskinan. September 2022, dari data BPS, beras menyumbang 22,96 persen garis kemiskinan desa, dan di kota kontribusinya lebih kecil, yakni 18,98 persen.
Skenario anomali iklim yang dikaji memengaruhi pola cuaca di Indonesia. Dosen Program Studi Meteorologi Institut Teknologi Bandung Nurjanna Joko Trilaksono berpendapat El Nino dan IOD positif cenderung membuat curah hujan di sejumlah wilayah Indonesia berkurang drastis. Sebaliknya, La Nina dan IOD negatif cenderung meningkatkan curah hujan. El Nino dan La Nina terjadi di Samudra Pasifik. Adapun IOD positif dan negatif berlangsung di Samudra India.
Anomali iklim yang membebani warga miskin berpotensi terjadi lebih kuat akibat perubahan iklim.
Laman National Environmental Science Programme milik pemerintahan Australia berjudul 'Science Update: What Does the Future Hold for El Niño-Southern Oscillation and the Indian Ocean Dipole?’ menyebutkan, pemanasan global akibat gas rumah kaca akan meningkatkan frekuensi dan intensitas El Nino dan IOD positif berskala ekstrem. Karenanya, lanjut Nurjanna, pergantian El Nino dan La Nina akan lebih singkat sejalan dengan intensitas anomali iklim yang meningkat.
Di sisi lain, anomali iklim ini dapat menimbulkan krisis dan bencana alam yang berdampak langsung pada kelompok masyarakat rentan, yakni warga miskin. “Perubahan iklim membuat kelompok masyarakat rentan makin rentan. Kelompok ini mesti diutamakan karena paling tidak berdaya tahan,” ujar Pendiri Nalar Institute Yanuar Nugroho.
Dia khawatir, cita-cita mencapai visi Indonesia Emas 2045 tidak terwujud jika pemanasan global mencapai 1,5 derajat Celsius. Apalagi, warga miskin dan rentan miskin tidak mendapatkan perlindungan.
Menanggapi analisis Kompas, Direktur Penanggulangan Kemiskinan dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan dan Pembangunan Maliki mengakui warga Indonesia sensitif terhadap perubahan iklim.
Pengentasan kemiskinan di tengah perubahan iklim dapat dijawab dengan kebijakan perlindungan sosial adaptif sesuai sebaran orang miskin, rentan miskin, serta wilayah rawan bencana. Dia berharap, konsep ini dapat diterapkan pada tahun 2025.