Belajar dari negara lain, pencapaian target jumlah mobil listrik, dipengaruhi berbagai hal seperti insentif, penyediaan infrastruktur, penelitian, serta promosi.
Oleh
MARGARETHA PUTERI ROSALINA, SATRIO PANGARSO WISANGGENI, ALBERTUS KRISNA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Transisi menuju kendaraan listrik tak cukup dengan mengeluarkan aturan. Pengalaman negara lain, pencapaian target jumlah mobil listrik, dipengaruhi berbagai kebijakan dan kegiatan pendukung, seperti insentif, penyediaan infrastruktur, penelitian, serta promosi.
Beberapa penelitian yang terangkum dalam “Electric Vehicle Capitals Of The World (2017)” menunjukkan, peningkatan jumlah kendaraan listrik berkorelasi dengan berbagai kebijakan dan kegiatan pendukung. Hingga 2021, data penjualan kendaraan listrik dari International Energy Agency (IEA) menunjukkan, ada 13,09 juta kendaraan listrik di dunia.
Penjualan tertinggi ada di China dengan 3,3 juta unit. China telah menerapkan kebijakan terkait dengan kendaraan listrik sejak 1990-an. Disusul oleh Jerman, Amerika, Perancis, Inggris dan Norwegia yang penjualannya masih berkisar 310.000 hingga 690.000 unit. Keempat negara tersebut baru mulai menerapkan kebijakan kendaraan listrik sekitar tahun 2015-an.
Harga kendaraan listrik yang lebih mahal dari mobil bermesin bakar atau menggunakan BBM, menjadi salah satu penghambat masyarakat untuk memiliki kendaraan listrik. Kebijakan yang paling banyak diterapkan adalah memberikan potongan harga kendaraan listrik bagi pembeli perorangan atau perusahaan. Hal ini diberlakukan di India, China, Perancis, Belanda, Norwegia, Amerika, Jepang, Korea Selatan, dan Swedia.
Pengalaman negara lain, pencapaian target jumlah mobil listrik, dipengaruhi berbagai kebijakan dan kegiatan pendukung, seperti insentif, penyediaan infrastruktur, penelitian, serta promosi
Pemberian potongan atau pembebasan pajak juga menjadi alternatif yang ditawarkan beberapa negara di Eropa dan Asia. Misal pengurangan/pembebasan pajak impor, pajak barang dan jasa, hingga pajak kepemilikan kendaraan bermotor untuk kendaraan rendah emisi seperti hybrid (plug-in hybrid electric vehicle-PUBV), serta kendaraan listrik (battery electric vehicle-BEV). Insentif keuangan juga diberikan bagi produsen kendaraan listrik dan operator stasiun pengisian daya. Seperti yang dilakukan di Malaysia, Jepang, Perancis, Inggris, Amerika, Belanda, dan China.
Saat ini Indonesia melalui Perpres No. 55 tahun 2019 sudah memberikan kebijakan fiskal berupa penghapusan sejumlah pajak terkait kepemilikan kendaraan bermotor. Di antaranya, pembebasan dari Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang sudah mulai diberlakukan di DKI Jakarta serta pembebasan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM). Sedangkan dari sisi pembiayaan, Bank Indonesia mengizinkan adanya uang muka 0 persen untuk mobil listrik melalui Peraturan Bank Indonesia tahun 2020.
Selain itu sudah ada insentif bagi perusahaan kendaraan listrik. Di antaranya insentif bea masuk atas impor kendaraan listrik dalam kondisi dan jangka waktu tertentu dan impor bahan baku kendaraan listrik.
Namun, insentif keuangan ini belum bisa sepenuhnya meningkatkan penjualan kendaraan listrik di Indonesia. Data Kementerian Perhubungan menyebutkan, hingga Juli 2022 baru ada ada 2.535 unit mobil listrik dan 18.067 unit sepeda motor listrik. Jumlah ini kurang dari 1 persen dari target jumlah mobil dan sepeda motor listrik di 2025.
Di luar insentif keuangan, diperlukan juga insentif non keuangan seperti parkir gratis, akses melewati zona pembatasan kendaraan, tidak dikenai tarif tol, hingga mendapat keleluasaan untuk memilih plat nomor.
Insentif bebas biaya parkir serta kemudahan akses zona pembatasan kendaraan, menjadi populer bagi negara-negara yang menerapkan kebijakan penggunaan kendaraan listrik. China, Denmark, Perancis, Belanda, Norwegia, Swedia, Inggris, dan Amerika yang telah memberlakukan insentif tersebut.
Di luar insentif keuangan, diperlukan juga insentif non keuangan seperti parkir gratis, akses melewati zona pembatasan kendaraan, tidak dikenai tarif tol, hingga mendapat keleluasaan untuk memilih plat nomor
Perancis mempunyai program skema “scrapping” mobil tua. Program ini 'membuang' mobil tua beremisi polutan tinggi. selanjutnya masyarakat menerima uang tambahan 5.000-7.000 Euro untuk membeli mobil listrik.
Bagaimana dengan Indonesia? Saat ini insentif non fiskal masih berlaku di Jakarta saja. Mobil listrik mendapat akses melewati zona pembatasan lalu lintas ganjil genap.
India, China, Denmark, Perancis, Norwegia, Inggris, dan Amerika telah membangun ratusan hingga ribuan “Charging Station atau Charging Point” di area publik. Pembangunan tersebut menggunakan anggaran khusus yang disediakan pemerintah. Norwegia dan Denmark juga membuat aturan, bangunan baru harus menyediakan fasilitas pengisian daya di tempat parkir.
Sementara di Indonesia pemerintah juga telah menyediakan infrastruktur pengisian daya yang disebut dengan SPKLU dan SBKLU. Tercatat hingga Juli 2022 , jumlah SPKLU mencapai 332 unit dan SPBKLU 369 unit.
Penelitian dan Promosi
Penelitian dan promosi juga berperan untuk mendorong berkembangnya ekosistem kendaraan listrik. China, Belanda dan Jerman telah menetapkan wilayah tertentu sebagai daerah percontohan penggunaan kendaraan listrik. Wilayah tersebut menjadi model pengembangan infrastruktur pengisian daya yang terintegrasi dengan jumlah kendaraan.
Denmark dan Belanda menerapkan program “Car Sharing”. Masyarakat bisa melakukan uji coba mobil listrik yang disediakan pemerintah dengan periode waktu tertentu.
Indonesia baru memulai tahap awal transisi kendaraan listrik. Upaya percepatan penggunaan kendaraan listrik diawali untuk kendaraan dinas operasional pemerintah pusat dan daerah melalui Inpres No. 7 tahun 2022. Kementerian ESDM juga mempunyai peta jalan percepatan melalui konversi 6.000 sepeda motor bensin ke listrik. Ke depan masih dibutuhkan tambahan insentif khususnya potongan harga agar kendaraan listrik bisa lebih terjangkau.