Jangan Biarkan Gajah Bertikai atau Bermesraan
Perebutan pengaruh antara Amerika Serikat dan China kian sengit. Mengelola rivalitas mereka tidak mudah.
![Dalam foto yang diambil dari rekaman video Penjaga Pantai Filipina, tampak kapal logistik Filipina, Unaizah di semprot oleh dua kapal Penjaga Pantai China di wilayah perairan Second Thomas Shoal atau Ayungin Shoal yang berada di Laut China Selatan pada 4 Mei 2024 lalu.](https://cdn-assetd.kompas.id/56hkGUUY8Vo2qFngGpAierWIOio=/1024x615/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F03%2F06%2Fac00cebf-e60f-4f18-98a6-1f43e8f63931_jpg.jpg)
Dalam foto yang diambil dari rekaman video Penjaga Pantai Filipina, tampak kapal logistik Filipina, Unaizah di semprot oleh dua kapal Penjaga Pantai China di wilayah perairan Second Thomas Shoal atau Ayungin Shoal yang berada di Laut China Selatan pada 4 Mei 2024 lalu.
Setahun terakhir, “hawa” persaingan di Laut China Selatan hingga Laut China Timur makin meningkat. Suhunya tidak dapat dikatakan sekedar hangat. Latihan militer di kawasan itu kian intensif sepanjang setahun terakhir. Sejumlah latihan militer - seperti latihan militer gabungan Amerika Serikat-Filipina bertajuk, Balikatan, bahkan menggunakan peluru dan rudal aktif untuk menenggelamkan kapal tiruan.
Meskipun tidak menyebutkan secara lugas, latihan militer yang melibatkan 16.000 personel itu "ditujukan" pada China yang dinilai kian asertif. Sejumlah benturan akibat klaim wilayah di kawasan Laut China Selatan membuat Filipina di era Presiden Ferdinand Marcos JR telah memerintahkan militernya untuk mengalihkan fokusnya ke pertahanan eksternal dari operasi anti-pemberontakan di dalam negeri.
Selain agenda tahunan, seperti Balikatan, ada pula latihan militer yang baru digelar untuk pertama kalinya, seperti latihan bersama angkatan laut negara-negara anggota ASEAN dan latihan bersama China-Kamboja. Kombinasi peserta latihan menyiratkan intensi politik di belakangnya.
![Dalam foto yang dirilis oleh Kementerian Pertahanan Taiwan, tampak kapal perusak berpeluru kendali milik Tentara Pembebasan Rakyat China tengah berlayar di dekat Taiwan pada Kamis (23/5/2024).](https://cdn-assetd.kompas.id/EJff0nITqVsIEn8Cr257-SgAkfE=/1024x683/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F05%2F24%2Fc18e8432-0841-4b9f-8910-3af00ae5ac29_jpg.jpg)
Dalam foto yang dirilis oleh Kementerian Pertahanan Taiwan, tampak kapal perusak berpeluru kendali milik Tentara Pembebasan Rakyat China tengah berlayar di dekat Taiwan pada Kamis (23/5/2024).
![Peta latihan perang Pedang Gabungan-2024A dari Tentara Pembebasan Rakyat China. Latihan dua hari digelar mulai Kamis (23/5/2024).](https://cdn-assetd.kompas.id/UK5Ew8rIKepny3nmZJCzF7-eqxc=/1024x629/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F05%2F23%2F08565bc1-e678-4134-905f-e2f4d32bd0f0_jpg.jpg)
Peta latihan perang Pedang Gabungan-2024A dari Tentara Pembebasan Rakyat China. Latihan dua hari digelar mulai Kamis (23/5/2024).
Yang lebih mencolok adalah latihan militer yang digelar Tentara Pembebasan Rakyat China. Latihan dua hari itu berakhir pada Sabtu (25/5/2024), secara khusus memang diarahkan China untuk menegaskan sikapnya pada Taiwan. Puluhan alutsista seperti kapal perang, pesawat tempur, dan pembom dikerahkan untuk menyimulasikan pengepungan Taiwan.
