Bisnis Seminar Kedokteran Menggiurkan
Uang beredar di seminar-seminar kedokteran berkisar ratusan juta hingga miliaran rupiah sekali penyelenggaraan. Padahal, ada ratusan seminar kedokteran berbobot SKP digelar setiap tahunnya.
JAKARTA, KOMPAS - Penelusuran Tim Investigasi Harian Kompas menemukan, putaran uang dalam seminar-seminar kedokteran mencapai miliaran rupiah. Aliran uang penyelenggaraan seminar kedokteran dinikmati panitia dan sejumlah orang yang terafiliasi pada organisasi profesi di tingkat cabang dan wilayah.
Uang beredar di seminar-seminar kedokteran berkisar ratusan juta hingga miliaran rupiah sekali penyelenggaraan. Padahal, ada ratusan seminar kedokteran berbobot SKP digelar setiap tahunnya. Tak hanya dari peserta, sumber uang juga berasal dari sponsor perusahaan farmasi maupun perusahaan terkait medis lain.
Salah satu penyelenggara seminar kedokteran PT Morula Indonesia menawarkan paket sponsor dari Rp 75 juta, Rp 150 juta, Rp 350 juta hingga Rp 500 juta untuk penyelenggaraan seminar dari Mei-Oktober 2023 di 15 kota. Perusahaan yang menjadi sponsor akan memperoleh beragam ruang untuk menampilkan produknya, mulai dari pamflet, banner, billboard, teks, video, stan pameran hingga konferensi.
Baca juga : Jejaring Calo Memanipulasi Kompetensi Dokter
VP Business Strategy & Operations PT Morula Indonesia Julia Darmawan, mengaku perusahaannya tidak berorientasi bisnis. Namun badan usaha ini ingin mengedepankan semangat kolaborasi antarpihak. "Seperti kita ketahui Indonesia sedang di bombardir oleh kompetitor fertilitas dari luar. Beberapa dari mereka bahkan melakukan black campaign terkait dengan pelayanan fertilitas di Indonesia,” kata Julia.
Pantauan Tim Investigasi dari sebuah seminar kedokteran di Jakarta Pusat pertengahan Juni, sedikitnya ada 10 sponsor. Sebagian besar perusahaan farmasi dan perusahaan laboratorium kesehatan. Panitia menyediakan stan di samping ruangan seminar dan para sponsor memperkenalkan produknya di sana. Logo perusahaan juga masuk dalam materi utama untuk peserta.
Menurut panitia penyelenggara berinisial OA, pihak sponsor memberikan bantuan sekitar Rp 30 juta per jenama. "Dengan kisaran peserta di bawah 500 orang, tarif sponsor sekitar Rp 30 juta per brand," ujarnya.
Baca juga :Dokter Lulusan Luar Negeri Mengubur Cita-citanya
Aliran dana di atas belum termasuk uang pendaftaran dari peserta seminar sebesar Rp 2,5 juta per orang. Dikatakan OA, jumlah peserta lebih kurang 400 orang. Artinya, penyelenggara mendapat Rp 1 miliar dari biaya pendaftaran saja. "Secara bisnis, penyelenggaraan ini sepadan dengan kerja yang dilakukan. Asal kami mau kerja keras," tambahnya.
Lembaga yang berkantor di Bandung, Jawa Barat, ini bisa menggelar dua sampai tiga seminar per minggu. Di akun media sosialnya, selalu ada unggahan acara seminar setiap hari. Bahkan untuk Juli 2023, lembaga ini menyelenggarakan dua seminar kedokteran dalam waktu bersamaan. Untuk skala kecil, seminar daring dengan jumlah peserta 25 orang dan berbiaya Rp 1,5 juta per orang, bisa meraup sekitar Rp 37,5 juta dari satu seri saja.
Secara bisnis, penyelenggaraan ini sepadan dengan kerja yang dilakukan. Asal kami mau kerja keras,
Infografik Syarat Penyelenggara Seminar Kedokteran Investigasi Kedokteran
Sementara seminar seminar bertopik electrocardiogram (ECG) itu digelar berseri lewat zoom pertengahan Juni lalu. Panitia seminar yakni JMT rutin menggelar kegiatan ini sejak tahun 2010 lalu. Tahun 2022 lalu misalnya, panitia mengelar 8 seminar ECG.
Dengan hitungan kasar, dalam setahun terkumpul sekitar Rp 300 juta dari peserta. Di luar pelatihan ECG, JMT juga menggelar beberapa seri seminar kedokteran lain. Saat dikonfirmasi dari Jakarta, Kamis (6/7/2023), Pengelola JMT berinisial SP mengaku tak tahu menahu mengenai besaran uang itu. Sebab, katanya, JMT hanya bertugas mengumpulkan peserta.
Padahal, rekening bank tempat menyetor pembayaran peserta menggunakan nama SP. “Yang tahu soal tarif itu ya panitia yang dokter-dokter itu. Saya kan hanya cari peserta saja,” katanya.
Yang tahu soal tarif itu ya panitia yang dokter-dokter itu. Saya kan hanya cari peserta saja
Mantan Direktur PT Aztrazaneca (1996) Hanny Gunawan Moniaga berpendapat, tidak ada makan siang yang gratis. Semua pihak diuntungkan pada gelaran acara seminar kedokteran seperti itu. Perusahaan farmasi maupun medis dapat menampilkan produk mereka pada dokter yang akan menggunakannya ke pasien.
