Berjuang Lepas dari Jeratan Utang Pinjol
Gara-gara utang Rp 500.000, hidupnya penuh tekanan, stres, dan trauma. Begitulah nasib salah satu korban pinjol.
Kemudahan dan kecepatan mengakses dana pinjaman daring atau pinjol melenakan sebagian orang. Mereka tidak menghitung kemampuan mengembalikan utang sehingga banyak orang terlilit utang. Mereka bahkan terjebak pada siklus “gali lubang tutup lubang”.
Nathan (25) iseng mengajukan dana pinjol akhir 2021. Karyawan swasta di Malang, Jawa Timur itu ingin membuktikan omongan temannya bahwa mendapatkan pinjol itu mudah. Secepat kilat, uang Rp 600.000 cair dengan tenor tiga bulan.
“Saya penasaran, ternyata ketika daftar langsung diterima. Sejak itu main pinjol. Uang pinjaman saya pakai untuk pegangan atau jajan,” kata Nathan kepada Kompas awal November 2023.
Setahun setelah main pinjol, ia mulai berani berutang lebih besar. Tidak hanya dari satu perusahaan, tetapi tiga sumber pinjaman sekaligus dengan nilai Rp 9,2 juta. Lagi-lagi sekadar untuk jajan atau pegangan. Semuanya dari tekfin yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Utang perdananya dibayar dengan gajinya sebagai karyawan layanan antar makanan sebuah restoran di Malang sebesar Rp 2,6 juta per bulan. Untuk utang selanjutnya Nathan memutar otak karena besarnya hampir empat kali lipat gajinya.
Ia nekat mendapatkan pinjaman dana dari aplikasi tidak resmi. Dari 10 aplikasi, ia mendapat pinjaman Rp 12 juta untuk melunasi utangnya di tekfin resmi. Karena gelap mata, ia mengabaikan legalitas tekfin, yang penting dapat pinjaman.
Sayangnya Nathan lalu terjerat judi daring yang membuatnya kembali terperosok ke lubang utang pinjol. Ia kembali berutang ke sejumlah tekfin untuk mendanai hobi judinya. Total, ia berutang lebih dari Rp 50 juta, baik dari fintek legal maupun ilegal.
Sayangnya Nathan lalu terjerat judi daring yang membuatnya kembali terperosok ke lubang utang pinjol.
Teror pun mulai datang dari penagih utang pinjol ilegal berupa panggilan telepon dan pesan singkat. Dalam sehari, ia bisa lebih dari 100 kali panggilan telepon dan pesan teks. “Kata-katanya kasar,” kata Nathan.
Kondisi serupa dialami warga Banten, Tony (34), yang masih berjuang untuk lepas dari jerat pinjol. Setiap bulan ia harus membayar cicilan dengan total Rp 8 juta ke tiga aplikasi tekfin.
Semua berawal pada pertengahan tahun lalu saat ia harus mengembalikan pinjaman kepada orangtuanya karena ada kebutuhan mendesak. Ia terpaksa mengajukan pinjaman daring karena tidak mudah mendapatkan kucuran utang dari teman atau anggota keluarga lain. Dari aplikasi pinjol, ia dapat dana Rp 20 juta dengan cicilan Rp 3,9 juta per bulan selama 12 bulan.
Pada bulan-bulan awal, Tony yang saat itu masih berstatus pekerja swasta dapat mencicil pinjaman. Kondisi berubah ketika pada Februari 2023 Tony keluar dari pekerjaan tetapnya karena ingin membesarkan usaha rumahan yang sebelum ini sudah dirintis bersama sang istri.
Sejak itu, keuangannya goyah. Penghasilan dari usahanya tidak sebesar ketika masih bekerja di kantor. Hingga akhirnya Tony harus kembali mengajukan pinjaman daring dari dua aplikasi lain. Besar cicilannya masing-masing Rp 2,2 juta dan Rp 2 juta per bulan. Utang itu untuk menutupi utang ke aplikasi pertama dan menambal kebutuhan harian keluarga.
