Nakes Tahan Rindu di Lokasi Terpencil
Bertugas di wilayah terpencil, sama artinya dengan menghadapi ujian luar dalam. Bekerja di tengah keterbatasan sekaligus juga menahan rindu pada keluarga.
Pasangan perawat yang bertugas lokasi terpencil harus tahan rindu bertemu keluarga. Bahkan ada pasangan yang bertemu setahun sekali demi memenuhi panggilan mulia profesinya sebagai tenaga kesehatan.
Kepala Puskesmas Taneotob di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, Nonny L Krisyanto Liunome (34) cukup bersyukur jika bisa bertemu istrinya setahun sekali. Istrinya juga bertugas sebagai perawat di lokasi terpencil di Sulawesi Utara, tepatnya di Kepulauan Siau Tagulandang Biaro.
Lokasi Desa Taneotob di Kecamatan Nunbena, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timor, sendiri benar-benar jauh dari akses transportasi memadai. Dari ibukota Kabupaten Timor Tengah Selatan, Kota Soe, rute yang tersedia adalah rute-rute terjal naik turun perbukitan serta melintasi empat sungai besar selebar 300-500 meter dan tujuh sungai kecil selebar 1-3 meter tanpa satu pun jembatan. Empat sungai besar itu adalah Noel Nisnoni Lilana, Noel Lue, Noel Netak dan Noek Besi.
Baca juga : Dokter Lulusan Luar Negeri Mengubur Cita-citanya
Baca juga : Jejaring Calo Memanipulasi Kompetensi Dokter
Rute ekstrem inilah yang harus dilalui Nonny, demikian lelaki itu biasa disapa, untuk berjumpa istri tercintanya setahun sekali. “Bersyukur sekali kalau kami kalau bisa ketemu setahun sekali,” katanya ditemui di Puskesmas Taneotob, Minggu (25/6/2023).
Suami istri itu bertemu pada Natal, Desember 2022 lalu di kampung halaman mereka di Soe. Sejak itu hingga sekarang, mereka belum pernah bertemu lagi. Pasangan yang berasal dari Soe itu harus terpisah begitu jauh untuk menjalani profesinya sebagai tenaga kesehatan. Selain sebagai Kepala Puskesmas Taneotob, Nonny juga satu dari empat perawat di sana.
Para tenaga kesehatan di Taneotob itu merupakan tulang punggung Puskesmas. Sejak beroperasi, Puskesmas itu belum pernah memiliki dokter di sana. Karena perannya yang begitu vital, 8 perawat dan bidan yang bertugas di sana tak bisa meninggalkan lokasi seenaknya demi berlangsungnya layanan kesehatan di puskesmas yang melayani lebih dari 3.000 warga itu.
Tak heran, sejak menikah tahun 2019, pasangan itu belum dikaruniai anak. “Bukan sengaja menunda punya anak, tapi memang kondisi kami yang sangat sulit bertemu,” kata Nonny.
Baca juga : Obral Nilai Satuan Kredit Profesi lewat Seminar Kedokteran
Baca juga : Bisnis Seminar Kedokteran Menggiurkan
Untuk bertemu suaminya, istri Nonny juga harus menempuh perjalanan panjang melalui transportasi darat, laut dan udara. Ia harus menyeberang lautan untuk keluar dari kepualau ke daratan utama Sulawesi, melanjutkan perjalanan dengan pesawat sebelum sampai di Bandara Kupang dan menempuh perjalanan darat ke Kota Soe selama sekitar 3 jam.
Tanpa jalan
Kompas mencoba perjalanan ekstrem pasangan tenaga kesehatan jarak jauh tersebut dengan berangkat dari Soe. Hingga kawasan Fatumnasi, perjalanan dengan mobil masih bisa ditempuh meskipun ada kendala macet karena adanya pembangunan jalan desa.
Setiba di Fatumnasi, warga menyarankan mobil diganti dengan sewa ojek sepedamotor bermesin besar yang bisa digunakan untuk kondisi ekstrem. Mereka juga menyarankan pengemudi yang betul-betul paham lokasi. Sebab mobil biasa atau warga luar daerah tak akan mampu menembus hingga Taneotob. “Mobil double gardan saja akan sangat lama sampai sana,” kata Mama Westi, salah satu Tokoh Desa Fatumnasi memberi saran.
Mobil double gardan saja akan sangat lama sampai sana
Kompas menengok peta di Google Map untuk memastikan informasi tersebut. Di aplikasi peta itu, Puskesmas Taneotob memang tertera dengan jarak 146 kilometer dari Fatumnasi, namun tak ada rute jalan bermotor ke sana. Mencari tukang ojek pun bukan perkara mudah karena tak semua orang bersedia menempuh rute dan jarak ekstrem itu.
Akhirnya, seorang warga bersedia mengemudi dengan tarif Rp 300.000 pulang pergi Fatumnasi-Taneotob. “Kita harus berangkat pagi-pagi karena takutnya kemalaman kalau kesiangan berangkatnya,” kata pengemudi motor iitu, Marni Sanam (38).