Baca juga: China Kembali Latihan Kepung Total Taiwan
China geram atas pidato Lai Chin-te, saat dilantik menjadi Presiden Taiwan menggantikan Tsai Ing-wen. Beijing tidak suka dengan “sikap separatisme” yang disiratkan Lai dalam pidatonya. Selain itu, China pun ingin menegaskan kembali ketidaksukaannya pada campur tangan dan provokasi "kekuatan-kekuatan eksternal".
Taiwan tentu mengecam keras latihan militer itu. “Latihan militer yang digelar China tidak hanya tidak berkontribusi pada perdamaian dan stabilitas Selat Taiwan, tetapi juga menyoroti mentalitas militeristik China,” kata Kemenhan Taiwan.
![Presiden Taiwan Lai Ching-te (tengah) menyaksikan dari dekat peragaan penembakan rudal anti-serangan udara produksi Amerika Serikat, Stinger saat menginspeksi tentara Taiwan di Taoyuan, Kamis (23/5/2024).](https://cdn-assetd.kompas.id/aHsZowKpSDG0IWyIrirADm5NCio=/1024x681/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F05%2F24%2Fbc398cfa-1ace-485c-861c-2e724618df02_jpg.jpg)
Presiden Taiwan Lai Ching-te (tengah) menyaksikan dari dekat peragaan penembakan rudal anti-serangan udara produksi Amerika Serikat, Stinger saat menginspeksi tentara Taiwan di Taoyuan, Kamis (23/5/2024).
Mitra dekat Taiwan, Washington pun mengkritik Beijing. AS menegaskan, China tidak boleh menggunakan momentum transisi politik Taiwan sebagai dalih atau alasan untuk melakukan tindakan yang provokatif atau koersif. Bahkan untuk itu Menteri Pertahanan AS Llyod Austin dijadwalkan bertemu dengan Menhan China Dong Jun di sela-sela konferensi keamanan tahunan, Shangri-La Dialogue yang digelar di Singapura pekan depan. Selepas itu, Austin dijadwalkan akan mengunjungi Kamboja.
Titik Panas
Dari beragam latihan militer itu – termasuk alasan pergelarannya – makin tampak bahwa kawasan Laut China Selatan hingga Laut China Timur kini menjadi salah satu “titik panas” dunia. Ditambah dengan persoalan klaim wilayah oleh China, Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Taiwan di Laut China Selatan, dan antara China, Jepang, dan Rusia di Laut China Timur, kedua kawasan itu menjadi salah satu area yang paling diperebutkan.
Baca juga: ASEAN Tegaskan Kepemilikan Laut China Selatan
Bila situasi itu tidak dikelola dengan baik, dikhawatirkan sewaktu-waktu akan “meledak”. Sejauh ini, selain tetap menahan diri, para pihak terus mencoba membangun komunikasi dan sikap saling percaya.
Demikian pula dengan upaya yang dilakukan ASEAN. Penegasan oleh Panglima TNI kala itu, Laksamana TNI Yudo Margono bahwa latihan bersama negara-negara ASEAN di perairan Natuna adalah untuk menjaga keutuhan dan relevansi ASEAN adalah sikap yang tepat.
![https://cdn-assetd.kompas.id/3BitznBsLWKsrbHHFpT_5lckUPI=/1024x590/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F01%2F28%2F20210128-H03-NSW-Laut-China-Selatan-mumed_1611838514_png.png](https://cdn-assetd.kompas.id/3BitznBsLWKsrbHHFpT_5lckUPI=/1024x590/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F01%2F28%2F20210128-H03-NSW-Laut-China-Selatan-mumed_1611838514_png.png)
Sebagaimana diketahui, semua latihan militer gabungan yang dilakukan beragam negara dengan beragam nama itu digelar di perairan kawasan Asia Tenggara. Selain itu, latihan militer itu juga melibatkan beberapa negara ASEAN dalam posisi yang “berseberangan”.
