Kepercayaan dan Tarif Layanan Membuat Pasien Memilih Berobat ke Negeri Tetangga
Kepercayaan pada layanan kesehatan memengaruhi keluarga pasien dalam mengambil keputusan. Setidaknya inilah yang tergambar pada warga memilih berobat ke luar negeri.
Oleh
Tim Kompas
·4 menit baca
Awal 2023, Presiden Joko Widodo menyatakan kegeramannya karena hampir satu juta warga Indonesia berobat ke luar negeri tiap tahun. Akibatnya, Indonesia kehilangan devisa hampir Rp 170 triliun per tahun. Dana kesehatan yang seharusnya dibelanjakan di dalam negeri mengalir ke negeri tetangga.
Beberapa bulan terakhir, seniman film Melati Noer Fajri (30) mencari informasi perawatan kanker tiroid di Malaysia. Setelah kehilangan asuransi kesehatannya, dia mencari alternatif pengobatan murah tetapi berkualitas. “Saya cari informasi biaya PET Scanning untuk pemeriksaan dulu. Saya survei harga di Penang. Hasilnya, sekitar Rp 4 juta di Penang. Sementara di Jakarta sekitar Rp 14-18 juta karena mereka hanya tawarkan satu paket total general check-up. Padahal, saya tidak butuh semua pemeriksaan general check-up itu,” katanya, Kamis (8/6/2023).
Selama pandemi, ia kehilangan banyak sumber penghasilan. Secara finansial, ia tak mampu lagi membayar asuransi kesehatan. Sebelum pandemi, Melati mengandalkan asuransi kesehatan untuk berobat kanker tiroid di Singapura. “Saya akan memilih Penang. Selain harganya murah, saya juga trauma dengan kualitas kesehatan di Indonesia,” ucapnya.
Salah satu pengalaman yang membuatnya kecewa pada layanan kesehatan di tanah air ialah ketika perawat sebuah rumah sakit di Kota Malang menyuntik ayahnya dengan insulin. Padahal, keluarganya sudah menjelaskan secara tertulis bahwa sang ayah mengidap diabetes dan alergi insulin. Akibatnya, ayahnya menggigil, kulit melepuh hingga sulit bernapas. “Kami pernah mengeluarkan puluhan juta rupiah untuk perawatan ayah saya dua hari saja, tetapi tanpa hasil. Ayah saya meninggal,” katanya.
Di awal menerima diagnosa, Melati mencoba pengobatan beberapa rumah sakit di Jakarta. Di salah satu rumah sakit khusus kanker, dokter yang memeriksanya bertanya apakah dia sudah menerima vonis berapa lama sisa umurnya. Pernyataan dokter ini membuatnya hancur. Di depan dokter itu ia menangis, dan tak mau melanjutkan konsultasi karena seolah tak ada harapan hidup.
Masih di Jakarta, ia tak menjalani pemeriksaan spesifik kanker yang dideritanya. Ia hanya menjalani pemeriksaan umum yang harganya lebih mahal karena dijual satu paket keseluruhan. Padahal, kata Melati, untuk penyakitnya ia hanya membutuhkan lebih kurang 30 persen dari seluruh pemeriksaan umum itu. Dia berpikir, ada motif komersial yang besar di layanan kesehatan tanah air.
Rentetan pengalaman itu membulatkan tekadnya berobat di Rumah Sakit Mount Elizabeth di Singapura. Dengan biaya pengobatan yang ditanggung asuransi, Melati menekan biaya akomodasi di negeri tetangga itu. “Saya dulu ambil penerbangan termurah dan hidup menumpang di tempat kenalan di sana,” ujarnya. Sekilas, biaya di Singapura memang mencapai sekitar Rp 70 juta sekali terapi. Di Indonesia, Melati hanya membayar sekitar Rp 4 juta untuk kemoterapi.
Namun, kata Melati, setelah ia hitung-hitung, biaya total berobat di Jakarta akan lebih mahal karena waktu pengobatan yang lama. Terapi yang dijalaninya juga tidak menyeluruh, tetapi kecil dibandingkan dengan yang diterimanya di Singapura.
Kisah yang sama diceritakan warga Tangerang Selatan, Banten, Sekar Harina (42) yang mengantarkan omnya menjalani operasi bypass jantung di Penang, Malaysia, awal tahun 2023. Hal itu dilakukan karena biaya yang lebih murah di Penang daripada di Jakarta. “Di Penang, biayanya waktu itu Rp 200 juta, sementara kami tanya beberapa rumah sakit ternama di Jakarta, biayanya sekitar Rp 500 juta. Kami pilih Penang karena murah dan layanan di sana terkenal baik,” ujarnya.
Om dan tantenya keluarga pensiunan perusahaan swasta yang memiliki sumber keuangan terbatas. Mereka tak menggunakan pembiayaan jaminan kesehatan nasional karena berharap penanganan yang lebih cepat. Dari rekomendasi kenalan, keluarga itu memutuskan menjalani operasi RS Adventist di Penang. Diperkirakan, biaya akomodasi pesawat dan penginapan keluarga maksimal Rp 100 juta, sementara biaya di rumah sakit Rp 200 juta. Secara total, tarifnya masih Rp 200 juta lebih murah daripada operasi di Jakarta.
Warga diaspora Indonesia, sebut saja Theodora, berulang kali merasakan layanan kesehatan di Singapura, Amerika Serikat, dan Australia. Ia dan teman-temannya berobat ke negeri tetangga karena ada keraguan dengan diagnosa di Indonesia. Banyak warga Indonesia pergi ke luar negeri untuk mencari pendapat kedua.
Padahal, kata Theodora, sebenarnya di negara-negara lain, warga Indonesia harus membayar dengan tarif tinggi karena statusnya bukan warga negara setempat. “Yang paling terasa, integrasi layanan di luar, mulai dari pemeriksaan, rawat inap hingga laboratorium sangat bagus. Kita tidak menunggu lama dengan kondisinya tak pasti,” katanya.
Yang paling terasa, integrasi layanan di luar, mulai dari pemeriksaan, rawat inap hingga laboratorium sangat bagus. Kita tidak menunggu lama dengan kondisinya tak pasti
Ia mengenang pengalamannya menunggu hasil lab pemeriksaan darah ayahnya di Jakarta beberapa pekan. Hal ini membuat dokter tidak bisa bertindak cepat, padahal, kondisi ayahnya kritis. Pengalaman ini tidak ditemukannya di Singapura. Menurut Theodora, selama layanan kesehatan negeri ini tidak terintegrasi dan tak memberi kepastian pada keluarga pasien, pilihan berobat ke luar negeri tetap terbuka.