Sektor informasi dan komunikasi, jasa asuransi dan keuangan, serta jasa perusahaan diprediksi akan paling besar terpapar AI. Namun ketiganya memiliki modal kuat berkat banyaknya pekerja muda dan berpendidikan tinggi.
Oleh
MARGARETHA PUTERI ROSALINA, SATRIO PANGARSO WISANGGENI, ALBERTUS KRISNA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Semua sektor lapangan usaha di Indonesia diprediksi akan terpapar kecerdasan artifisial atau artificial intelligence (AI) dengan nilai paparan yang berbeda-beda.
Teknologi AI akan membawa paparan sebesar 22,1 persen terhadap total 120,7 juta tenaga kerja di Indonesia. Angka ini diperoleh dari laporan terbaru penelitian OpenAI terkait dampak kecerdasan artifisial generatif di 92 sektor usaha di Amerika Serikat yang kemudian disesuaikan ke dalam 17 sektor ekonomi Produk Domestik Bruto di Indonesia.
Tiga sektor ekonomi di Indonesia yang diprediksi terpapar AI terbesar, yakni sektor informasi dan komunikasi sebesar 58,1 persen, sektor jasa keuangan dan asuransi 55,2 persen,serta jasa perusahaan 52,3 persen. Angka tersebut mengindikasikan persentase beban pekerjaan yang dapat diefesiensikan dengan kemampuan AI.
Usia muda
Dari data BPS, dari total 120,7 juta tenaga kerja di Indonesia, proporsinya paling banyak mengumpul di kelompok usia 35-44 tahun sebesar 24,6 persen. Kemudian disusul usia 25-34 tahun sebesar 23,6 persen dan usia 45-54 tahun sebesar 21,1 persen.
Namun dari tiga sektor lapangan usaha yang diprediksi terpapar AI paling besar, kondisinya berbeda. Profil tenaga kerja di tiga sektor itu paling banyak mengumpul di kelompok usia muda (25-34 tahun).
Persentasenya juga terbilang sangat besar, dari total 943 ribu tenaga kerja di sektor informasi dan komunikasi, sebesar 45,8 persen merupakan pekerja di kelompok usia 25-34 tahun. Kemudian disusul usia 15-24 tahun sebesar 21,5 persen dan usia 35-44 tahun sebesar 20,2 persen.
Profil tenaga kerja serupa ada di sektor jasa keuangan dan asuransi serta jasa perusahaan. Dengan total 1,56 juta pekerja di sektor jasa keuangan dan asuransi, sebesar 42,8 persennya merupakan pekerja usia 25-34 tahun. Sementara 32,3 persen dari total 1,86 juta pekerja sektor jasa perusahaan juga berasal dari kelompok usia yang sama.
Modal lain yang dimiliki Indonesia lulusan pendidikan tinggi. Dari data mikro Sakernas BPS, ada 16 juta orang atau 13,3 persen yang menempuh pendidikan tinggi (PT).
Kondisi ini tidak merata di semua sektor lapangan usaha. Beberapa sektor paling banyak dipenuhi tenaga kerja lulusan pendidikan tinggi dengan persentase lebih dari 40 persen. Diantaranya sektor jasa pendidikan yang mencapai 76,7 persen, jasa kesehatan dan kegiatan sosial (68,7 %), jasa keuangan dan asuransi (51,6 %), administrasi pemerintahan (47,6%), dan informasi dan komunikasi (40,3 %).
Sektor jasa keuangan dan asuransi serta informasi dan komunikasi, termasuk dalam sektor yang rentan terpapar AI. Namun, sektor jasa perusahaan yang terpapar AI lebih dari 50 persen, hanya memiliki lulusan PT sebesar 28,6 persen.
Adaptasi
Banyaknya tenaga kerja usia muda ini dapat menjadi modal kuat dalam menghadapi perkembangan AI. Hal ini dibenarkan Kepala Center of Digital Economy and SMEs Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) Eisha M Rachbani. Eisha menjelaskan AI sudah masuk di Indonesia terutama di sektor jasa perusahaan, perbankan, hingga perdagangan. Teknologi AI nantinya akan dimanfaatkan banyak pekerja muda di sektor tersebut.
Tiga sektor ekonomi di Indonesia yang diprediksi terpapar AI terbesar, yakni sektor informasi dan komunikasi sebesar 58,1 persen, sektor jasa keuangan dan asuransi 55,2 persen,serta jasa perusahaan 52,3 persen. Angka tersebut mengindikasikan persentase beban pekerjaan yang dapat diefesiensikan dengan kemampuan AI
Modal kuat ini dapat dimanfaatkan secara maksimal jika dibarengi persiapan yang matang. Eisha menjelaskan generasi muda Indonesia akan menjadi tulang punggung dalam perkembangan AI. Namun karena AI di Indonesia baru saja muncul, sehingga belum banyak pekerja memiliki keahlian tentang AI ini. Oleh karena itu harus ada pelatihan dan peningkatan keterampilan.
“Pastinya harus ada reskilling dan upskilling. Perguruan tinggi dan sistem pendidikan ini sudah mulai menyiapkan generasi muda untuk menghadapi tantangan ini. Agar lulusan-lulusan yang masuk dunia kerja bisa beradaptasi dengan AI ini. Nah ini masih belum semua karena masih barang baru di Indonesia,” ungkap Eisha.
Saat ini pemerintah sudah berupaya menghadapi perkembangan teknologi ini. Salah satunya Digital Talent Scholarship (DTS), program pelatihan pengembangan talenta digital sejak tahun 2018. Tujuannya untuk meningkatkan keterampilan di bidang teknologi informasi dan komunikasi bagi angkatan kerja muda, masyarakat umum, dan aparatur sipil negara.
Hingga tahun 2023, Kominfo sebagai penyelenggara mencatat sudah menyelenggarakan 1.034 pelatihan dari tingkat dasar hingga mahir. Total pesertanya mencapai 70.000 orang dan yang dinyatakan lulus 39.218 orang. Dari angka itu, mayoritas peserta usia 20-25 tahun.
Dengan adanya pelatihan semacam itu, diharapkan potensi besar yang dimiliki khususnya generasi muda dapat ditampung dengan baik. Pekerja yang sudah memiliki tambahan ketrampilan, dapat dipindahkan ke bidang yang berhubungan dengan AI, untuk meminimalisir terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK).
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Komunikasi dan Informatika Kominfo Hary Budiarto membenarkan hal itu. Dalam pidatonya di seminar World AI Show awal Juni lalu, Hary menjelaskan pelatihan seperti DTS dapat mengatasi masalah pekerjaan dengan adanya AI.
“Pekerjaan itu banyak yang PHK maka kita harus lakukan reskilling. Masyarakat atau para pekerja itu bisa pindah bidang. Kita menyediakan berbagai pelatihan dan sekaligus menyediakan sertifikasinya,” terang Hary.