Rivalitas AS-China
Guru Besar Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gajah Mada, Mohtar Mas’oed melihat persoalan di Laut China Selatan sebagai bagian dari “great power politics” antara China dan AS. “Dalam persaingan ini, China dan AS, diasumsikan berperilaku rasional, yaitu mengejar kepentingan nasional masing-masing. Dalam perspektif realisme politik, masing-masing mengejar kepentingan sendiri, yaitu menjamin kelestarian, “survival”, dengan memperbesar kekuatan,” kata Mohtar.
Baca juga: Memahami Arah Rivalitas AS-China
Perilaku China yang kerap digambarkan asertif, menurut Mohtar memperlihatkan perilaku yang sedang bangkit. Ia menggambarkannya sebagai “jagoan silat baru”. Jawara baru itu – biasanya lebih berani ambil risiko – lantas menantang kekuatan lama. Dulu, AS pun di era tahun 1823 menantang kemapanan imperium Eropa, terutama Inggris dan Spanyol melalui Doktrin Monroe yang menyatakan, benua Amerika hanya untuk Orang Amerika. Kita bisa tafsirkan bahwa yang dilakukan China mengenai Laut China Selatan sekarang mengulangi yang dilakukan AS dua ratus tahun lalu. Dulu AS terhadap Eropa, sekarang China terhadap AS,” kata Mohtar menjelaskan.
![Dalam tangkapan layar dari video yang disiarkan Komando Operasi Indo-Pasifik Amerika Serikat pada Kamis (29/12/2022) ini terlihat jet tempur J-11 China dari jendela pesawat intai RC-135 AS. J-11 China membayangi RC-135 dalam jarak enam meter di atas Laut China Selatan pada 21 Desember 2022. Berulang kali China mengerahkan jet tempur dan membayangi pesawat AS dan sekutunya dalam jarak dekat](https://cdn-assetd.kompas.id/bKzhMRPu5HBYs2ojNgC8NW7Dx6M=/1024x577/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F12%2F30%2Fe987a83e-23ca-4c5f-82fb-1a867b6f3536_png.jpg)
Dalam tangkapan layar dari video yang disiarkan Komando Operasi Indo-Pasifik Amerika Serikat pada Kamis (29/12/2022) ini terlihat jet tempur J-11 China dari jendela pesawat intai RC-135 AS. J-11 China membayangi RC-135 dalam jarak enam meter di atas Laut China Selatan pada 21 Desember 2022. Berulang kali China mengerahkan jet tempur dan membayangi pesawat AS dan sekutunya dalam jarak dekat
“Seorang ilmuwan klasik menyebutnya sebagai “policy of bluff”, atau memamerkan kehebatan walaupun sering di luar proporsi demi membuat gentar pihak lain. Latihan perang-perangan dengan menonjolkan sarana militer yang mengerikan adalah bagian dari kebijakan ini,” kata Mohtar.
Dalam pengertian ini, menurutnya, latihan perang-perangan yang dilakukan oleh China maupun oleh yang anti-China adalah bagian dari logika berpikir di atas.
Ahli kajian China di Sekolah Tinggi Ilmu Filsafat Driyarkara, Klaus Raditio memiliki pendapat senada. Menurutnya, seturut kebangkitan China, Beijing membutuhkan ruang aman yang lebih luas, termasuk di Laut China Selatan.
Baca juga: Rivalitas AS-China Bisa Jadi Peluang Indonesia
Kawasan itu merupakan halaman depan China sekaligus jalur utama energi dari Timur Tengah. Total nilai perdagangan dunia yang tersalur melalui jalur itu mencapai lebih dari 5 triliun dollar AS per tahun.
“Sejak awal 2000-an China merasa tidak aman dan nyaman dengan kapal-kapal militer asing, terutama AS yang lalu lalang di Pasifik dan Laut China Selatan. Itulah sebabnya China ingin mendominasi Laut China Selatan, sebaliknya hal itu tidak dikehendaki oleh AS dan sekutu-sekutunya terutama Jepang. Ini adalah masalah pokoknya. Sengketa wilayah atas daratan di kawasan itu hanya akibat atau riak-riak dari persaingan strategis ini,” kata Klaus.
