Sistem Validasi Kompetensi Dokter Membuka Celah Permainan
Maksud baik ingin menjaga komptensi dokter, namun tidak sejalan dengan ketersediaan sistem yang rapi. Akibatnya, ada celah untuk memperbaikan kompetensi dokter.
Oleh
Tim Kompas
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Investigasi harian Kompas periode Juni 2023-Juli 2023 mengungkap adanya celah sistem validasi kompetensi dokter. Celah tersebut dimanfaatkan jejaring calo untuk menangguk keuntungan. Dokter yang memilih jalan pintas menggunakan celah validasi kompetensi untuk kepentingannya.
Celah sistem ini membuka peluang terjadinya manipulasi dokumen kompetensi dokter. Sebab verifikasi yang dilakukan Badan Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (BP2KB) Ikatan Dokter Indonesia tidak berjalan efektif.
Dalam hal pemeriksaan dokumen misalnya, verifikatur tidak betul-betul memeriksa keaslian dokumen kegiatan bernilai profesi yang dilampirkan dokter saat mengurus perpanjangan surat tanda registrasi (STR). Salah satu dokumen yang sering dimanipulasi adalah sertifikat seminar kedokteran.
Di Surabaya, Jawa Timur, seorang calo berinisial N bisa membantu dokter memanipulasi bukti kegiatan bernilai profesi. Adapun kegiatan bernilai profesi yang dihitung berdasarkan satuan kredit profesi (SKP) itu tersebar di ranah pembelajaran, profesional, pengabdian masyarakat dari profesi, publikasi ilmiah dan populer, serta pengembangan ilmu dan pendidikan.
Ketika ditemui akhir Juni 2023 di rumahnya, N menunjukkan bukti bayar sejumlah dokter yang pernah menggunakan jasanya. Dia juga menyimpan banyak dokumen digital dari sertifikat kedokteran. Dalam melakukan aksinya, dia mencatatkan nama di sertifikat digital dengan nama dokter yang membutuhkan lalu mengunggahnya ke sistem IDI. Praktik semacam ini sudah berlangsung menahun.
“Biaya pengurusan sekitar Rp 1 juta, tapi bukan buat sendiri. Saya dapat Rp 300.000, kadang Rp 500.000. Sisanya dibagi ke teman-teman yang membantu di P2KB,” kata N.
Di Jakarta, sertifikat seminar kedokteran yang menjadi bukti pemenuhan kewajiban dokter di ranah pembelajaran dapat dimanipulasi. Dokter T di awal Juni 2023 lalu menunjukkan kepada tim Kompas sejumlah sertifikat seminar tanpa nama miliknya dari berbagai kegiatan ilmiah. Sertifikat kosong itu sering dia sumbangkan kepada sejawatnya yang kekurangan poin di ranah pembelajaran. “Sertifikat itu saya kasih ke teman-teman yang membutuhkan. Mereka pakai untuk mengurus perpanjangan STR. Syukurlah bisa bermanfaat,” kata T.
Biaya pengurusan sekitar Rp 1 juta, tapi bukan buat sendiri. Saya dapat Rp 300.000, kadang Rp 500.000. Sisanya dibagi ke teman-teman yang membantu di P2KB
Dari fakta di atas tergambar bahwa sertifikat seminar kedokteran beredar secara bebas dan tidak terkontrol. Padahal, sertifikat itu didapat dari kegiatan ilmiah yang sudah diakreditasi oleh IDI.
Ketua Umum Pengurus Besar IDI Mohammad Adib Khumaidi 4 Juli 2023 menjelaskan, akreditasi dari organisasi profesi bertujuan untuk menjaga kualitas kegiatan ilmiah. Akreditasi IDI juga menggaransi bahwa seminar digelar oleh lembaga kredibel.
“Kepentingan IDI untuk mengakreditasi adalah untuk mengetahui benar atau tidak ia penyelenggara seminar. Tapi kalau kemudian ada lembaga penyelenggara yang gak jelas siapa penyelenggaranya, kesannya mohon maaf, hanya jual SKP, Nah kita harus tegas itu,” jelasnya.
Namun kondisi yang disampaikan Adib tidak sejalan dengan penelusuran Tim Investigasi. Akreditasi IDI dalam beberapa kegiatan terkesan sekadar stempel saja. Aturan main yang ditetapkan IDI tidak dipatuhi penyelenggara. Contohnya, IDI mensyaratkan seminar yang digelar lebih dari satu hari harus melampirkan soal pre-test dan post-test.
Kepentingan IDI untuk mengakreditasi adalah untuk mengetahui benar atau tidak ia penyelenggara seminar.
Tim Investigasi melibatkan seorang dokter mengikuti seminar kedokteran di Jakarta Utara pertengahan Juni 2023. Seminar tersebut berlangsung selama dua hari. Kata dokter yang ikut, tidak ada pre-test dan post-test. Kehadiran peserta hanya dikontrol saat pagi hari pertama dan pagi hari kedua. “Kesimpulan gue, gak ikut juga gak ngaruh. Tetap dapat (sertifikat) ini,” celetuk dokter berinisial L itu.
Dalam seminar lain, tim membuktikan bahwa peserta bahkan bisa mendapatkan sertifikat tanpa harus mengikuti kegiatan. Fakta ini terungkap saat tim mendaftar dalam sebuah seminar kedokteran di Balikpapan, Kalimantan Timur pertengahan Juni 2023. Sertifikat dikasih panitia, meskipun kami tidak ikut seminarnya.
Seminar kedokteran dan kegiatan bernilai profesi lainnya termasuk dalam pendidikan berkelanjutan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Aturan itu mewajibkan dokter dan dokter gigi wajib yang berpraktik mengikuti pendidikan dan pelatihan berkelanjutan guna memastikan layanannya teruji secara ilmiah. Standar penyelenggaraannya diserahkan kepada organisasi profesi.
Dari aturan itu, frasa “yang berpraktik” patut digarisbawahi. Frasa itu bisa bermakna yang menjalani pendidikan berkelanjutan adalah dokter yang melakukan pelayanan kedokteran. Sementara dokter nonpraktik seharusnya bebas dari kewajiban ini.
Namun, IDI lewat seperangkat aturan tetap mewajibkan dokter nonpraktik mengikutinya. Masalah kemudian muncul ketika IDI belum mengatur detail kegiatan bernilai profesi untuk semua jenis dokter nonpraktik.
Pedoman Pelaksanaan Program P2KB 2021 mengklasifikasikan dokter nonpraktik sebagai kelompok pendidik kesehatan, kelompok struktural, kelompok manajer kesehatan, kelompok dokter asuransi kesehatan, dan kelompok peneliti. Untuk kelompok peneliti, belum tergambar jelas ranah profesional apa yang bisa mereka konversi menjadi nilai SKP.
Namun di saat bersamaan, posisinya sebagai peneliti tetap mengharuskannya punya STR. Itu artinya dia tetap mengumpulkan SKP sebanyak 250 per lima tahun. Untuk dokter jenis ini, sebagian besar kekurangan poin di ranah profesional. Mereka bukan dokter nakal, malah termasuk karyawan andalan di institusinya. Tetapi karena tetap harus memenuhi SKP juga, akhirnya dia minta bantuan calo.
“Ini tantangan buat kami yang tidak bekerja di pelayanan klinis. Ikut seminar juga ngga sempat dan belum tentu relevan dengan pekerjaannya. Pada akhirnya terpaksa pakai calo juga. Sistem ini memaksa kami untuk bermain dengan tidak jujur,” ujar dokter IE, salah satu dokter nonpraktik.