“Untuk sebuah perusahaan farmasi, mendapat ruang dan waktu bicara pada acara kedokteran, tentu ini sangat menggiurkan. Oleh karena itu diatur secara ketat, misalnya tidak boleh ada sponsor tunggal,” kata Hanni. Mengalir ke organisasi Uang dari seminar-seminar kedokteran tersebut juga mengalir ke organisasi kedokteran, baik IDI maupun organisasi perhimpunan yang bernaung di bawahnya.
Panitia seminar kedokteran OA menceritakan, untuk memperoleh SKP, IDI cabang meminta biaya Rp 200.000 per 1 SKP. Dengan total SKP 19 unit, jumlah setorannya Rp 3,8 juta. Tim investigasi memperoleh dokumen dengan kop surat IDI Cabang Jakarta Pusat yang menerapkan biaya SKP serta fee institusi non-profit sebesar Rp 3 juta dan fee institusi profit sebesar Rp 5 juta per pengajuan seminar.
Untuk sebuah perusahaan farmasi, mendapat ruang dan waktu bicara pada acara kedokteran, tentu ini sangat menggiurkan
Dokumen itu ditandatangani Dr Haznim Fadhli sebagai Ketua IDI Cabang Jakarta Pusat. Namun, saat dikonfirmasi Tim Investigasi, Haznim tak bersedia memberi tanggapan. “Mohon maaf, saat ini saya belum bisa jawab hal itu,” kata Haznim melalui aplikasi WhatsApp pada, Rabu (5/7/2023).
Di Surabaya, Tim Investigasi memperoleh kuitansi pembayaran Rp 6,2 juta ke salah satu perkumpulan dokter spesialis. Rinciannya terdiri dari institusional fee Rp 5 juta dan biaya SKP IDI Rp 1,2 juta. Uang itu ditransfer oleh sebuah lembaga yang baru menggelar seminar di sana. Menurut penyelenggara, uang Rp 5 juta itu merupakan biaya kerja sama lantaran mereka menggandeng IDI atau perhimpunan di bawahnya. “Besarannya tergantung skala (seminar), lokasi, dan kota seminar itu digelar,” ujar DA, perwakilan penyelenggara.
Wakil Ketua IDI Sulawesi Utara dan Ketua IDI Cabang Siau Tagulandang Biaro James Allan Rarung mengakui, uang berputar dalam seminar berbobot SKP bisa ratusan juta atau bahkan miliaran rupiah. Secara tertulis, uang yang secara resmi mengalir ke organisasi profesi IDI maupun spesialis cabang justru tak seberapa besar.
Besarannya tergantung skala (seminar), lokasi, dan kota seminar itu digelar
Aliran besar, katanya, justru ke para oknum pengurus IDI wilayah yang kerap menjadi pembicara dan tergabung di kepanitiaan. Jumlah ini yang sulit terlacak besarnya. “Saya pernah ikut masuk di panitia, kalau rapat memang miliaran sisa hasil usahanya. Dan itu kami bagi-bagi. Dalam pelaksanaan di lapangan, uang yang berputar besar. Uang itu tidak tercatat masuk ke organisasi profesi, tetapi ke oknum,” kata James.
Menurut James, keuntungan terbesar dari penyelenggara itu berasal dari sponsor. Sementara biaya registrasi biasanya sudah dialokasikan untuk biaya sewa tempat, honor narasumber, alat tulis-menulis hingga konsumsi.
“Di pengalaman saya ya, uang registrasi habisnya itu untuk narasumber, tempat, lokasi uang makan dan alat tulis-menulis itu registrasinya habis di situ. Yang terbesar itu dua, hotel atau tempat kegiatan dan membayar narasumber. Kalau ada untung, terbesar dari perusahaan-perusahaan obat yang menjadi sponsor,” katanya.
Baca juga :Dokter Praktik Tanpa Izin
Besarnya uang penyelenggaraan seminar berbobot SKP ini, kata James, mendorong munculnya seminar-seminar berseri. Seminar berseri yang dimaksud adalah seminar dengan tema yang sama, pembicara yang sama, bahkan panitia yang sudah menjadi panitia tetap. Seminar berseri ini bisa menjadi ladang mata pencaharian bagi para penyelenggara.
Bagi-bagi uang hasil penyelenggaraan seminar, kata James, sudah lazim terjadi. Biasanya, penyelenggara yang membagikan uang tersebut termasuk kepada pengurus IDI yang terlibat di dalam penyelenggaraan seminar. Keterlibatan mereka dalam kepanitiaan dilakukan untuk memperlancar seminar tersebut.
“Memang biasanya begitu, tapi itu sebagai pribadi bukan sebagai pengurus di wilayah. Karena memang biasanya penyelenggara kalau dalam kepanitiaan itu ada pengurus petinggi IDI, maka pengurusannya itu lancar-lancar saja. Tetapi dia mewakili pribadi,” katanya.
Baca juga :Beban Ganda Dokter-dokter di Pedalaman
Menanggapi temuan itu, Ketua PB IDI Muhammad Adib Khumaidi mengatakan, pemungutan biaya SKP itu untuk proses akreditasi penyelenggara seminar.
Akreditasi diperlukan untuk menjaga kualitas penyelenggara seminar. “Ini yang kemudian ada pembayaran memang. Pembayarannya bukan dari jumlah peserta. Seluruh Indonesia tarifnya sama Rp 200.000 untuk satu SKP,” katanya.