![Dalam foto yang disediakan Angkatan Laut Amerika Serikat ini, tampak Kapal USS Ronald Reagan (CVN 76) dan USS Nimitz (CVN 68) sedang mengikuti latihan di Laut China Selatan, Senin, 6 Juli 2020. China berang dan menuding AS unjuk kekuatan militernya.](https://cdn-assetd.kompas.id/Ly8tNcMGtSqmtfoxrTJYruFKTjI=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2020%2F07%2F11%2FChina-US-South-China-Sea_90379385_1594486446_jpg.jpg)
Dalam foto yang disediakan Angkatan Laut Amerika Serikat ini, tampak Kapal USS Ronald Reagan (CVN 76) dan USS Nimitz (CVN 68) sedang mengikuti latihan di Laut China Selatan, Senin, 6 Juli 2020. China berang dan menuding AS unjuk kekuatan militernya.
“Secara diplomatis, China juga semakin keras dalam menekankan bahwa Laut China Selatan adalah adalah domain-nya. Walaupun belum sampai menyebut kawasan itu dalam dokumen resmi sebagai “core interest”. Namun pernyataan-pernyataan lisan dari para pejabat dan jubir Kemenlu cenderung mengarah kepada Laut China Selatan sebagai ‘core interest”. Ini yang dipandang sebagai assertiveness oleh negara-negara Barat,” kata Klaus menjelaskan.
Sebagai catatan, sejumlah isu yang selama ini menjadi core interest China adalah Tibet, Taiwan dan Xinjiang.
Di era Presiden Joe Biden, AS mulai memperkuat kembali aliansi pertahanan dengan sekutu-sekutunya untuk menghadapi perilaku China yang dipandang asertif itu. Sayangnya, menurut Klaus, Biden sebagaimana pendahulunya – Presiden Donald Trump – tidak terlalu melibatkan ASEAN dalam kasus terkait Laut China Selatan. “Yang dipikirkan adalah bagaimana menggalang kekuatan bersama para sekutu untuk memenangkan rivalitas strategis melawan China,” kata Klaus.
Peran ASEAN
Melihat itu, Klaus berpendapat, ASEAN harus mengedepankan AOIP atau ASEAN Outlook on Indo-Pacific yang menekankan inklusivitas, netral dan menjunjung hukum internasional. Untuk itu, menurutnya, ASEAN harus menjaga kohesivitas. “Jangan sampai saling bertentangan, seperti yang terjadi ASEAN Ministerial Meeting 2012 di Pnom Penh, di mana kala itu agenda tentang Laut China Selatan terganjal. Kedua, ASEAN harus menguatkan fungsi diplomasinya, menekankan pada pembicaraan multilateral. Isu Laut China Selatan harus masuk dalam agenda pertemuan ASEAN dengan mitra-mitranya,” kata Klaus.
Mengelola rivalitas AS-China, menurut Mohtar Mas’oed, layaknya mengelola hubungan gajah dan rumput. Mengutip mantan Menlu Roeslan Abdul Gani saat mengulas buku tentang netralitas dalam politik internasional, Mohtar mengatakan, dalam buku tersebut diceritakan, apapun perilaku dua gajah itu – berkelahi atau bercinta – rumput selalu jadi korban. “Menurut Pak Roeslan, moral dari kisah itu adalah jangan biarkan kedua gajah itu bertikai, tetapi sebaliknya jangan sampai mereka bersekongkol sehingga merugikan kita,” kata Mohtar.
Posisi normatif Indonesia sudah jelas. Indonesia, menurutnya, harus berusaha supaya negara-negara adidaya itu menemukan kepentingan nasionalnya masing-masing yang paling dasar, yaitu menghindarkan kehancuran ekonomi-politik masing-masing. Sesuatu yang pasti terjadi kalau mereka menyulut peperangan.
(AP/AFP/Reuters)