Sekitar 1 Juta Petani dan Nelayan Berkurang di 2030
Hampir 1 juta petani dan nelayan akan terdampak anomali iklim. Mereka berpotensi beralih pekerjaan untuk menyambung hidup.
Oleh
MARGARETHA PUTERI ROSALINA, MELATI MEWANGI, M PASCHALIA JUDITH J
·5 menit baca
JAKARTA,KOMPAS— Peningkatan intensitas dan frekuensi anomali iklim berdampak pada penurunan hasil panen petani dan tangkapan nelayan. Jika kondisi anomali iklim kian ekstrem, hampir 1 juta petani dan nelayan berpotensi beralih pekerjaan untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik.
Anomali iklim yang berujung pada hujan ekstrem ataupun kekeringan berkepanjangan diperkirakan semakin sering terjadi pada tahun-tahun ke depan. Kecenderungan itu dapat terjadi lantaran perubahan iklim yang tengah berlangsung.
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) selama 1993-2022, jumlah pekerja di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan rata-rata tumbuh 0,13 persen per tahun. Namun, saat terjadi anomali iklim, seperti IOD positif yang bersifat kering pada 1994, jumlah pekerja turun 2,03 juta orang dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Saat terjadi La Nina yang bersifat basah pada 2011, jumlah pekerja turun 2,4 juta pekerja, dibandingkan 2010.
Tim Jurnalisme Data Harian Kompas memproyeksikan hingga tahun 2030, jumlah petani dan nelayan akan menurun hingga 2,4 persen atau sekitar 926.492 pekerja yang akan meninggalkan pekerjaannya akibat perubahan iklim. Angka ini setara dengan 27 lapangan sepakbola seluas 6.800 meter persegi. Asumsinya, satu lapangan diisi 34.000 orang dalam posisi berdiri dengan satu meter persegi berisi maksimal lima orang.
Jumlah petani dan nelayan yang berusaha sendiri ataupun bekerja pada orang lain, berpotensi menurun jika pola anomali iklim El Nino, La Nina ataupun Dipol Samudra Hindia (Indian Ocean Dipole/IOD) makin ekstrem.
Lebih rentan
Mereka yang beralih kerja paling banyak diperkirakan buruh yang tidak memiliki lahan pertanian atau kapal. Angka penurunan buruh tani dan nelayan 2022-2030 diprediksi mencapai minimal 20 persen. Adapun angka penurunan pekerja yang berstatus berusaha sendiri minimal 6 persen. Buruh petani atau nelayan diprediksi lebih rentan dengan anomali iklim dibandingkan dengan pekerja yang berstatus berusaha sendiri.
Dalam kondisi iklim netral, tidak terjadi anomali iklim, pekerja pertanian yang bekerja pada orang lain tersebut menurun 2,6 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Adapun jumlah wirausaha pertanian cenderung tumbuh dalam skenario iklim netral dengan nilai 0,5 persen.
"Berdasarkan proyeksi Kompas, penurunan kelompok buruh paling signifikan terjadi saat IOD positif, yakni dari 18,5 juta di 2022 menjadi 9,9 juta di 2045 atau anjlok 45,8 persen. Saat La Nina, jumlah buruh diprediksi turun 45,5 persen atau menjadi 10,1 juta orang pada 2045.
Sementara itu, penurunan terdalam jumlah pekerja yang berusaha sendiri terjadi saat IOD negatif, yakni 17 persen pada 2045 dibandingkan dengan posisi pada 2022. Mulanya, terdapat 20,2 juta orang dan turun menjadi 16,8 juta orang.
Jumlah petani dan nelayan yang menurun diproyeksikan dari data pekerja sektor pertanian Sakernas BPS, periode Agustus 2001-2022. Proyeksi tersebut dihitung dengan menggunakan laju penurunan jumlah pekerja saat anomali iklim di rentang waktu 2001-2022. Selanjutnya laju penurunan tersebut diproyeksikan dalam skenario anomali iklim seperti El Nino, La Nina, IOD positif atau negatif.