Aplikasi google map ternyata benar adanya. Separuh perjalanan Fatunamsi-Taneotob itu tak melalui jalan biasa, namun masuk ke dalam alur-alur sungai.
Orang awam dipastikan akan tersesat sebab tak terlihat ada jalur jalan. Warga sekitar hanya menandai jalur itu dengan tumpukan batu-batu kali yang nyaris tak terlihat bagi orang yang tak biasa.
Marni yang sebenarnya juga warga lokal pun nyaris tersesat di alur sungai itu. “Mana tadi lewatnya ya. Oh itu ada batu lagi,” katanya lalu mengarahkan sepedamotor Honda Tiger miliknya ke tumpukan batu kali yang terletak seperti acak di jalur sungai.
Setelah tiga jam perjalanan naik turun perbukitan dan kaki basah karena masuk ke jalur air sungai, perjalanan berakhir di Desa Taneotob yang terasa sepi. Sepanjang perjalanan itu tak ada satu pun warung, pasar maupun kedai makan. Saat lelah mendera, Marni mengarahkan sepedamotornya ke salah satu rumah warga. Pemilik rumah yang tak kami kenal itu menyambut dengan sapaan dan mengulurkan sekotak sirih pinang sebagai tanda hormat pada tamunya.
Meskipun ekstrem, perjalanan di akhir Juni itu terbilang cukup mudah dibandingkan Desember karena tak ada hujan sehingga jalanan kering dan sungai-sungai tak meluap. Tak terbayang kondisi jalur itu di musim hujan. Jalur ini ini praktis tak tertembus oleh sungai meluap dan lumpur di bukit terjal. Ujung desa Puskesmas Taneotob terletak di ujung desa.
Di Bulan Desember, saat Nonny menempuh perjalanan untuk bertemu sang istri, perjalanan dari dan ke Puskesmas Taneotob menjadi lebih ekstrem berkali-kali lipat. Jalur di Kabupaten Timor Tengah Selatan menuju Soe bisa dibilang terputus karena empat sungai besar dan tujuh sungai kecil itu pasti meluap hingga tak bisa dilewati.
Nonny harus menempuh jalan memutar melalui Kabupaten Kupang yang waktu tempuhnya meningkat menjadi sekitar 8 jam ke Soe. Perjalanan ekstrem ini juga yang harus ditempuh ambulans apabila harus mengantar pasien rujukan ke rumah sakit.
Minggu siang itu, seluruh tenaga kesehatan tengah menghadiri acara pernikahan salah satu warga. “Kami semua tinggal di sini, empat perawat dan empat bidan, sehingga sudah menyatu dengan kehidupan warga sekitar. Sebagian besar dari kami juga punya kerabat orang sini karena akarnya dari daerah ini,” kata Nonny.
Para tenaga kesehatan di Taneotob itu sebelumnya bertugas di lokasi-lokasi yang lebih dekat dengan perkotaan. Di lokasi terpencil, mereka harus beradaptasi sedemikian rupa untuk menyelenggarakan kehidupan dasar saja. Harga kebutuhan pokok di Taneotob dua kali lipat dari harga di kota karena biaya angkut yang mahal.
Stok terbatas
Selain harganya mahal, ketersediaan kebutuhan pokok pun amat terbatas. Sebab Pasar Taneotob hanya buka sekali sepekan. Selain pasar, tak ada warung apapun yang ada. Sementara itu, tak ada satu pun warga yang mempunyai lemari es. Warga takut beli lemari es karena kondisi jalur pengangkutan yang sangat sulit dan listrik yang tak stabil. Sehingga makan sehari-hari menjadi perkara yang rumit.
Mereka hanya bisa stok beras, mie instan maupun bahan pangan kalengan. Sementara sayur tidak bisa disimpan, apalagi tempe, tahu, daging dan ikan yang rusak dalam dua hari tanpa lemari es. Untuk mengatasi kekurangan sumber gizi, para perawat sesekali berburu di hutan atau memancing di danau-danau kecil yang ada di Taneotob.
Saat ambulan dikirim ke Dinas Kesehatan Kabupaten Timor Tengah Selatan di Soe, para petugas cepat-cepat mendaftar kebutuhan untuk membeli di kota. “Kalau ambulans ini mau turun, kami cepat-cepat beritahu semua orang untuk buat daftar belanja. Nanti kami belanja bareng-bareng di Soe biar lebih hemat juga,” kata Nonny.
Kondisi sulit yang berakar dari minimnya infrastruktur jalan inilah yang membuat Taneotob tak pernah menarik bagi dokter untuk bertugas di sana. Tinggallah para tenaga kesehatan yang bertugas di sana jauh dari hingar-bingar perkotaan. Dalam sunyi mereka menahan rindu pada orang-orang terkasih yang terpaksa mereka tinggalkan demi tugas mulia itu. (IRE/FAI/DIV/NDY)