Hingga kini Tony sulit melunasi tiga pinjaman itu. Ia pun harus menanggung tekanan sosial karena hubungannya dengan orang tua merenggang gara-gara menjadi sasaran teror penagih utang atau debt collector, baik via Whatsapp, telepon, maupun didatangi langsung. Alamat di kartu tanda penduduk (KTP) Tony masih sama dengan alamat orangtua. “Mereka datangnya ke rumah orangtua. Itu yang bikin polemik”, ungkapnya.
Baca juga: Jutaan Anak Muda Kesulitan Bayar “Pinjol”
Penuh tekanan
Tak pernah terbayangkan di benak Anti (35), gara-gara utang Rp 500.000, hidupnya selama bertahun-tahun penuh tekanan, dirundung stres, dan trauma. Tahun 2017, ia pindah kerja ke tempat baru dan butuh uang untuk kebutuhan transportasi.
“Mau kasbon ke kantor malu karena pegawai baru, belum diangkat. Pernah mengajukan ke bank, syaratnya susah,” kata Anti di kantornya di Jakarta Barat, Senin (6/11/2023).
Informasi di internet mengenalkannya pada aplikasi pinjol. Hanya butuh mengunggah foto KTP dan sampul buku tabungan. Dalam waktu lima menit uang Rp 500.000 cair. Ia memilih tenor dua minggu dan harus mengembalikan Rp 675.000. Ia mengakui mencentang kolom syarat dan ketentuan tetapi tidak membaca isinya.
Baca juga: Angin Surga Kemudahan Pinjol Ilegal
Dua minggu berlalu, Anti yang saat itu bergaji Rp 2,7 juta merasa sayang harus menyisihkan uang untuk membayar utang. Ia teringat pada tawaran pinjaman lain yang bertubi-tubi masuk ke ponsel. Ia memutuskan mengambil pinjaman lain untuk membayar utang di pinjol pertama.
Saya tidak sanggup bayar. Teror dari debt collector bertubi-tubi. Akhirnya minta bantuan ke LBH
Namun ia kurang perhitungan karena tenor utang kedua hanya 14 hari yang ia kira 30 hari. Saat jatuh tempo, ia tidak punya uang karena gajinya sudah terpakai untuk berbagai kebutuhan. Ia kembali mengambil pinjaman dari pinjol lain untuk menutupi pinjol sebelumnya. Begitu terus sampai akhirnya ia meminjam dari 10 aplikasi.
Setelah 5-6 bulan “gali lubang tutup lubang” dari berbagai pinjol, Anti menyerah. Utangnya yang kalau dihitung-hitung hanya sekitar Rp 9 juta, menggembung menjadi Rp 15 juta karena bunga dan denda keterlambatan yang besar. “Saya tidak sanggup bayar. Teror dari debt collector bertubi-tubi. Akhirnya minta bantuan ke LBH,” katanya.
Baca juga: Dana Promosi Pinjol Makin Besar, Keuntungan Meroket Sepuluh Kali Lipat
Ia tidak sendiri karena ada ribuan pengadu lainnya sesama korban pinjol. Bersama-sama mereka pernah berdemonstrasi ke DPR, OJK, dan Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Anti beruntung, permohonan restrukturisasi utangnya yang didampingi lembaga bantuan hukum dikabulkan perusahaan pinjol. Ia hanya diwajibkan membayar pinjaman pokok dan boleh dicicil. "Setahun hidup saya tidak tenang. Sekarang bersyukur sudah beres," katanya.
Para peminjam yang terjerat pinjol kemungkinan besar akan terdampak kondisi psikologisnya. Mereka merasa bingung, stres, bahkan depresi yang pada akhirnya memengaruhi performa fisik dan pengambilan keputusan. Misalnya, melakukan kekerasan atau tindakan negatif lainnya.
“Kalau seperti ini, segeralah mencari bantuan kepada orang yang bisa dipercaya atau konseling,” kata psikolog dari Universitas Indonesia Bertina Sjabadhyni yang juga mengeluarkan buku elektronik "Hidup Bijak Bersama Pinjol"
.