Mengutip Laporan International Labour Organization (2018) berjudul ”The Employment Impact of Climate Change Adaption”, dampak paling parah diperkirakan terjadi pada sektor-sektor yang sensitif pada iklim, seperti pertanian, perkebunan, kehutanan, dan perikanan. Dampak serupa terjadi di daerah yang sering dilanda cuaca ekstrem.
Anomali iklim berdampak pada jumlah hasil pertanian. Menurut Bayu Dwi Apri Nugroho, dosen Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem di Universitas Gadjah Mada, kondisi yang amat panas atau intensitas hujan yang tinggi berpotensi menyebabkan gagal tanam dan gagal panen pada tanaman padi di sawah. Akibatnya, produktivitas sawah menurun.
Gagal panen dan penyusutan produksi memengaruhi petani beralih pekerjaan. Misalnya, petani penggarap sawah tadah hujan yang sulit ditanami. Biasanya di daerah tersebut, petani terpaksa alih kerja untuk menyambung hidup, seperti menjadi buruh, kuli bangunan, atau tukang ojek.
”Saat kondisi sudah membaik, biasanya kembali untuk bertani,” ujarnya.
Krisis petani
Bayu menambahkan, saat ini, Indonesia menghadapi krisis petani. Artinya, usia petani didominasi mereka yang sudah tua. Sementara, regenerasi petani atau anak-anak muda masih enggan untuk terjun di bagian hulu.
Ketua Umum Insan Tani dan Nelayan Indonesia (Intani) Guntur Subagja mengamini hal tersebut. Dia masih menjumpai petani muda kreatif, inovatif, dan melek teknologi untuk menggarap pertanian. Ia berharap agar ke depan sektor pertanian tetap bertumbuh. Meski demikian, jika tidak ada solusi strategis dari pemerintah dan masyarakat, potensi pekerja meninggalkan sektor pertanian dan perikanan karena kondisi iklim semakin besar.
Sensus Pertanian 2013 dan Survei Pertanian Antar-Sensus 2018 BPS menyebutkan, jumlah petani berusia muda menurun selama lima tahun. Penurunan terdalam terjadi pada petani kelompok usia di bawah 25 tahun yang merosot 22 persen dari 232.939 orang (2013) menjadi 191.000 orang (2018).
Di sektor perikanan, anomali iklim memengaruhi daya jangkau nelayan dalam mencari ikan. Ketua Kelompok Kerja Pengelolaan Sumber Daya Ikan Laut Pedalaman, Teritorial dan Perairan Kepulauan dan Kelembagaan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara RI, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Fery Sutyawan mengatakan, perubahan temperatur suhu laut berpengaruh pada pergerakan ikan.
Sebagai makhluk berdarah dingin, ikan akan menyesuaikan dengan kondisi ekosistem, cenderung bergerak ke lokasi dengan temperatur rendah. Kondisi demikian mengakibatkan penurunan hasil tangkapan.
Adapun para nelayan harus mencari ikan lebih jauh dari tempat biasanya sehingga biaya bahan bakar yang dikeluarkan menjadi lebih besar.
”Tak jarang, penjualan hasil tangkapan lebih rendah dibandingkan biaya operasional,” tambahnya.
Sementara itu, KKP menyiapkan mitigasi agar nelayan tetap berdaya, seperti program pengelolaan budidaya, pelaksanaan penangkapan ikan terukur, dan memperluas kawasan konservasi.
Fery mencontohkan, mitigasi yang dilakukan untuk di pinggiran adalah penanaman bakau untuk melindungi kenaikan permukaan air laut, para nelayan tangkap dikenalkan dengan budidaya ikan di kolam atau tambak, para istri nelayan juga dibekali keterampilan untuk mengolah produk ikan dan produk nonperikanan.